Bagiku sore adalah waktu terbaik untuk menikmati hidup di halaman belakang rumah. Sebab di bawah pohon pisang itulah, bersama Gening, aku dapat meneduh dari pahit masa lalu yang sesekali menggilas kepalaku. Di bawah pohon pisang itu—sambil menyenandungkan Gening dalam timangan—kerap kulihat kupu-kupu bersayap emas hinggap di daun-daun kering yang menghitam—atau pada tumpukan sampah yang pudar warnanya. Di mana kilau sayapnya, cantik menyala bahkan tidak di atas bunga-bunga. Melainkan pada tempat gelap dan kotor. Tempat yang bahkan tak pernah ingin dibayangkan sesiapa. Kelak, dalam tubuh Gening, aku ingin jiwanya sekemilau sayap kupu-kupu. Indah menyala di antara terang-kusam hidup yang akan penuh liku.
***
Begitu ibumu pernah bercerita pada nenek. Soal mengapa ibumu dulu sangat suka menimangmu di halaman belakang. Ketika langit mengganti tirai warnanya—menjadi gradasi kuning merah—yang membuaikan langkah kaki ibumu menuju payung pohon pisang. Dulu kau adalah bayi yang jarang merengek. Apalagi berteriak mengamuk. Kau sangat sama seperti ibumu. Lugu dan tak banyak merepotkan. Tapi soal bermain, kau dan ibumu sangat keras kepala. Tak boleh dilarang bila suka sesuatu. Kau adalah waris sejati ibumu. Melihatmu Ning, sama saja seperti nenek melihat anak nenek. Ibumu. Persis, tak ada yang berbeda.
Belum selesai kuceritakan hal-hal tentang ibunya, langkah kaki Gening sudah terseret ke halaman belakang. Ia sangat suka bermain di sana, sama seperti ibunya. Bahkan sebelum kuceritakan kisah ibunya itu, ia sudah lebih dulu membuat istana bermain di bawah pohon pisang. Padahal sudah berulang kali kukatakan agar ia tidak bermain di sana. Sebab di sebelah pohon pisang itu, ada banyak belahan kaca, semak belukar yang rimbun di belakangnya, dan entah binatang apa yang bersarang dalam timbunan yang beberapa tahun tak pernah dibuka. Setiap kali ia asyik bermain di sekitar pohon pisang, dari jauh tatapku akan berdebaran mengawasi langkah kaki kecilnya. Sebab cucu semata wayangku itu, adalah satu-satunya nyala lentera di antara kelam dinding rumah. Sejak kepergian ibunya, sejak ia menitip Gening padaku.
Sering saat aku bekerja serabutan di ladang milik tetangga, selintas Gening muncul dalam pikiranku. Apakah ia baik-baik saja sendiri di rumah? Bagaimana kalau tiba-tiba ia tersandung dan jatuh di tumpukan beling? Pikiran-pikiran itu seringkali membuat kerja tanganku yang harus memetik bunga jadi terganggu. Dulu, sejak ia masih sebelas bulan, saat ibunya pergi, ia selalu kuajak ke mana-mana. Tubuh mungilnya akan bergelayut di dadaku. Wajahnya akan bersembunyi di balik kantong selendang yang kukaitkan di leherku. Jika cuaca sedang menaikkan derajat teriknya, jaket putih rajut yang kini lebih mirip warna mendung akan kubuka untuk melindungi Gening dari panas matahari. Aku tak punya pilihan. Jika tak kulakukan, aku takut Gening tak bisa minum susu.
Aku sadar Gening tak akan terus kecil. Ia akan tumbuh menjadi perempuan yang akan mempertanyakan kehidupan. Dan sejak ia beranjak umur enam, kutetapkan untuk membuat Gening belajar. Bahwa untuk belajar, kita perlu ditampar kesendirian. Merasakan hal-hal ganjil, yang mungkin tak dirasakan saat hidup dalam situasi aman. Situasi saat aku siaga di sampingnya. Gening harus tahu bagaimana melindungi dirinya sendiri. Ia harus tahu bagaimana berjuang untuk dirinya sendiri. Dan sudah setahun belakangan ini, ia kutinggalkan bekerja. Ia harus menjaga dirinya sendiri di rumah. Setidaknya belajar menjaga diri dari rasa lapar. Ia sudah harus belajar bagaimana mengatasi masalah dalam dirinya. Ketika lapar misalnya, ia kini sudah terbiasa mengambil makan sendiri dan mencuci piring setelahnya.
