Tatkala dulu, di bulan mati, istana kayangan dikelilingi cahaya bintang-bintang, menandakan para bidadari berkumpul bersuka-ria dan bercanda-ria.
“Teman-teman, ayo kita ke Bumi ketika matahari memancarkan cahayanya di ufuk timur,” ajak salah-satu bidadari.
Seketika itu, keadaan menjadi hening. Para bidadari terheran dengan ajakan temannya itu. Selama berada di kayangan sebagai bidadari, mereka tidak berpikiran memiliki keinginan ke Bumi.
“Untuk apa kita ke bumi?” sahut bidadari lainnya yang belum mengerti dengan ajakan temannya.
“Kita ke Bumi untuk melihat-lihat ciptaan Dewa Bhrahma. Pasti ciptaan-Nya sangat mengagumkan,” jawabnya.
“Bagaimana caranya kita ke Bumi? Kita tak memiliki kekuatan yang bisa mengatarkan ke Bumi?” tanya bidadari lainnya.
Seketika suasana menjadi hening, para bidadari terdiam memikirkan cara untuk bisa ke Bumi. Mereka tak mampu terbang ke Bumi. Mereka hanya mampu melayang-layang bersama awan-awan yang mengeliling Istana Langit.
“Kenapa kita tak menemui Dewa Wisnu? Kita memohon anugrah dari beliau sehingga bisa pergi kemanapun yang kita inginkan,” ucap salah satu bidadari memecah keheningan.
“Kalau begitu, ayo kita menghadap dan memohon kemurahan Dewa Wisnu!” Mendadak suasana riuh penuh semangat di antara para bidadari.
Para bidadari pun pergi ke istana Dewa Wisnu, tetapi Dewa Wisnu tidak ada di istana.
“Bagaimana ini? Kita tak bisa bertemu Dewa Wisnu. Pupus sudah keinginan kita mengunjungi Bumi. Entah apa yang sudah diciptakan oleh Dewa Bhrahma di Bumi? Kita tak akan tahu,” keluh salah satu bidadari mengikuti teman-temannya keluar dari istana Dewa Wisnu.
“Lihat itu! Ternyata Dewa Wisnu sedang berada di taman langit bersama sang istri,” teriak bidadari lainnya mengagetkan teman-temannya.
Dewa Wisnu ikut menoleh dari kejauhan ke arah para bidadari karena mendengar namanya disebut. Tak lama kemudian, Dewa Wisnu memanggil para bidadari.
Para bidadari mendekat ke taman langit. Mereka sumringah bahagia bisa menemui Dewa Wisnu. “Apa yang hendak kalian lakukan di sini? Sepertinya kalian menginginkan sesuatu,” tanya Dewa Wisnu terheran.
“Maafkan kami telah mengganggu ketenangan Dewa Wisnu dan Dewi Laksmi. Kami hanya ingin memohon sebuah anugrah,” pinta salah satu bidadari
“Anugrah apa yang kalian inginkan?” tanya Dewi Laksmi tanpa memberikan kesempatan kepada suaminya, Dewa Wisnu menjawab permintaan para bidadari.
“Maafkan hamba Dewi. Kami berkeinginan hendak berkunjung ke Bumi. Kami ingin menyaksikan keindahan alam Bumi,” jawab salah satu bidadari tertunduk.
“Anugrah apa lagi yang kalian minta? Bukankah semua anugrah sudah aku anugrahkan kepada kalian semua?” ucap Dewa Wisnu.
“Kami hanya ingin diberikan anugrah kekuatan yang mampu membawa kami ke Bumi,” jawab salah satu bidadari.
“Kalau keinginan kalian yang itu, aku belum bisa mengabulkannya. Belum waktunya kalian mendapatkan anugrah itu,” ucap Dewa Wisnu menolak permohonan para bidadari.
Mendengar jawaban Dewa Wisnu, para bidadari tertunduk sedih. Pupus sudah keinginan para bidadari turun ke Bumi menikmati keindahan alamnya.
