PENGANTAR:
Tukad Bembeng di kawasan Banjar Gelulung, Sukawati, Gianyar, Bali merupakan salah satu sungai yang sudah puluhan tahun terlupakan. Sejak masuknya air PDAM ke desa tersebut pada tahun 1980 sungai ini seperti tidak lagi dibutuhkan, terkucil di halaman belakang desa, tak tersentuh. Hal itu membuat kondisinya sangat menyedihkan, kumuh, liar, rusak dan dangkal karena ditunggangi sampah yang meruah. Namun, sejak beberapa bulan lalu muncul antusiasme dalam jiwa anak muda banjar ini. Merasa sedih melihat kondisi sungai, mereka memutuskan untuk memperbaiki keadaan. Di bawah koordinator I Putu Dwipayana yang juga Ketua Sekaa Taruna Dharma Sentana Banjar Gelulung, para pemuda yang tergabung dalam organisasi Gepala atau Gelulung Pecinta Alam mulai bergotong royong setiap hari Minggu, sekaligus mengisi waktu di tengah pandemi, untuk memulihkan kelestarian Tukad Bembeng (Redaksi).
______
BEMBENG itu bukan tukad biasa. Tidak main-main, Bembeng adalah tali taksu, penghubung dan pengikat desa-desa tua di sepanjang alirannya sebagai entitas penjaga spirit Bali.
Ibarat sabuk, hulu Tukad Bembeng yang ada di Ubud adalah gesper, disimbolkan dengan keberadaan Pura Gunung Raung di Taro, sedangkan hilirnya yang berakhir di Cengcengan, Sukawati, berupa campuhan dng Tukad Wos itu, laksana ujung sabuk.
Bila campuhan Cengcengan dihidupkan sebagai satu simpul spiritual, ditanam panca datu, sebagai Pura Campuhan Cengcengan, secara niskala ini akan terhubung dengan pura di hulu sungai. Itu melambangkan pertemuan dua kutub taksu, antara hulu dengan hilir, luan-teben, positif-negatif, kaja-kelod, seperti ujung sabuk yang terpasang pada gespernya dan nemugelang.
Pertemuan spirit hulu dengan hilir ini akan memancarkan spiral taksu yang terus bergerak, berputar, mengalir bak tarian kosmis Siwanataraja. Spirit taksu alami tersebut akan memberi energi luar biasa yang tanpa jeda bagi komunitas dan lingkungan di radius Tukad Bembeng.
Orang-orang yang tumbuh di sepanjang aliran Bembeng bukanlah kebetulan belaka mukim di sana. Mereka orang-orang terpilih, secara genetis dianugerahi beragam bakat dan spirit yang kuat sebagai penerima taksu yang tenget tukad ini.
Ini adalah japamala. Bembeng ibarat tali, sedangkan wilayah, desa, komunitas di sekitarnya sebagai biji-biji genitri. Bembeng dan lingkungannya adalah rangkaian gelang genitri maya yang memutar taksu satyam, siwam, sundaram.
Wilayah yang terhubung oleh garis Tukad Bembeng, di antaranya Ubud, Tebesaya atau Padangtegal, Peliatan, Pengosekan, Mas, Lodtunduh, Silungan, Batuan, Puaya, Sukawati atau Banjar Gelulung adalah rumah bagi orang-orang istimewa dengan bakat spesial, karakter spesial, spirit spesial. Mereka entitas yang berbeda dibandingkan orang kebanyakan.
Mereka para seniman kehidupan yang tumbuh dari generasi ke generasi bersama spirit yang mengalir alami dari Tukad Bembeng. Mereka mengerti itu dan seharusnya dapat menghayatinya dengan baik.
Bila eksistensi Bembeng terganggu maka aliran taksu pun terganggu dan mempengaruhi harmoni kehidupan.
Di luar itu, Bembeng ibarat seorang ibu yang penuh kasih. Ibu yang memberi dan merawat. Itu sebabnya orang Gelulung selalu memandang Bembeng dengan takzim.
“Kita berhutang banyak pada Bembeng. Sebagian energi hidup yang mengaliri jiwa raga kita adalah datang dari tukad ini.” kata Nyoman Arjana Putra, warga Gelulung yang juga seorang guru.
Secara alami, wilayah Bembeng-nya Gelulung mulai dari tikungan di pojok barat carik Gagalan, terus ke “bulakan” tempat sungai memecah diri jadi dua, satunya ke Penga dan satu lagi ke batan Celagi, lalu kedua cabang ini menyatu lagi di lubuk Paluh. Ya, inilah yang secara alami dianggap sebagai kawasan Bembeng dari Banjar Gelulung.
Selepas Paluh, Bembeng lanjut ke hilir yang galib disebut Tukad Bangka yang merupakan wilayah Banjar Dlodtangluk dan Banjar Tebuana hingga berakhir di Cengcengan.