Karena aku tak pernah tau, berapa hitungan lagi sisa umurku. Berapa sore lagi bisa kunikmati bersama Gening. Menyaksikannya bermain di bawah pohon pisang yang entah sudah berapa umurnya. Tapi entah mengapa tak pernah sekalipun pohon pisang itu berbuah. Tak pernah ada jantung pisang yang berdenyut di pohon itu. Sepertinya tanah ini memang tak subur. Terlebih pohon pisang itu tumbuh di dekat tumpukan sampah. Pastilah sampah-sampah plastik mempengaruhi kesuburan tanah di sekitarnya. Pohon pisang itu seakan kekal menjadi tempat bermain anak dan cucuku. Tapi pada setiap pagi, ketika matahari bangun lewat paruh ayam, doaku terpanjat sedari kelopak mataku terbuka. Berharap usiaku bisa menjelma bayangan Gening yang dapat terus bersamanya. Dan tiba-tiba di tengah lamunanku, aku terkejut oleh sentuhan Gening yang menepuk-nepuk pahaku.
“Nenek… nenek… lihat lutut Gening!” wajahnya cemberut sambil menyodorkan lututnya.
“Ya Tuhan, kakimu terluka, Ning? Kenapa bisa? Kamu jatuh, Ning?” tanyaku panik sambil menerawang dalam lukanya. Sebab darahnya begitu deras mengucur. Ah, ini. Ini yang aku takutkan.
“Lutut Ning tergores duri yang tumbuh melilit di batang pisang itu, Nek” wajahnya berkaca-kaca. Seperti menahan perih lukanya.
Segera kupetik daun kayu mas dan meneteskan getahnya di luka Gening. Ini cara yang sejak dulu kulakukan untuk mengobati sebuah luka. Sebab aku tak punya cukup uang untuk membeli obat atau minyak penyembuh, yang kini marak dijual. Hasil serabutan, haruslah cukup mengisi kebutuhan perut saja. Ah, cucuku. Luka pertamamu ini membuat nenek juga nyeri oleh duri yang serasa menusuk seluruh tulang.
“Sudah, Ning. Lukamu akan segera sembuh. Pergilah sekarang beristirahat. Jangan bermain lagi di bawah pohon pisang itu sampai kulitmu menampakkan kemulusannya”
Gening pergi ke kamarnya. Retinaku menyorot tajam ke arah pohon pisang. Segera kuambil sabit. Rasa penasaran membuat batang pohon itu seperti bolong tertembak mataku. Seperti pemburu yang segera menangkap sasarannya, begitu aku berjalan menuju pohon pisang. Benar yang dikatakan Gening, ada semak belukar berbatang jarum-jarum runcing yang melilit batang pisang. Bahkan ada darah Gening yang menempel di batang. Segera kulayangkan sabitku. Semak belukar yang berani-beraninya melukai cucuku, kini terbabat habis bersama ayunanku yang bengis. Sekarang aman sudah. Kalau pun ia nakal tetap bermain ke sini, setidaknya tempat ini sudah bersih. Hatiku akan lebih tenang.
Besok harinya, ketika bulir keringatku baru saja jatuh di tanah. Dari pekarangan kupanggil Gening penuh semangat. Ia barangkali sedang main masak-masakan di bawah pohon pisang, atau entah sedang apa. Kusambangi ia sambil menggenggam makanan kesukaannya, ubi. Ubi ini kudapat sebagai hadiah tambahan dari hasil serabutanku. Sambil berusaha mendekati Gening, pandanganku tanpa sengaja membidik bagian atas pohon pisang. Astaga… apa itu? Apa aku salah lihat? Tidak mungkin. Ini benar-benar tidak mungkin. Tidak, tidak. Mustahil. Segera kuusap-usap mataku dan berharap ini tidak nyata. Tapi, mengapa masih di sana? Aku berlari ke kendi air dan membasuh wajahku. Barangkali aku kelelahan sehingga yang kulihat adalah halusinasi. Ah, yang bergelayut itu masih di pohon. Tapi, bagaimana bisa?
“Ada apa, Nek? Kenapa nenek terlihat sangat terkejut?”
“Lihat ke atasmu, Ning! Lihat!”
“Kamu melihatnya?”
“Wah, apa memang seperti itu, Nek? Ini kali pertama Ning melihatnya”
“Sejak kapan kamu menyadari yang di atasmu itu?”
