Akan selalu menarik buat saya ketika “terjebak” dalam diskusi yang membicarakan soal Bali. Iya, Bali merupakan pulau kecil diapit dua pulau serta luasnya lautan dengan berbagai daya tariknya yang orang-orang sebut sebagai tradisi dan budaya. Meski kecil, Bali sangat kaya akan local genius yang menarik untuk dikuliti satu persatu—bisa jadi setelah menguliti tradisi dan budaya akan muncul kesimpulan yang (mungkin) sejatinya sudah ditinggalkan sejak lama. Dan wacana ini yang akhirnya saya temukan dalam sebuah buku berjudul “Ekologisme Batur”— layaknya girangnya Monkey D. Luffy yang menemukan harta karun One Piece, seperti itulah girangnya saya melihat wacana-wacana tandingan yang disuguhkan oleh penulis.
Ekologisme Batur yang lahir akhir tahun 2020 (Desember 2020) diterbitkan oleh Penerbit Mahima—penerbit yang bermarkas di Bali Utara. Buku ini merupakan kumpulan dari 18 essai yang ditulis oleh IK Eriadi Ariana atau Jero Penyarikan Duuran Batur. Pilihan untuk menjadikan lukisan dari Nengah Sujena yang bertajuk Filosofi Menanam menjadi pilihan yang tepat untuk menggambarkan isi dari substansi yang dibawakan oleh penulis melalui “Ekologisme Batur”.
Saya yang kebetulan berada dalam satu generasi bersama Jero sedikit banyaknya merasakan keresahan yang serupa. Resah akan kelestarian alam, pemahaman makna dari berbagai ritus, serta kehidupan masyarakat yang dengan massif bergeser dari tempatnya. Bedanya, saya lebih tertarik ke arah sosial politik, sedangkan Jero lebih kepada tradisi, adat dan budaya.
Melalui Ekologisme Batur, penulis berhasil mentransformasikan berbagai informasi ke imaji pembaca. Bukan sembarang informasi, informasi yang ditampilkan berupa data prasasti, teks-teks kuno, sampai ingatan-ingatan masa lalu leluhur yang umumnya sulit dicerna oleh orang awam seperti saya. Keberhasilan ini tentu memudahkan pembaca dalam memahami maksud dari penulis, berhasil pula dalam memahami keresahan dari penulis.
Setelah membaca Ekologisme Batur (meski hanya sekali), saya merasa diajak untuk mengenal berbagai kebiasaan, ritus, juga sejarah dari komunitas adat tempat penulis tinggal. Peradaban pegunungan yang berdasarkan teks-teks kuno juga dikatakan sebagai awal mula peradaban manusia Bali. Dituliskan dalam essai yang berjudul “Sarjana Pertama” (hal. 114) Bhatara Brahma ditugaskan untuk menciptakan manusia utama dan ia memilih melakukan tugasnya di Kawasan Tampurhyang (Kawasan Kintamani kini). Tentu ada alasan kenapa Kawasan ini dipilih untuk mencipta manusia utama sebagai penerima ajaran Weda. Apakah Kawasan Tampurhyang memiliki nilai-nilai luhur soal peradaban dan pendidikan? Silakan baca sendiri.
Selain berhasil menggambarkan bahwa kawasan Kintamani merupakan kawasan penting peradaban Bali—juga disebutkan bahwa Kintamani merupakan yang sejak dulu dikenal sebagai pusat pengembangan pendidikan. Keberadaan Pasraman Widya Sinarata menjadi bukti sejarah bahwa pendidikan menjadi yang utama, khususnya dalam menurunkan informasi terkait tradisi dan budaya. Pendidikan yang berlangsung selama 6 bulan penuh dengan peserta didik kisaran siswa SD sampai SMP ini mengisyaratkan bahwa pendidikan—pengetahuan tradisi dan budaya wajib ditanamkan sejak usia dini. Jikalau tidak, putusnya informasi terkait esensi pelaksanaan tradisi dan budaya akan membayangi generas-generasi berikutnya.