“Mohon maaf, Dewi. Bolehkah kami meminjam selendang-selendang yang Dewi miliki? Hamba pernah dengar, selendang-selendang itu bisa mengantarkan siapa saja yang ingin ke Bumi ketika memakainya di pinggang,” pinta salah satu bidadari memberanikan diri kepada Dewi Laksmi.
Mendengar perkataan temannya, para bidadari lainnya terkejut. Seketika para bidadari dengan penuh rasa memohon menatap Dewi Laksmi.
“Bagaimana Adinda? Apakah Adinda akan memberikan selendang itu? Kakanda tak akan melarang Adinda karena semua itu adalah milik Adinda,” ucap Dewa Wisnu.
Dewi Laksmi masih terkejut dengan permohonan para bidadari. Ia tidak menyangka sudah ada bidadari yang tahu bahwa ia memiliki selendang-selendang itu.
Dewi Laksmi masih diam membisu. Para bidadari juga terdiam penuh harap, keinginan mereka dikabulkan oleh Dewi Laksmi. Bahkan, Dewa Wisnu ikut terdiam menunggu jawaban istrinya. Suasana jadi hening membeku.
“Baiklah, aku akan menghadiahkan selendang-selendang itu kepada kalian,” ucap Dewi Laksmi memecah kebekuan. Suasana kembali ceria. Wajah-wajah cantik para bidadari berseri-seri bahagia.
“Kalau begitu, ayo kita ke istana!” ajak Dewa Wisnu tiba-tiba.
“Ya, Kakanda, kita pulang ke istana. Sebab, seledang-selendangnya berada di istana,” jawab Dewi Laksmi.
Para bidadari kembali ke istana Dewa Wisnu. Mereka dengan senyum yang semakin memancarkan kecantikannya berkumpul di ruang tengah istana. Dewa Wisnu dan Dewi Laksmi duduk bersila di depan para bidadari.
“Bersiaplah kalian menerima selendang-selendang dariku,” ucap Dewi Laksmi.
Tiba-tiba di antara mereka muncul sebuah kotak emas. Dari kotak itu, keluarlah selendang-selendang itu berwarna-warni. Selendang-selendang itu mengelilingi mereka. Seakan-akan, mereka akan diselimuti berbagai warna-warni bunga di taman.
“Silahkan pilih warna selendang yang kalian mau, tetapi selendang-selendang ini tetap akan memilih kalian sebagai pasangannya,” ucap Dewi Laksmi.
Para bidadari sontak tersadar dari kekagumannya ketika mendengar ucapan Dewi Laksmi. Mereka bergegas mengambil seledang itu dan mengikatkannya di pinggang masing-masing. Namun, satu bidadari masih termangu terpana dengan pancaran warna selendang-selendang itu. Tanpa ia sadari, tema-temannya sudah memiliki selendang.
“Hai, mengapa kamu masih bengong? Kamu tidak mengambil selendangmu?” ucap bidadari lainnya menyadarkannya.
“Ya, aku mengambilnya,” jawabnya mengambil selendang itu. Ternyata, selendang yang itu adalah selendang warna hitam sesuai dengan kesukaannya.
“Kini selendang itu yang bisa mengantarkan kalian ke Bumi. Kalian pun akan dinamakan sesuai dengan selendang-selendang itu. Tubuh kalian pun akan memacarkan warna yang sesuai selendang-selendang itu,” ucap Dewi Laksmi.
Para bidadari membungkuk hormat kepada Dewi Laksmi sebagai tanda terimakasih atas semua anugrah yang mereka terima. Mereka pun meninggalkan istana. Bidadari yang memperoleh selendang warna merah disebut sebagai Bidadari Merah. Begitu juga dengan yang lainnya, ada disebut sebagai Bidadari Kuning dan seterusnya menjadi bidadari warna-warni.
“Ayo kita sekarang lihat pemandangan yang ada di Bumi. Ciptaan yang sangat sempurna dari Dewa Brahma,” kata Bidadari Merah.
“Ayo kita pergi!” sahut para bidadari lainnya.
Para bidadari membentangkan selendangnya di antara badan mereka. Seketika mereka melayang menuju Bumi. Mereka berkeliling memutari Bumi. Namun, diam-diam Dewa Surya memperhatikan dan mengikuti mereka.
“Benarkan, pemandangannya seperti yang kita bayangkan. Sungguh mengagumkan,” ucap Bidadari Merah penuh ketakjuban.
Pohon-pohon yang rindang dan burung-burung berkicau bersahut-sahutan mendendangkan alunan musik yang indah. Binatang-binatang bercanda-ria, berlari-larian, dan berlompat-lompatan berebut makanan di dalam keindahan hutan.
“Lihat itu! Terlihat ada air terjun dengan gemericik air sungai yang jernih,” ucap Bidadari Kuning.
“Waah, sepertinya benar yang dikatakan oleh Bidadari Kuning. Ayo kita turun ke sana!” sahut Bidadari Biru.
Mereka turun melihat air terjun itu lebih dekat. Mereka berdiri di sebuah batu besar dekat air terjun. Percikan air terjun itu menyambutnya. Di balik air terjun yang begitu jernih, ada sebuah gua yang besar. Seolah-olah air terjun itu menjadi lidah dari gua itu sendiri.
“Siapa di sana yang berisik menggangguku?” suara menggelegar dari dalam gua.
Para bidadari tersentak kaget mendengar kemarahan suara yang menggelegar di dalam gua.
“Maaf Tuan. Ini hamba, para bidadari sedang mengagumi keindahan alam bumi ini,” jawab Bidadari Merah.
Bayangan tinggi besar semakin mendekat di balik air terjun itu. “Karena sudah membangunkanku dari pertapaan, kalian harus ikut menemaniku sampai mencapai kesempurnaan,” terdengar suara menggelegar semakin mendekat kearah para bidadari.
Para bidadari mendadak terhentak ketakutan dan tak tahu harus melakukan apa.
“Maaf Tuan. Kami tak bermaksud mengganggu Tuan dari pertapaan,” ucap para bidadari ketakutan.
“Cepat jauhi gua itu! Kalian nanti akan ditelan oleh tangan gelap,” tiba-tiba suara bisikan Dewa Surya menyusup di telingan para bidadari.
Bisikan penyelamat itu menandakan bahwa Dewa Surya sudah tahu sosok bayangan besar yang ada di balik air terjun itu.
“Ayo kita pergi dari sini,” bisik Bidadari Merah kepada teman-temannya yang semakin ketakutan.
“Kalian tidak akan bisa lari dari tanganku. Tak akan pernah bisa,” tiba-tiba tangan hitam yang sangat besar muncul dari balik air terjun itu. Tangan itu begitu besar seakan bisa menggenggam semua bidadari itu.
“Cepatlah terbang! Sebelum tangan hitam itu menggenggam kalian,” bisikan kilat Dewa Surya terngiang di telingan para bidadari.
Para bidadari secepat-cepatnya merentangkan selendangnya dan bergegas meninggalkan tempat itu agar tidak tertangkap. Tangan hitam itu tak kalah cepat menyambar para bidadari. Tangan hitam itu terus memanjang dari balik air terjun mengejar para bidadari. Akan tetapi, para bidadari masih bisa lolos dari cengkraman tangan hitam itu.
“Tolooooong! Aku tak bisa terbang lagi. Aku mau jatuh. Selendangku ditarik oleh tangan hitam itu,” teriak ketakutan Bidadari Hitam. Ternyata, ia berada paling belakang di antara teman-temannya.
“Cepat lepaskan selendangmu,” perintah Dewa surya. Bidadari hitam berusaha melepas selendangnya, tetapi ia mengalami kesulitan. Secepat kilat Dewa Surya menolong Bidadari Hitam. Selendang Bidadari Hitam terlepas dan melilit di tangan hitam besar itu. Si tangan hitam itu kembali ke dalam gua, ia tak mampu lagi mengejar para bidadari karena terlilit oleh selendang hitam itu.