Bembeng-nya Gelulung memang tidak panjang namun inilah bagian terindah dari lanskap Tukad Bembeng dan mudah diakses.
Di sini tempat ia memecah diri jadi dua aliran, yang secara gaib menjadikan dirinya tukad yang bukan saja elok tapi juga mengandung mistik. Ia tenget namun tidak menggertak. Ia syahdu tetapi tetap dalam aura alaminya yg kuno dan misterius.
“Bembeng itu seperti ibu yg berwibawa namun hatinya penuh welas asih.” kata Ketut Gde Suaryadala, seorang palingsir banjar yang juga pejabat di Pemkot Denpasar.
Sejak dulu, Bembeng adalah tempat bagi warga menggantungkan sebagian hidupnya. Bila ada yang menikah, ritual mandinya akan dilakukan di sini. Bembeng jadi salah satu saksi bagi warga yang berikar membangun mahligai rumah tangga.
Ibu-ibu yang sebel karena habis melahirkan akan pergi menyucikan diri ke Bembeng dengan membawa sarana tiyuk puntul misi bawang sebagai pasikepan. Setelah beberapa kali ‘malukat’, mandi, keramas, berendam, mencuci pakaian atau kainnya sendiri, mereka akan merasa suci kembali dan kondisinya pulih dengan cepat, seakan tukad Bembeng telah menyerap dan menghanyutkan perasaan sebel mereka.
Bembeng yang menyediakan pasir terbaik dan batu koral untuk warga yang membuat bangunan rumah atau tempat suci.
Bembeng menyediakan air untuk kebutuhan hidup sehari-hari, untuk mandi, cuci maupun masak, juga buat hewan ternak.
Dulu, air minum warga berasal dari tukad ini, walau harus disaring dulu dengan topo atau gerombong kecil agar jadi air anakan yang layak minum. Toponya dibuat oleh Nang Retig dengan menggunakan batu padas terbaik yang diambil dari dinding Tukad Bembeng untuk menghasilkan air minum yang segar dan sejuk.
Sebagian sarana untuk upacara adat seperti buah2an dan daun-daunan tertentu, juga ikan, yuyu, udang dan binatang air lainnya juga diperoleh dari tukad ini.
“Bembemg adalah taman bermain yang paling lengkap bagi anak-anak Gelulung di masa lalu. Dia yang mengajari kami berbagai keterampilan survival,” kata Ketut Gde Suatyadala, “Bembeng yang mengajari kami berenang, menyelam, menangkap ikan dengan tangan kosong atao ngogo, membikin air minum dengan cara membuat suwukan di pasir, memancing, nyau, nyuluh ikan pada malam hari,” sambungnya.
Tukad Bembeng adalah tempat belajar bagi anak-anak setempat untuk bersahabat dengan alam, belajar mengenal beragam nama pohon, tanaman obat, tanaman upakara, belajar memanjat pohon mencari mangga atau juwet. Mengenali jenis daun-daun tertentu yang bisa dijadikan sayur unik, seperti don tabia bun, don bulunboon atau lainnya. Di Bembeng pula mereka belajar membaca perangai alam, misalnya mengenali tanda-tanda bakal ada air bah datang dari hulu.
Menurut Suaryadala, Bembeng memiliki tanah legit terbaik yang dulu sering dipakai anak-anak berlatih membuat seni kerajinan tangan untuk mengasah kreatifitas seni yang menghaluskan jiwa.
“Di sini kami belajar berinteraksi dengan binatang liar yang berbahaya seperti ular, dan sejak dini melatih adrenalin dengan terjun ke air dari tebing tinggi sambil mandi,” cerita Nyoman Arjana Putra.
Menurut Arjana, hingga tahun 1980 setiap anak dari Banjar Gelulung pasti punya ikatan emosi yang erat dengan Tukad Bembeng sebab mereka tumbuh di sini.
Dan tentu saja Bembeng memiliki gaibnya yang tenget. Inilah yang dianggap menjaga dan merawat aura kesucian Bembeng. Sangat banyak kisah datang dari alam gaibnya dan sebagian warga banjar pernah mengalami dan berinteraksi dengan Si Penjaga Bembeng itu.
“Tapi saya tak berniat membabar cerita atau pengalaman tentang gaib Bembeng tersebut. Biarlah itu tetap sebagai kisah tenget yang samar-samar menggema di pangkung hati kita masing-masing. Tak ada yg perlu diperjelas. Tak juga untuk ditakuti. Kami hanya perlu tetap menjaga rasa hormat pada Bembeng sebagaimana menghormati ibu yang telah memberikan banyak hal dalam hidup kami,” bisik Ketut Gde Suaryadala [T][***]
BACA JUGA: