Menyadap tuak mungkin sudah jadi perkerjaan langka, seiring langkanya pohon aren dan lontar. Bahkan di sejumlah desa, penyadap tuak sudah punah. Sehingga banyak generasi muda, termasuk yang suka minum tuak dan, tak tahu secara detil bagaimana proses orang menyadap getah batang nira atau lontar untuk kemudian disualp jadi tuak, arak atau gula merah.
Dari yang langka itu tersebutlah Komang Suwanara alias Cotek. Usianya kini 24 tahun, tinggal di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali. Dia adalah seorang perajin olahan tuak lontar termuda di desa itu. Pekerjaan itu bahkan sudah digelutinya sejak ia masih berstatus pelajar SMP.
Waktu masih SMP ia mulai “metuakan” atau menyadap/memanen getah lontar dengan hanya bermodalnya dua pohon lontar. Hasil dari pekerjaannya itu, sudah bisa untuk membeli sepatu, dan bekal sehari-hari ke sekolah. Sungguh, saat itu, rasanya sudah lebih dari cukup.
Setamat SMP ia masuk di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan perhotelan. Namun begitu tamat, ia tak menjadi karyawan hotel. Ia justru menetapkan pilihan alaminya sebagai abdi pohon lontar. Jauh sebelum pandemi, saat semua anak seusianya lebih memilih untuk bekerja di kota, Suwanara tetap setia tinggal di desa dengan melakoni pekerjaan sebagai petani tuak.
Karena sudah jadi sumber penghidupan keluarga, ia pun mulai serius mengembangkan usaha tuak lontarnya. Sehari, kini, sebanyak 15 pohon lontar harus dipanjat, disadap tuaknya, diturunkan tuaknya, lalu dikerjakan untuk menjadi produk yang siap dijual. Hebatnya, kini, semua produk turunan tuak dia buat. Ada gula bali (gula juruh lontar cair) dan arak lontar.
Ritual setiap hari ia lakoni dengan riang-gembira. Pagi hari ia memanjat pohon lontar untuk menurunkan tuak. Sore hari, ia memanjat lagi untuk mengiris putik lontar, yang akan diturunkan besok paginya. Seperti juga pegawai negeri sipil, setidaknya ia membutuhkan durasi 8 jam setiap hari untuk menunaikan pekerjaan itu. Rata-rata, satu pohon lontar ia kerjakan selama sekitar 30 menit.
Penghasilannya? “Rata-rata Rp 150 000 per hari,” tuturnya.
Jadi, sebulan, rata-rata ia berpenghasilan Rp 4,5 juta. Ya, lumayan. Mungkin sama dengan gaji pegawai hotel pada beberapa bidang. Penghasilan sebesar itu cukup untuk kehidupan sehari-hari bersama satu istri dan dua orang anak, satu anak umur 3,5 tahun dan satu lagi baru setengah bulan. [T]