Jumat, 8 Januari 2020, pagi, di pusat Ubud cuaca tampak tak bersahabat. Hujan deras mengguyur desa itu sejak sehari sebelumnya. Walau demikian, aktivitas penghuni seperti tak terganggu. Pasar Umum Ubud tetap padat oleh pengunjung yang berdesakan. Maklum saja, esok hari merupakan Hari Tumpek Wayang dan beberapa titik di Ubud akan berlangsung upacara adat keagamaan. Itu sebabnya, pedagang bunga dan buah-buahan diserbu oleh ibu-Ibu rumah tangga sejak subuh.
Pukul 09:00 WITA pagi itu, Saya bersiap untuk berkunjung ke Puri Mertasari Ubud, kurang lebih 90 meter ke arah utara dari rumah Saya bersama dengan Tjokorda Agung dan Gus Oka.
Sejak seminggu sebelumnya kami bertiga bersepakat untuk mendatangi Puri Mertasari, tempat kediamaan Alm. Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta, M.A (Prof. Tjok Sudharta) dalam rangka mapekeling (mohon ijin dan restu) sembari melakukan persembahyangan di Pemrajan demi lancarnya acara perdana “Rembug Sastra” Ubud Royal Weekend Media (URW Media) di Tahun 2021 dengan tema “Kerthabhasa dan Kerthagama: Kelana Pemikiran Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta, M.A dalam Bahasa dan Agama”.
Di bawah hujan, kami berjalan kaki menuju Puri Mertasari dan disambut hangat oleh Tjokorda Gde (keponakan Almarhum) serta Tjokorda Putra (Putra Almarhum). Dengan suasana yang akrab dan penuh kekeluargaan, kami duduk di Gedong Daje serta saling berdiskusi diselingi tawa canda satu sama lainnya sembari menunggu saatnya hujan reda.
Tepat di tembok sebelah saya duduk, terpangpang foto Prof. Tjok Sudharta dan juga foto kakak serta dua adik Beliau. Prof Tjok Sudharta merupakan putra kedua dari empat bersaudara. Kakak Beliau adalah Tjokorda Raka Dherana yang juga cukup dikenal sebagai pakar hukum adat Bali pada jamannya. Tjokorda Raka Dherana bahkan sempat menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Bupati Gianyar Periode 1983-1993.
Rasanya tak banyak yang tau, dalam Lontar Palelintih Puri Ubud milik Tjokorda Gde Ngoerah yang tersimpan di Puri Agung Pesaren Kauh, keempat bersaudara ini disebutkan dengan nama-nama yang unik seperti yang dijelaskan dibawah ini:
………maliḥ harin hidā cokordā gde rakā/ ring puri śaren kangin baloddan/ maparab hidā cokordā gde nguraḥ/ māputrā hiddā ptang siki lanang lanang/ sane piniḥ duwūr/ maparab hidā cokordā rakā botor/ harine māparab hiddā cokordā rahi huṇdis// harine maparab hidā cokordā rakā komak// sane piniḥ halit/ maparab hidā cokorddā hokā kcahi/ mabyang prĕgusṭi saking taman hubud//……
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa ayah Prof.Tjok Sudharta terlahir di Puri Agung Pesaren Kangin Delodan sebelum akhirnya menetap dan mendirikan Puri Mertasari Ubud bersama istrinya yang berasal dari Taman Ubud. Tanpa bermaksud yang bukan-bukan, tampaknya sebutan nama “Botor, Hundis, Komak, Kcahi” tersebut lebih kepada nama “sayang” sewaktu kecil yang memudahkan para penglingsir untuk memanggil dan mengingatnya.
Ada pula beberapa pandangan para tetua yang menyatakan bahwa konon dahulu nama lengkap lebih baik disembunyikan, agar terlihat lebih “pingit”. Walau demikian, yang pasti tanpa disangka satu diantara keempat anak tersebut kelak berhasil menjadi “Professor” pertama Puri Ubud, menduduki Parlemen Senayan selama 20 tahun serta menghasilkan beberapa Karya Buku di bidang Agama dan Sastra.
Kembali di Puri Mertasari tampak hujan mulai mereda dan selanjutnya Kami pun berbegas menuju plataran Pemrajan. Di Jaba Sisi, tampak sebuah tugu dengan dua patung (lanang dan istri) turut menyapa kehadiran Kami. Oleh keluarga setempat, Pelinggih tersebut dipercaya sebagai penyawangan Ida Ratu Gede. Gus Oka lantas menghaturkan bhakti pejati.