Seperti yang saya katakan di awal tadi, menariknya buku ini karena terdapat berbagai wacana tandingan untuk berbagai cerita bahkan kepercayaan yang sudah dianggap final di tengah masyarakat Bali. Wacana tandingan tersebut bisa kalian temukan pada 5 essai yang masing-masing berjudul Jejak Persahabatan Purba (hal. 30), Ruang Berkumpul “Sekala-Niskala” (hal. 37), Mayadenawa dan Narasi Air dari Hulu ke Hilir (hal. 75), Mayadenawa Tattwa (hal. 84), dan Dari Balik Taring Mayadenawa (hal. 90). Bagaimana penulis mempertanyakan tren tetua-tetua hari ini yang seakan doyan dengan penyeragaman konsep desa adat dan Tri Kahyangan. Lalu bagaimana penulis mempertanyakan kembali entitas sesungguhnya yang dipuja pada Pura Desa. Serta bagaimana cerita Mayadenawa yang beredar luas di masyarakat berhasil menciptakan tafsir tunggal seakan tidak mengizinkan tafsir lain untuk menggugat tafsir final tersebut. Penulis mampu mengajak untuk menangguhkan kembali tafsir-tafsir tunggal yang sudah beredar di masyarakat. “Menyerang” tafsir tunggal dengan berbagai pertanyaan, dibarengi pula dengan memaparkan berbagai kemungkinan yang sesungguhnya bisa terjadi.
Berhasil Menimbulkan Pertanyaan Baru
Tentu banyak informasi yang berhasil saya rengkuh dari membaca Ekologisme Batur. Kalau kata seorang kawan, membaca Ekologisme Batur sama saja dengan berkenalan kepada penulisnya—Jero Penyarikan Duuran Batur. Namun, berbagai pertanyaan berhasil muncul secara bergantian dalam pikiran saya pasca membaca Ekologisme Batur. Sebelum masuk ke substansi pertanyaan yang ingin saya kemukakan, tentu penulis harus kembali menyempurnakan beberapa kesalahan ketik dan juga beberapa kalimat yang ‘rasanya’ agak sulit dimengerti oleh pembaca (terutama buat saya).
Pertanyaan muncul setelah saya membaca essai yang berjudul “Dua Gadis Suci Penjaga Titik Suci”. Dalam essai ini dihadirkan penjelasan soal struktur Dane Sareng Nem yang merupakan ujung tombak pemerintahan adat di Desa Batur. Dalam struktur ini terdapat dua sosok yang dipercaya untuk memimpin segala bentuk upacara di Desa Batur, mereka adalah Jero Balian Mekalihan. Seperti yang juga sudah dijelaskan oleh penulis bahwa Jero yang mengemban tugas terpilih melalui upacara Nyanjan. Sebuah ritus yang agaknya sulit dijelaskan secara ilmiah atau logika. Pertanyaan yang muncul dalam kepala saya adalah mengapa Jero Balian Mekalihan harus mengorbankan Grehasta Asrama demi melayani umat? Apakah dengan mengorbankan masa Grehasta sosok Jero Balian Mekalihan dianggap suci? Rasanya ada penjelasan yang lebih komperehensif kenapa hal ini dipercaya dan dijalani oleh komunitas adat Batur.
Sebagai “Juru Bicara” dan juga putra daerah, tentu Jero Penyarikan Duuran Batur bisa memberikan jawaban atas pertanyaan sekaligus keresahan yang saya rasakan setelah membaca Ekologisme Batur. Anggap saja ini sebagai tanggung jawabmu sebagai penulis ya Jero, hehe. [T]
BACA ULASAN BUKU LAIN DARI TEDDY
BACA ULASAN LAIN BUKU “EKOLOGISME BATUR”
Ekologisme Batur | Kenakalan Berpikir Jero Penyarikan Duuran Batur