Secara spesifikasi personal, barang kali saya yang paling lemah di antara kawan-kawan di Teater Kalangan. Jika diibaratkan sebuah laptop, saya mungkin masih menggunakan prosesor pentium di kubu biru atau athlon di kubu merah dengan ram 2 gb di mode 32 bit/x86 — spesifikasi yang sangat jadul untuk tahun 2021. Semua itu menjadi semacam pemberi rasa was-was yang selalu terbit.
Dengan demikian, capaian dalam pengembangan diri penting untuk didalami. Ini bukan seperti ekstra pada jenjang sekolah melainkan “pengembangan diri” dalam artian harfiah. Memberikan ruang diri untuk terpilah dan terisi dengan segala hal. Belajar pada tingkat yang paling dasar. Mungkin yang paling dasar, memilih makan, berpakaian, cara tertawa, mengolah rasa, berkomunikasi kepada orang secara pribadi maupun publik. Mengapa semua itu penting? Ya, karena kadang kala orang lain juga menganggap hal-hal kecil itu menjadi dasar pemberian label kepada orang yang dikenalnya, terutama bagi orang yang baru saya kenal. Itu lumrah.
Ok, cukup pembukaannya. Izinkan saya untuk memulai bayangan “pengembangan diri” itu. Bagi saya, tidak ada sikap, konsep, alergi, suka-tidak suka, dan perbuatan yang tidak memiliki asal muasal. Disadari atau tanpa disadari, tiap orang berkenalan dengan ingatan yang terekam pada diri yang akhirnya terus ikut bersamanya. Hal-hal itu seperti teka-teki yang menyenangkan bagi saya pikirkan.
Saya suka penasaran terhadap riwayat sebuah pertemuan, tiap perjalanan orang, pilihan setiap orang terhadap sesuatu. Tidak hanya itu, saya sering juga takjub dengan kesempatan-kesempatan pertemuan dan hadiah yang mereka atau yang saya alami. Siapa yang mengendalikan atau dikendalikan, atau malah menjadi keduanya. Seperti Forrest Gump, tiap kisah orang adalah spesifik dan penuh jalan yang mengarah kepada ruang isian. Tiap perjalanan itu unik dan sangat berarti bagi pribadi masing-masing.
Mengenai jalan, ingatan saya selalu mengarah kepada salah satu bagian dari wawancara Brian Rose dalam London Real-nya bersama Dandapani. Oleh gurunya, Dandapani diberikan pesan bahwa “tidak ada hidup yang lebih baik daripada dapat mengetahui diri senfiri, jalan yang mesti dilalui, dan tujuan akhirnya.” — ini terjemahan bebas ke bahasa Indonesia. Barangkali sedikit klise, tapi hal itu sering terlintas di pikiran saya.
Apa yang menjadi ukuran atas spesifikasi diri itu? Segala yang hal baik dan tidak baik? Barangkali. Semua itu seperti saling bersinggungan dan saling muncul dan surut. Pada proses kesadaran yang lambat itu, satu per satu hal-hal yang kurang berkenan terbuka dan memperlihatkan diri.
Sebagai orang yang — lebih sering “introvert”, berada pada kerumunan kadang terasa menyulitkan. Kesempatan yang diberikan oleh alam untuk merantau ke Denpasar menjadi langkah penting pada pendobrakan personalitas itu. Semua itu bagi saya adalah berkah. Peta kekurangan atas spesifikasi diri itu pasang-surut. Peta itu mesti diselusuri dan dihapal.
Celakanya, pada usia yang tidak kanak-kanak ini, rasanya memang tidak ada kompromi untuk masih memiliki sifat yang tidak “berkenan” di mata orang banyak. Kepada waktu, kebutuhan dasar, keinginan, kewajiban, cara bersosial dan kepada batas-batas diri. Maka, jalan sepi seperti yang saya bayangkan beberapa tahun lalu sepertinya hanya sebagian kecil dari penelusuran atas pemahaman terhadap diri. Ada lagi pintasan-pintasan lain. Hal itu mirip pada proses menulis dalam diskusi-diskusi dengan teman-teman saya bahwa tiap penulis, tiap dirilah yang berperan besar penting untuk karyanya.
Ketika menjadi pembicara dalam Workshop pada serangkaian Siar Siur Kalangan, saya sadar akan kekurangmahiran dan ketidaksiapan diri berkomunikasi dan menentukan kerja kekaryaan. Pada kesempatan itu saya mulai merumuskan bagaimana sebenarnya saya secara pribadi mengolah input-an menjadi suatu produk tulisan (khusus untuk puisi). Poin penting untuk saya ingat bahwa tiap karya harus ada maksud, harapan, dan asa.
Kembali pada interview dari Dandapani tersebut, dia juga bercerita bahwa “tidak ada perjalanan yang tidak berujung.” Kapankah kita membuka suatu perjalanan tanpa adanya tujuan? Ketika keluar pasti ada yang akan dituju dan dicari: beli es campur di warung tipat tahu, beli deterjen di swalayan, atau pergi ke cafe untuk bertemu seseorang. Jadi maksud, harapan, dan asa bagi saya kini menjadi beberapa muara dalam berkarya.
Hal itu juga menjadi pengingat bahwa tidak ada usaha yang tidak ada tujuannya, tanpa menginginkan hasil. Ya memang bahwa tiap orang harus menelan pengalaman sebanyak-banyaknya tanpa pamrih. Namun, pada tahun tahun ini, saya mencoba memilah segala informasi dan teknik yang selama ini menghantui pikiran.
Pada beberapa tahun terakhir di Teater Kalangan, saya lebih banyak mendapat tugas bagian di luar panggung. Dan saya sadar bahwa sepertinya panggung bukan bagian/isian untuk hidup ini. Saya bekerja pada porsi bidang-bidang yang berkaitan dengan komputer/digital: teks, visual mapupun audio.
Semua itu ada sebab. Saya memang suka mencoba banyak software komputer. Dari sekian perjalanan itu, banyak hal dari pengunaan keseharian komputer (laptop) yang saya coba pelajari. Tidak sedikit pula yang hanya menjadi selintas lalu atau sekadar tahu saja tanpa adanya tujuan/hasil. Hal itulah pula yang kini menjadi titik singgah masalah.
Maka dari itu, saya mulai menerima ide bahwa perjalanan tanpa tujuan mirip seperti pengetahuan (kumpulan informasi) tanpa produk. Benarkah saya sudah melangkah atau berkembang? Bagi banyak orang, produk adalah indikator penentu capaian itu. Jika benar semuanya berjalan lancar, harusnya sudah ada produk dari informasi-informasi yang sudah dikumpulkan. Hal itu yang kini menjadi dilema: harus ada hasil jadi yang berguna dari pengetahuan itu.
Karya lain yang mesti saya landaskan atas tujuan adalah seri novel. Karya ini memang saya “paksakan” harus dirampungkan selama beberapa tahun yang akan datang. Tanpa saya sadari, novel itu menjadi semacam wadah bahan-bahan percakapan diri yang belum teramu. Dan kadang malahan saya yang belajar dari tokoh-tokoh yang saya ciptakan.
Apakah karya-karya itu nantinya dapat menjadi tujuan akhir? Bagi saya bisa ya, tidak, di tengah-tengah, atau tidak ketiganya. Mari tunggu 2022 mendatang, untuk melihat hasilnya. Terima kasih. [T]