Sambil menunggu, saya pun kembali bercerita bersama putra almarhum tentang keseharian Prof. Sudharta sewaktu di Jakarta maupun setelah pulang kembali ke Bali. Sesekali pandangan Saya tertuju pada Kain berwarna putih dan kuning yang bergulung membungkus sebuah Kotak di Bale Pengaruman.
Merasa penasaran, saya pun tak canggung menanyakan kepada Putra Almarhum perihal Kotak berwarna Putih Kuning tersebut. Olehnya dijelaskan bahwa didalamnya tersimpan beberapa “Lontar” tetamian (peninggalan) Almarhum. Sayapun memohon lebih lanjut untuk dapat melihat isi didalamnya selepas usai melakukan persembahyangan. Gus Oka memberikan aba-aba untuk Kami dapat segera melalukan persembahyangan meski hujan tetap enggan berhenti sempurna.
Berselang 15 menit kemudian, kami segera berdiri bersama untuk melihat serta membuka bungkusan kain putih dan kuning tersebut. Dalam hati saya merasa bersyukur karena pagi itu Saya ditemani Gus Oka yang merupakan Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Gianyar. Setidaknya, Beliau mampu menjelaskan kepada Kami tentang apa isi lontar tersebut. Dari pengamatan Kami pagi itu, Almarhum meninggalkan 12 cakep lontar Bali.
Secara fisik, lontar tersebut masih dalam kondisi yang sangat baik. Lebih Lanjut Gus Oka tidak melakukan pengecekan dengan detail pada seluruh lontar. Namun satu yang pasti, dari sekian Lontar tersebut terdapat satu lontar salinan “druwen fakultas sastra udayana” dan satu lontar salinan “druwen Gdong Kirtya”.
Kepada putra Almarhum, kami bertiga berjanji akan berkunjung kembali untuk melakukan digitalisasi dan inventarisasi untuk kepentingan keluarga dan masyarakat di kemudian hari. Dibawah tumpukan lontar-lontar tersebut, selanjutnya kami membuka kotak berukuran tipis memanjang yang dibungkus dengan kain kuning.
Saya cukup terkejut setelah kotak kayu tampak telanjang tanpa pembalut Kain Kuning, karena terpampang dengan sangat besar ialah ukiran Logo “Universitas Indonesia”- sebuah Kampus ternama di Tanah Air. Sebelum kami membukanya, terlihat rawut wajah putra Almarhum juga seperti tak sabar.
Dalam hati saya berpikir: “mungkinkah para pewaris juga tak pernah tahu isi dalamnya?” heee,,,,
Setelah kami buka, ternyata ditengahnya berisi tiga lembar kertas Ijazah Almarhum Tjokorda Rai Sudharta yang sudah dilaminating dengan rapi. Yang pertama adalah Ijazah Bachelor of Arts di Banaras Hindu University tertanggal 23 Desember 1957.
Kertas yang kedua adalah Ijazah Master of Arts di Panjab University tertanggal 21 Agustus 1961 dan yang terakhir dengan ukuran yang paling besar adalah piagam yang ditandatangani oleh Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Sujudi dan Panitera Senat Prof. Dr. Rustam Didong tertanggal 20 Desember 1986 tentang pengangkatan Almarhum menjadi Doktor dalam Ilmu Sastra setelah berhasil membuat dan mempertahankan Disertasi berjudul “KERTABHASA : Pengajaran Bahasa Sansekerta melalui Bahasa Jawa Kuno dengan menggunakan lontar-lontar tulisan Bali dalam bentuk Prosa dan Puisi: suatu perkenalan”.
Lantas langit terlihat mulai cerah, kami pun bergegas merapikan kembali dokumen tersebut lalu memohon pamit untuk dapat kembali pulang. Tak terasa jam telah menujukkan Pukul 12:00 WITA, perut telah memberikan sinyal waktunya untuk segera makan siang. Sungguh perjalanan pagi yang cukup mengesankan Jumat itu seraya berharap acara Rembug Sastra esok hari berjalan dengan baik dan lancar.
Hari itu juga tampak lebih lengkap tatkala di siang harinya terlihat Budayawan Bali I Wayan Westa turut menceritakan sepak terjang Almarhum Prof Tjok Sudharta melalui tulisannya di laman Media Sosial setelah sempat melakukan wawancara langsung kepada Almarhum pada Tahun 2005 silam. Tulisan tersebut sungguh menarik menjadi bahan pengantar pada diskusi keesokan harinya di Musuem Puri Lukisan Ubud.
Sebelum saya menceritakan situasi pada acara Rembug Sastra URW Media yang diselenggarakan keesokan harinya di Soekawati Hall-Museum Puri Lukisan Ubud, ijinkan saya menceritakan perjumpaan saya dengan salah satu Buah Karya Almarhum. Sesungguhnya, sampai dengan kepulangan Almarhum, saya orang yang tidak beruntung karena tidak sempat menimba ilmu serta menghadap kepada Beliau, padahal menuju kediaman Beliau hanya memerlukan waktu 3 menit berjalan kaki ke arah utara. Mungkin wajar rasanya karena basic Pendidikan Strata 1 dan 2 saya tidak bersentuhan dengan bidang Ilmu Sastra yang digeluti Almarhum.
Namun tak disangka perjumpaan saya justru terjadi lewat salah satu buah Karya Almarhum. Pada awal Tahun 2017, kurang lebih saat usia kandungan Istri Saya menginjak bulan yang keempat, Saya bertekad untuk menyalin satu buah Lontar tetamian pendahulu di Puri Anyar Ubud. Judulnya kala itu adalah Lontar Semara Reka.
Saya bertekad bahwa sebelum persalinan nantinya, Lontar itu sudah selesai saya salin di media kertas. Jujur,,,,,!! ini hanya sebuah janji pribadi saja dan lebih pada komitmen diri dengan sang cabang bayi. Pemilihan judulnya pun tampak asal asalan karena dari 67 cakep, lontar Semara Reka-lah yang terletak paling luar sehingga mudah untuk diambil. Lontar dengan nomor register 6, Panjang 41,5 cm dan Lebar 3,3 cm tersebut terdiri dari 28 halaman. Pada Kalimat pembukanya tersirat:
“Ong Awighnamastu nama sidham/iki tutut smara reka/nga/Slokantara/nga/sunia reka”……
lebih lanjut lagi pada beberapa halaman berikutnya tersirat kembali kalimat:
“Yan tan wruh ring Slokantara/tan wnang/dadi Balyan utawi Pandhita”…….
Saya merasa tertarik sekali mendengar Kata “Slokantara” tersebut, walau jujur saat itu tak memahami artinya. Lantas, dalam sebuah perjalan saya menuju Kampus Fakultas Ekonomi Universitas Udayana di Sudirman beberapa bulan setelahnya, Saya menyempatkan mampir di sebuah toko buku di bilangan Yangbatu. Disana saya sungguh terkejut melihat satu buku berwarna hitam berjudul “Slokantara”. Lebih terkejut lagi di bawahnya tertera nama penulis buku tersebut ialah Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta M.A (putra Puri Ubud).
Dengan sangat lugas dan menarik, Almarhum menerjemahkan setiap sloka tentang etika dan kebenaran dengan bahasa yang sangat sederhana dan mudah dipahami. Jadilah buku itu salah satu buku favorit saya dan beberapa kali saya bagikan kepada beberapa kolega untuk dibaca. Itulah perjumapaan saya dengan karya Almarhum empat tahun setelah Almarhum meninggal dunia.
Kembali pada gelaran acara Rembug Sastra URW Media 2021, tampak siang itu hujan kembali turun sangat derasnya. Walau demikian para panitia penyelenggara tetap semangat mempersiapkan acara pembuka di Tahun 2021 tersebut. Diskusi ini menghadirkan dua narasumber, yaitu: I Wayan Sukayasa (Guru Besar UNHI Denpasar) dan I Dewa Gede Windhu Sancaya (Dosen FIB Universitas Udayana) serta dipandu oleh I Gusti Agung Paramita (Dosen Ilmu Filsafat Hindu UNHI Denpasar).
