Apa yang harus ditulis setelah kemenangan?
Hhmmm…. Tapi kerja belum selesai. Belum apa-apa. Dan Thomas Tuchel, pelatih Chelsea juga mengakuinya setelah pasukannya mengalahkan Real Madrid 2-0 di laga kedua semifinal Liga Champions 2020-2021 di Stamford Bridge, Kamis dini hari. The Blues lolos dengan agregat 3-1, dan seperti yang sudah diketahui, Manchester City bakal menanti mereka di Istanbul pada 29 Mei dalam final sesama klub Inggris.
“Ini belum selesai. Kami ingin terus melaju dan datang ke Instanbul untuk menang. Kerja belum selesai, kami lolos ke dua final saat ini,” ucap Tuchel seperti dikutip Daily Mail, merujuk satu final lainnya di ajang Piala FA.
Dalam rentang dua bulan (sejak era Tuchel), pertemuan Chelsea dengan Manchester City bak trilogi film. Pertemuan pertama akhir bulan lalu, Chelsea mengalahkan City 1-0 di semifinal Piala FA. Kemenangan itu toh tak bisa dijadikan tolak ukur mengingat Pep Guardiola, arsitek City, hampir melakukan delapan rotasi pemain dari skuad utamanya. Dalam sepakbola, terkadang statistik historis bisa menjadi nol ketika kick off dilakukan bukan? Ah, pengandaian macam apalagi itu.
Akhir pekan ini, Chelsea kembali bertemu City di Liga Premier Inggris. Kemenangan bagi The Citizens sekaligus akan memastikan mereka menyegel gelar juara liga. Pertandingan akhir pekan ini boleh jadi seperti laga rehearsal bagi pertemuan mereka di Turki nanti. Siapa yang akan menang? Tunggu, masih ada waktu lebih dari tiga pekan sampai partai final dan apa pun bisa terjadi.
Namun sebagai penggemar Chelsea sekali pun, harus diakui, City saat ini, setelah sempat keteteran di awal musim, adalah tim yang ideal. Tim impian banyak orang. Tim dengan gaya permainan idaman. Mereka sangat komplit. Trengginas dalam menyerang (meski tanpa striker murni), kuat dalam bertahan, dan punya keseimbangan yang luar biasa. Belum lagi Guardiola. Duh, pelatih impian hampir semua klub di Eropa (termasuk pemilik Chelsea, Roman Abramovich sangat menginginkannya). Dengan filosofi total football-nya yang khas. Seolah tidak ada kata pragmatis dalam hidupnya.
Lihat betapa impresifnya mereka menghempaskan finalis musim lalu PSG di semifinal dengan agregat 4-1. Terasa betul energi dalam skuad yang fondasinya sudah dibangun sejak lama, sejak era Sheikh Mansour mengambilalih klub ini lebih dari satu dekade lalu, sejak pemain bintang datang silih berganti, sejak era awal-awal mereka hanya menjadi tetangga gaduh buat rival sekotanya Manchester United dan Guardiola akhirnya berhasil meloloskan tim ini ke final Liga Champions pertamanya.
Sejak Guardiola menjadi pelatih, City menghabiskan sekitar 500 juta pound untuk gonta-ganti memperbaiki lini pertahanan dalam empat tahun terakhir. Dan musim ini, kesabaran sekaligus pengeluaran mereka seolah terbayar. Duet John Stones dan Ruben Dias seperti dua gunung kokoh. Belum lagi sepasang full back mereka di kanan dan kiri, Kyle Walker dan Oleksander Zinchenko yang tak kalah luar biasa. Beberapa pundit bola bahkan menyebut, kokohnya lini pertahanan inilah yang jadi kunci keberhasilan City menembus final.
Lihat lagi saat pemain belakang mereka begitu gembira dan bereuforia tak ubahnya seperti merayakan sebuah gol usai berhasil memblok tembakan Neymar di leg kedua semifinal Rabu lalu. “Ini permainan tim, kita semua ikut menyerang dan merayakan gol, tetapi yang utama adalah bertahan agar tidak kebobolan. Kami berhasil melakukannya dengan sangat baik. Memblok sebuah tembakan seperti mencetak gol bagiku,” ungkap Walker.
Omong-omong soal juara, bukan karena saya penggemar Chelsea, tidakkah terkadang sama seperti lapangan hidup, lapangan hijau juga tak selamanya berpihak pada yang ideal? Bukankah terkadang niat mengalahkan dominasi yang ideal itu memberi suntikan energi lebih yang sulit dipahami? Atau sebaliknya yang ideal tak bisa menjadi realita karena trik-trik yang dianggap tak ideal?
Chelsea masih dalam masa berbenah. Tuchel baru menjabat tiga bulan menggantikan Frank Lampard. Tepat saat laga lawan Madrid dini hari tadi, adalah hari ke-100 masa kerjanya di Stamford Bridge. Di bawah asuhannya, Chelsea memang tak segarang anak-anak Guardiola. Penguasaan bolanya yang dominan kadang sia-sia karena masalah lini depan. Dan sesekali dia juga bisa pragmatis. Serangan balik mereka terkadang brutal dan mematikan, terlihat seperti saat mengalahkan Madrid dini hari tadi. Mereka bahkan seharusnya bisa menang dengan tiga atau empat gol. Sayangnya City tak akan sama seperti Madrid yang terlihat seperti tim yang lelah dan menua.
Lalu bagaimana cara mengalahkan yang ideal dan terlihat sempurna? Bagaimana menerebas yang menjadi corong idealisasi dan impian banyak orang? Cukup sekian. Saya tidak mau terlihat Chelsea sentris (meskipun sudah begitu). Yang saya ingat hanya Tuchel pernah bilang: membuat tim lain tak bisa melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan juga bagian dari seni permainan. [T]