Bung Karno sebagai penggagas ajaran marhaenisme mungkin tengah bersedih. Ajarannya yang terinspirasi dari kaum marhaen, oleh sejumlah pengikutnya, tidak dijalankan untuk mengayomi kaum marhaen itu sendiri, justru kaum marhaen terkesan diabaikan.
Siapa kaum marhaen? Marhaen merupakan saudara kandung kaum marjinal. Kaum marjinal adalah mereka yang tidak memiliki akses pendidikan, ekonomi, dan sosial. Kaum yang terpinggirkan dalam tatanan masyarakat.
Sementara itu, “Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang punya puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik,” demikian Sukarno menjabarkan (hlm. 75) dikutip dari Tirto.id (2020).
Jadi marhaenisme sebuah ideologi yang menentang penindasan terhadap kaum marjinal, kaum terpinggirkan. Kaum yang terpinggirkan dari tatanan masyarakat dan jauh dari lingkar kekuasaan.
Namun, fenomena rencana pemerintah Bali menghapus bantuan biaya penuh siswa sangat miskin di SMA Bali Mandara telah mengkhianati ajaran luhur marhaenisme. Fenomena yang sangat janggal. Namun tengah terjadi secara nyata di Bali.
Gubernur Bali Wayan Koster, yang mengaku sebagai kaum marhaen di saat ia belum menjadi orang nomor satu di Bali, saat ini tengah diuji orisinilitas sikap marhaennya. Diuji integritasnya membela kaum marjinal.
“Ada isu bahwa kalau Pak Koster menjadi gubernur, SMA Bali Mandara ini tidak akan dilanjutkan. Saya memastikan, kalau saya gubernur Bali di 2018, astungkara program ini harus dijalankan. Dan wajib hukumnya untuk dijalankan karena ini program yang betul-betul berpihak kepada masyarakat yang tidak mampu. Yang masuk dalam kategori, kalau di PDI Perjuangan disebut sebagai kaum marhaen. Yang harus kita prioritaskan sebagai kebijakan yang berpihak kepada masyarakat yang tidak mampu,” kata Koster saat ia masih menjadi anggota DPR RI, seperti dikutip dari Seputar Bali beberapa tahun lalu.
Saat itu, Gubernur Koster yang mengaku sebagai bagian dari kaum marhen, berjanji akan meneruskan program pendidikan SMA Bali Mandara. Sekolah yang sistem pendidikannya diperuntukkan khusus untuk siswa dari keluarga sangat miskin di Bali. Pendidikan khusus bagi kaum marhaen.
Prestasi SMA Bali Mandara
SMA Bali Mandara telah terbukti melahirkan ratusan alumnus yang berprestasi. Mengharumkan nama Bali di tingkat nasional dan internasional.
Sebuah bukti bahwa SMA Bali Mandara yang baru saja melewati usia satu dasa warsa mampu melahirkan anak-anak berprestasi. Prestasi mereka lebih istimewa karena anak-anaknya berasal dari keluarga yang sangat miskin.
Mereka itu adalah anak-anak kaum marhaen. Anak yang tidak mampu secara ekonomi, sosial, dan politik. Anak-anak yang tidur di gubuk kecil, berdinding bambu, berlantai tanah, dan tidur beralas tikar. Anak yang hanya cukup untuk dirinya sendiri. “Saya dan keluarga miskin. Makan saja tidak bisa apalagi biaya sekolah,” kata seorang alumni SMA Bali Mandara (nama dirahasiakan).
BACA JUGA:
Anak-anak miskin di SMA Bali Mandara adalah anak kandung kaum marhaen yang telah membuat Bali diakui dunia internasional dengan berbagai prestasi akademik dan non akademik.
SMA Bali Mandara dibangun untuk anak kaum marhaen pada era Gubernur Mangku Pastika. Pendidikan bagi kaum yang sangat termarjinalkan karena sekolah reguler pun tidak akan mampu mereka raih meskipun disediakan jalur siswa miskin.
“Jika tidak di SMA Bali Mandara, saya tidak akan sekolah. Saya tidak tahu akan menjadi apa. Mungkin nasib akan sama seperti saudara saya lainnya,” ujar alumnus yang kini tengah menempuh studi perguruan tinggi di Buleleng.
Namun Gubernur Koster sepertinya mengingkari janji itu, untuk memberikan prioritas pendidikan bagi kaum marhaen. Ia akan menghapus bantuan siswa secara penuh kepada anak-anak SMA Bali Mandara mulai tahun ajaran 2022. Alasannya klasik, tidak memiliki anggaran di APBD.
Konsekuensi dari kebijakan itu adalah SMA Bali Mandara akan menjadi sekolah reguler. Sistemnya sama dengan sekolah reguler negeri yang ada saat ini. Bukan lagi sekolah yang khusus dipersembahkan bagi kaum marhaen.
Konsekuensi lainnya, kebijakan menghapus bantuan penuh ini akan menjadikan calon siswa kelas 10 mulai ajaran baru 2022 akan mengikuti sistem penerimaan siswa baru melalui jalur zonasi dengan berbagai aturan mainnya. Sementara kelas 11 dan 12 masih akan menjalani program bantuan pendidikan penuh, seperti sedia kala. Jika rencana ini berlanjut maka dua tahun lagi, spirit SMA Bali Mandara akan terkubur.
Alasan tidak memiliki anggaran untuk kelangsungan sekolah ini sangat kontradiktif dengan tekad kerasnya membangun mega proyek infrastruktur di Bali. Proyek yang menelan dana Rp 12 triliun, di mana sebanyak Rp 2,15 triliun bersumber dari APBD Bali.
BACA JUGA:
Anggaran mega proyek tentu sangat besar jika dibandingkan dengan biaya bantuan penuh SMA Bali Mandara. Di mana setiap anak dibiayai sebesar Rp 22,5 juta per anak per tahun. Atau kira-kira total anggaran sebesar Rp 22,5 miliar untuk membiaya 100 anak per tahun. Biaya yang sangat kecil dibandingkan Rp 12 triliun untuk mega proyek infrastruktur di Bali.
Jika seseorang mengaku dirinya bagian dari kaum marhaen, dengan begitu bersuka cita merogoh saku APBD bernilai triliunan rupiah untuk membangun mega proyek namun pelit untuk menyiapkan sedikit uang APBD bagi anak-anak miskin SMA Bali Mandara, bukankah hal itu bisa disebut sebagai sikap melupakan kaum marhaen?
Begitu hak kaum marhaen untuk mendapatkan hak paling dasar dilupakan, yaitu hak untuk mendapat pendidikan seusai cita-cita bangsa, maka hal itu bisa dinilai sebagai sikap untuk menanggalkan dan melucuti sendiri seluruh identitasnya sebagai penganut ajaran marhaenisme.[T]
Singaraja, 17/3/2022