Sebelum acara diskusi dimulai, Tjokorda Gde Agung Ichiro Sukawati selaku Ketua Yayasan Janahita Mandala Ubud mengutarakan beberapa poin pengantar serta mengucapkan Selamat Tahun Baru 2021 sekaligus membuka acara Rembug Sastra yang pertama di Tahun 2021. Prof. Sukayasa sebagai narasumber pertama menjelaskan kepada Kami pemikiran-pemikiran Almarhum dalam pemajuan Agama Hindu dan Kebudayaan Bali melalui beberapa Buku Karya Almarhum Prof. Tjok Sudharta seperti: Upadesa (1967), Sarasamuscaya (1976), Slokantara (1982), Asta Brata Dalam Pembangunan (1898), Nasehat Sri Rama Sampai Masa Kini (1990), Ramayana dan Mahabrata terj.BH. Sarkar (1992), Manusia Hindu I sampai perkawainan (1993), Bertemu Tuhan Dalam Diri (2005), Bhagawadgita dalam Bisma Parwa (2010), Antara Filsafat Yunani Plato dan Filsafat India Upanisad Bhagawadgita (2010).
Narasumber kedua Bapak Dewa Windhu Sancaya menyampaikan beberapa pandangannya tentang Kertabhasa yang diangkat Almarhum dalam Sidang Terbuka Doktor Tahun 1986. Lebih lanjut dinyatakan bahwa melalui disertasi Almarhum tersebut, diperoleh pemahaman betapa pentingnya pelajaran dan pengajaran Bahasa dengan berbagai aspeknya meliputi gramatika, tatabunyi, dan kosakata yang dilakukan secara terencana dan sistematis. Model pembelajaran yang dikemukakan Almarhum patut ditindaklajuti dan dipratekkan dalam pengajaran Bahasa baik Sansekerta, Bali maupun yang lainnya.
Jalannya acara sore itu cukup bergairah dan Sayapun berusaha keras untuk mengikuti dan memahami penyampaian para narasumber. Menariknya, putra almarhum juga sempat menceritakan kejadian yang mengharukan saat dahulu Almarhum Prof. Tjok sudharta bersusah payah menyelesaikan tugas akhir Disertasinya. Dalam kondisi yang sempat sakit dan dirawat di rumah sakit kala itu, Almarhum Prof. Tjok Sudharta merasakan sakit yang luar biasa pada tangan kanannya. Dengan keterbatasannya, beliau tetap gigih melanjutkan tugasnya menulis disertasi tersebut menggunakan tangan kirinya.
Pada titik itu, saya memandang keuletan yang luar biasa dari Almarhum untuk menyelesaikan disertasi tersebut sebagai upaya tidak saja untuk pencapaian pribadinya, namun juga penghormatannya pada Panitia Promotor (Prof. Dr. Haryati Soebadio dan Dr. E.K.M. Masinambow) serta wujud persembahanNya yang tulus kepada Keluarga tercinta sesuai dengan yang Beliau tuliskan pada halaman ketiga Disertasi tersebut:
“Dipersembahkan kepada Ayahku yang tuna netra setelah kawin, kepada Ibuku yang telah tiada, kepada kakak, adik dan istriku yang tercinta, kepada anak-anakku tersayang”.
Tampaknya memang Almarhum memang pemikir yang gigih serta memiliki komitemen yang kuat dalam setiap tugas yang dikerjakannya. Bagi Saya, Beliau merupakan sosok yang inspiratif dan patut dibanggakan. Tak salah juga URW Media mengangkat “Kelana Pemikiran” Beliau sebagai tajuk diskusi pembuka di Tahun 2021 ini.
Tulisan singkat ini saya buat sebagai bentuk penghormatan kepada Almarhum yang merupakan salah satu putra terbaik Ubud, yang pada tanggal 1 Agustus 1990 silam diangkat dan ditetapkan sebagai Guru Besar Madya dalam Ilmu Bahasa Sansekerta pada Fakultas Sastra Universitas Udayana di Denpasar. Salam hormat dan bhakti Saya kepada “Ida Dewata” walau tak sempat saling bercengkarama. Terima Kasih juga kepada Saudara Putu Eka Guna Yasa yang telah memberikan Salinan Disertasi Beliau.
Mohon maaf jika ada salah kata dan kekurangan dalam penulisan ini terlebih disadari sepatutnya masih banyak lagi yang dapat ditambahkan jika menceritakan Sosok Almarhum.
- Catatan URW Media 2021, “Bantas Angge Aubudan”.