“Gening tidak tahu kalau bukan nenek yang memberitahu. Kemarin-kemarin tidak ada yang Ning lihat”
Ya Tuhan, bagaimana bisa pohon pisang itu berbuah? Satu-satunya pohon yang masih terus tumbuh walau sudah kutebang, dan kubakar habis pohon lainnya dulu. Bagaimana bisa satu-satunya pohon yang telah puluhan tahun tak berbuah sekarang tiba-tiba berbuah? Apakah ini yang namanya keajaiban? Apakah Ning yang membawa keajaiban ini? Tapi mengapa baru sekarang? Pisang-pisang itu bahkan terlihat montok dan siap panen. Gening yang pertama kali melihat buah pisang di pohon kesayangannya, segera mencicip satu buah pisang sebelum akhirnya kami bersepakat untuk menjualnya ke pasar. Aku yakin, Gening-lah yang membawa rezeki ini. Uang hasil penjualan pisang itu, lalu kubelikan obat untuk bekas luka Gening.
Lima hari kemudian, ketika luka Gening baru saja kering, kudengar dari jauh ia meringis kesakitan. Aku yang sedang memetik bayam liar yang juga tumbuh di halaman belakang, segera menghampirinya ke bawah pohon pisang. Sore itu, angin menyeret dedaunan. Menebar bunyi tanah dan daun kering yang bergesekan. Kudengar suara mengaduh makin lama makin cepat diucapkan Gening. Kulihat empat ujung jari tangan kanannya terluka.
“Lukamu yang sebelumnya belum kering benar, Ning. Kali ini apalagi yang membuatmu terluka? Mengapa kau tak mendengar ucapan nenek? Sudah berapa kali nenek peringatkan?” sambil menggenggam tangan Gening.
“Maafkan Ning, Nek. Tadi Ning sedang menggambar di batang pisang ini. Ning lihat hanya belahan kaca inilah yang paling runcing. Ning sudah coba pakai benda lain, tapi hanya yang paling runcinglah yang dapat menciptakan garis warna yang tebal di batang pisang. Dan saat Ning mengukirkan belahan kaca itu ke batang pisang, tiba-tiba saja belahan kaca itu menancap kuat. Ning pikir itu karena Ning terlalu keras menekannya. Lalu saat Ning berusaha mencabutnya, belahan kaca itu patah dan jari-jari Ning jadi terluka”
Kulihat ujung jarinya tergores. Kulitnya sedikit menganga. Dari celah kulit itu darahnya merembes, sampai pangkal jari yang panjangnya tak seberapa. Darahnya meninggalkan jejak di batang pisang. Kedua kalinya, ia terluka lagi. Kuobati dengan sisa obat yang kubeli beberapa hari lalu dengan uang penjualan pisang. Tapi obat itu hanya bisa untuk sekali lagi. Sebab sudah habis dioleskan berhari-hari sejak luka pertamanya. Ke depannya, getah daun kayu maslah yang kugunakan. Seperti dulu, saat aku belum bisa membeli obat yang harganya cukup membeli lauk lima hari, sebenarnya. Namun masalah yang lebih besar bukanlah tak bisa mengobati Gening dengan obat mujarab itu lagi, tapi yang lebih bermasalah adalah pohon pisang. Pohon pisang yang membuatku semakin gelisah.
Besok harinya—setelah insiden luka kedua, pohon pisang tempat kekal bermain Gening dan ibunya itu melahirkan barisan pisang yang melingkar. Mataku membelalak. Perasaanku kaget. Ini kali kedua pohon pisang itu berbuah sepanjang keberadaannya. Dan lagi-lagi, buah pisang yang keluar nampak siap panen, bahkan jauh lebih montok dari yang pertama. Segera kuberitahu Gening saat itu. Kuajak ia keluar dari kamar dan berjalan bersama ke halaman belakang. Kami heran, pun bahagia di saat yang bersamaan. Berkah ini datang lagi. Lalu pisang itu kami panen. Saat kami menjual pisang itu ke pasar, kulihat Ning berjalan dengan wajah sumringah. Hasil jualan itu, kemudian kubelikan selembar seng untuk menutup lubang atap. Kurasa pohon pisang itu telah bangkit dari tidur panjangnya. Entah keajaiban atau berkat, aku berharap pohon itu berbuah lagi.
Tuhan maha baik. Sejak saat itu Tuhan terus memberi kelimpahan padaku dan Gening. Sudah dua bulan ini pohon pisang itu jadi penghidupan kami. Pohon pisang itu berbuah setiap hari. Terus kami memanen—lalu menjualnya—lalu mendapat uang—lalu berbelanja kebutuhan. Hari-hariku dan Gening kini diisi oleh perjalanan-perjalanan. Entah ke pasar, entah rumah tetangga, entah desa sebelah. Kami menyambangi pintu siapa saja yang ingin membeli pisang kami. Kata mereka, pisang yang kami jual legit dan manis. Aku kini tak perlu lagi serabutan. Bahkan hanya dalam dua bulan, aku bisa punya cukup tabungan untuk menyekolahkan Gening nanti. Karena pohon pisang itu, satu-satunya pohon pisang yang tidak hanya menemani anak dan cucuku bermain, tapi kini menjaga usia kami. Menjaga napas dan hidup kami.
Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini wajah Gening seperti pucat kertas yang berkali-kali digosok penghapus. Matanya seperti pohon kekurangan air. Semangatnya lari entah ke mana. Padahal ia selalu makan nasi dan lauk-pauk cukup. Tentu kurasa itu lebih menunjang gizinya. Sejak kami dihidupi pohon pisang, soal makanan kami berkecukupan sekarang. Kupikir ini pastilah karena cuaca. Kebetulan hujan sudah berhari-hari turun deras. Wajar saja jika kondisi Gening kurang baik. Setiap hari kubuatkan ia air rebusan jahe. Kadang diselingi dengan air perasan jeruk nipis yang dicampur dengan madu. Musim seperti ini, ia perlu yang hangat-hangat. Kondisinya pasti lebih baik nanti. Tapi aku yakin ia baik-baik saja. Ia masih kuat bermain berjam-jam di bawah pohon pisang. Dari sore hingga menuju petang, ia tetap asyik di istana bermainnya.
Namun entah bagaimana kujelaskan perasaanku. Dua hari belakangan ini tubuhnya seperti awan. Lemak tubuhnya seperti mengempis. Bahkan kadang ia tak menjawab saat aku bicara. Ia bilang tenaganya tak cukup kuat. Berjalan saja ia hanya bisa beberapa langkah. Aku begitu khawatir. Aku takut terjadi hal yang tidak-tidak. Gening lebih penting dari segalanya bagiku. Malam itu, ketika ia menggigil kedinginan dan tak bisa membuka mulutnya. Aku begitu panik dan segera berlari ke rumah seorang dokter. Tanpa pikir panjang, malam itu juga aku berlari menembus gelap dan terjengklok beberapa kali karena tak melihat lubang jalan. Aku tak peduli kakiku nyeri. Yang kupikirkan, aku harus cepat membawa dokter itu ke rumah.
Ah, Tuhan memberkati cucuku. Dokter itu ternyata belum tidur. Kuajak dokter itu berlari ke rumahku. Pikiranku sudah tak karuan. Aku ingin cepat pulang. Aku ingin dokter itu segera memeriksa Gening. Dan saat langkah kami tinggal beberapa meter lagi menuju Gening, langit tiba-tiba meruahkan sulur-sulur airnya. Kuajak dokter itu berlari menembus hujan. Kami menguatkan langkah kami di antara licin jalanan. Suara decak kaki bertaluan di tengah hujan. Perasaanku makin tegang. Sedikit lagi kami sampai. Sedikit lagi. Di depan sudah terlihat cahaya lampu membiaskan wajah Gening. Aku makin cepat berlari. Cepat-cepat kusingkirkan kayu-kayu yang kususun jadi pagar. Aku lempar begitu saja ke tanah. Aku tak peduli. Yang lebih penting adalah Gening. Kami sampai. Kami sampai di depan kamar Gening. Cepat-cepat dokter membuka jaket berat yang sudah membendung banyak air. Ia mengecek tas dan peralatan medisnya. Cepat-cepat kubuka pintu kamar. Dan secepat itu pula—aku kehilangan Gening.
Dadaku sesak terhimpit sesuatu. Mungkin rasa gagal, mungkin tak percaya, mungkin takdir yang tak bisa kuterima. Embun berjatuhan dari langit mataku. Ketika kudengar dokter bicara—Gening telah tiada. Yang lebih membuatku tak menyangka, adalah ketika dokter mengatakan penyebab kematiannya. Kalimat yang terlontar dari mulut dokter itu seperti dentuman besar yang meledakkan hatiku jadi partikel-partikel kecil, nyaris seperti debu. Saat dokter itu memeriksa tubuh Gening yang sudah tak bernyawa, ia menemukan dalam mulutnya penuh luka. Gening, satu-satunya alasanku hidup dan berjuang, telah tiada karena kehabisan darah. Baru sempat kuceritakan kondisi Gening belakangan ini pada dokter. Pantas saja katanya, jika tubuhnya putih dan melemas. Sebab luka dalam mulutnya itu, juga penyebab ia sulit bicara. Gening pasti kesakitan.
Aku kini tak pantas disebut siapa pun juga. Aku telah gagal melaksanakan kewajibanku—sebagai nenek dan ibu—aku kehilangan dua-duanya. Anakku, dan sekarang cucuku. Aku ingin Tuhan mengambil nyawaku juga. Tapi entah kapan waktu bersedia. Aku tak ingin bunuh diri dan tak bertemu mereka di surga. Sebab aku yakin aku bisa berkumpul lagi kelak. Bersama mereka. Bersama-sama di tempat yang entah bagaimana rupanya. Sunyi hari-hari kini terasa begitu pekat. Semenjak dua hari lalu. Setelah warga desa membantuku mengurus upacara pemakaman Gening. Tapi rasanya sulit kupercaya. Kemarin sore—tepat sehari setelah pemakaman Gening—kulihat ia jongkok di bawah pohon pisang. Posisinya membelakangiku. Kuhampiri ia ke depan untuk melihat apa yang sedang ia lakukan.
Aku terkejut. Terasa pukulan seperti menghantam dadaku ke belakang. Kulihat ia menggoreskan beling runcing ke gusi mulutnya. Matanya memejam nyeri. Ia ambil darah yang mengalir di dalam mulutnya dengan jari. Ia oleskan ke batang pisang. Di saat yang bersamaan aku seperti bisa mendengar isi pikirannya. Sambil melakukan hal yang tak pernah kusangka itu, dalam pikirannya ia berkata bahwa ia ingin membantuku. “Aku ingin nenek bisa jual pisang. Semoga pohon ini berbuah lagi dan nenek bisa menemaniku bermain setiap hari”. Entah bagaimana bisa aku mendengar isi pikirannya. Setelah itu ia bangun dan memeluk batang pohon itu. Ia mengelus-elusnya, sambil berkata “Ayo kita bantu nenek, Ibu”. Tapi perbuatannya itu terulang-ulang. Aku seperti melihat adegan film yang kasetnya rusak. Apa sebenarnya yang dilakukan Gening? Untuk apa ia melakukan itu?
Seketika aku bangun dengan jantung yang berdebar. Keringatku menetes dari leher dan dahi. Entah mengapa sore itu aku bermimpi seperti itu. Apa sebenarnya yang dilakukan Gening? Untuk apa ia melakukan itu? Tidak, tidak. Aku yakin mimpi itu adalah isyarat. Ya, tidak salah lagi. Setelah aku terngiang dan merenungi mimpi kemarin sore itu, aku segera beranjak dari kasur dan menuju halaman belakang. Aku baru sadar, sudah dua hari ini pohon pisang itu tak berbuah lagi. Aku teringat kembali apa yang dilakukan Gening di mimpiku kemarin. Tidak. Ini tidak mungkin. Tidak mungkin pohon pisang itu berbuah karena darah Gening. Tapi mengapa sejak dua hari lalu—sejak kepergian Gening—pohon itu tak berbuah lagi? Mengapa saat Gening melukai mulutnya dan mengoleskan darah ke batang pisang itu terjadi berulang-ulang di mimpiku? Mengapa ia memeluk pohon itu dan berkata ibu? Bagaimana bisa semua ini seolah masuk akal?
Tidak. Tidak. Itu bukan sekadar mimpi karena merindukan Gening. Aku yakin mimpiku kemarin sore adalah hal yang sesungguhnya terjadi. Gening tahu bahwa setiap kali ia mengoleskan darah ke batang pisang itu, maka pohon itu akan berbuah. Ia sadar kebutuhan kami sangat terbantu setiap kali kami mendapat hasil jual pisang. Dan secara diam-diam saat bermain di bawahnya, ia pasti mengoleskan darahnya setiap hari. Itulah mengapa ia bisa kehabisan darah. Ya. Gening pasti melakukan itu. Itu mengapa mulutnya penuh luka. Tidak salah lagi. Itu benar bukan sekadar mimpi.
Sayup-sayup angin mengirim derai dinginnya. Disusul guruh yang menghantarkan kilatan masa silamku. Tiba-tiba aku teringat tiga puluh tahun lalu. Di mana saat Kumari lahir—ibu Gening—aku menanam ari-arinya di pojok halaman belakang itu. Tepat di mana pohon pisang itu tumbuh. Pohon pisang yang kemudian menemani masa kanak-kanak Kumari—hingga Kumari melahirkan Gening—lalu jadi tempat bermain Gening juga. Di mana dalam tubuh pohon pisang itu, mungkin bersemayam jiwa Kumari. Dan Gening tau ibunya ada di sana, selama ini bermain bersamanya. Gening pasti ingin melihat wajah ibunya.
Tak lama setelah itu, setelah satu bulan tujuh hari berlalu. Sebuah tunas pisang menyembul dari tanah yang basah. Seperti sepasang—riang bercengkrama. Sepanjang hari-hari. Sepanjang gelap dan terang. [T]
____