Tiba-tiba, terdengar suara dentuman keras dan sesuatu yang aneh keluar terhempas dari balik gua melewati air terjun. Sesuatu itu seperti air terjun yang ikut terhempas, tetapi berwarna hitam. Suasana di gua itu pun menjadi hening hanya terdengar gemericik air terjun. Seolah-olah sosok yang ada di balik gua itu sudah tidak ada.
“Apa yang yang terjadi dan apa yang keluar dari balik gua itu?” tanya Bidadari Hitam kepada Dewa Surya.
“Kalian sudah mengganggu Dewa Brahma yang sedang bermeditasi. Karena kalian mengganggu puncak meditasi beliau, Dewa Brahma berubah menjadi raksasa seperti yang kalian lihat,” jawab Dewa Surya.
Para bidadari hanya mengangguk-ngangguk menahan rasa takutnya.
“Lalu, apa yang keluar dari balik gua itu?” tanya Bidadari Hitam yang masih menyimpan rasa takut.
“Itu serpihan-serpihan selendangmu yang melilit tangan dan tubuh Dewa Brahma ketika beliau berubah menjadi raksasa,” Ucap Dewa Surya.
Bidadari Hitam dan bidadari lainya hanya bergumam seolah-olah mengerti penjelasan Dewa Surya.
“Lihat itu! Coba perhatikan! Apa yang terjadi dengan serpihan-serpihan selendang itu?” ucap Dewa Surya mengalihkan perhatian para bidadari.
Para bidadari memperhatikan serpihan-serpihan itu melayang-layang di Bumi.
“Benar, serpihan itu ketika jatuh di atas batu, batu itu menjadi hitam,” ucap Bidadari Kuning.
“Ya, serpihan-serpihan itu meyebar dan jatuh di beberapa benda ataupun di beberapa tubuh binatang sehingga berubah menjadi hitam ataupun abu-abu,” jawab Dewa Surya.
Para bidadari pun memperhatikan setiap serpihan yang jatuh.
“Jangan-jangan semua yang ada di bumi berubah menjadi hitam,” terbelesit dalam pikiran para bidadari.
Namun, ternyata serpihan-serpihan itu sudah bisa menentukan dirinya dimana jatuh sehingga tidak semua yang ada di bumi bisa berubah warna.
“Pulanglah sekarang! Tak perlu takut lagi. Dewa Brahma sudah mengakhiri meditasinya. Beliau sudah ke istananya,” ucap Dewa Surya.
Para bidadari merasa tenang. Mereka bergegas kembali kekayangan.
“Hamba tinggal di sini aja,” ucap Bidadari Hitam gugup.
Dewa Surya kaget,”Mengapa kamu ingin tetap tinggal?”
“Hamba tak sanggup menemui Dewa Wisnu dan Dewi Laksmi. Hamba pun tak lagi memiliki kekuatan selendang itu,” jawab Bidadari Hitam sedih.
“Baiklah jika itu keputusanmu. Kuberikan kamu kemampuan mengendalikan awan dan menemaniku menyinari Bumi,” ucap Dewa Surya mengabulkan keinginan Bidadari Hitam.
Kini, hari-harinya Bidadari Hitam mengiringi Dewa Surya.
“Hai, apa kabar, Bidadari Hitam?” sapa para bidadari yang akan berkunjung dunia.
Bidadari Hitam tersenyum dan menurunkan gerimis hujan mengiringi para bidadari yang turun ke Bumi. Hujan gerimis itu semakin memperindah kilauan warna selendang para bidadari di langit biru. Hanya saja tanpa ada lagi kilauan selendang hitamnya. Namun, ia tetap ikut bahagia menyaksikan canda tawa para Bidadari.
Semenjak saat itu, manusia tidak bisa lagi menemukan warna hitam di dalam pelangi tatkala para bidadari turun ke bumi.[T]