28 February 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Merantau ke Tanah Kelahiran

PanchoNgaco by PanchoNgaco
September 7, 2020
in Esai

Judulnya aneh ya?

Masa merantau ke tanah kelahiran?

Maksudnya mungkin pulang kampung ya?

***

Percaya atau tidak, judul itu mewakili dengan tepat, apa yang kualami sekarang. Bahkan menurutku, ada banyak orang lain yang juga mengalaminya. Seseorang lahir di sebuah daerah, meninggalkan daerah itu sedari kecil, bertumbuh dan berproses di daerah lain, menjadi akrab dengan daerah itu, lalu kembali ke tanah kelahirannya setelah beranjak dewasa. Setibanya ke tanah kelahiran, orang ini malah merasa asing, sendirian, dan merindu perantauannya.

Nah, itulah aku. Kehidupanku bermula dari sebuah rumah sakit ibu dan anak di bilangan Jakarta Barat. Tiga hari setelah aku lahir, ibu dan ayah membawaku pulang ke sebuah rumah tua yang disegarkan dengan pohon jambu pada salah satu gang di Jakarta. Orang sekitar menamakan gang itu “Tanjakan” karena banyak sekali jalan menanjak di dalamnya.

Tanpa sempat akrab dengan tanah kelahiran, orang tua membawa aku dan kedua kakakku menyeberang ke Pulau Bali. Kala itu, usiaku bahkan belum genap setahun dan aku baru mulai belajar jalan. Jadilah ketika aku mulai memahami sekitar, dunia yang kulihat dan kukenal pertama kali adalah pulau dengan sejuta bunga Kamboja itu.

Aku melewati 17 tahun hidupku di tanah yang hangat tersebut. Dari belajar jalan, belajar bicara, belajar pacaran, belajar memukul orang, sampai belajar pura-pura belajar, semuanya terjadi di Pulau Bali. Maka tak sepenuhnya salah dong jika kemudian aku mengakui Bali sebagai kampung halamanku.

Tibalah saatnya kuliah, aku dengan terpaksa harus merantau ke tanah kelahiran. Aku bilang terpaksa karena memang tak sedikit pun dalam diri ada keinginan untuk menjalani waktu yang panjang di ibu kota yang luar biasa padatnya ini. Aku terpaksa “merantau” kembali ke ibu kota karena ayah dan kedua abangku sudah lebih dulu balik Jakarta. Terutama ibu, beliau merasa sangat berat hati jika aku harus hidup sendiri di Bali (mungkin menurutnya aku bisa begitu tak beraturannya jika dibiarkan hidup sendirian di suatu daerah). Karena kupikir menyenangkan orang tua tidak pernah ada buruknya, jadilah aku manut.

Benar saja jika kukatakan aku ini perantauan di tanah kelahiran. Aku sama sekali tidak merasakan keakraban di kota ini. Ketika menjalani seminggu pertama di Jakarta, aku malah merasa asing dan tersesat. Sulit untuk menemukan memori yang bisa membuatku tersenyum saat mengingatnya. Sekalipun ada, memori itu adalah memori perjalanan darat Jakarta – Bali yang cukup sering kutempuh saat liburan sekolah dulu.

Kesan pertamaku pada tanah kelahiran ini berubah ketika kembali untuk “merantau”. Dulu, teringat sekali betapa semringahnya aku dan kedua kakakku jika sudah memasuki Jakarta. Dulu aku selalu menjadikan sebuah bangunan gelap yang cukup mencolok dengan aksen grafis lancip kuning oranye di bilangan Jakarta Utara sebagai penanda kami sudah masuk Jakarta. Ketika SMA, aku baru tahu kalau bangunan penanda Jakarta versiku itu adalah Hotel Alexis. Bagi yang belum tahu, Alexis itu salah satu hotel prostitusi kelas atas yang paling ikonik di ibukota. Entah kenapa alam bawah sadar mengarahkanku untuk terpikat pada gedung itu sedari aku SD.

Dulu, ketika masih menganggap ke Jakarta sebagai pulang kampung, mal adalah sebuah hal yang mewah di mataku. Bisa masuk ke Mall Taman Anggrek saja, belaguku langsung meningkat seratus persen. Betapa sombongnya aku bisa masuk ke dalam mal yang ketika itu disebut sebagai mal terbesar di Asia Tenggara.

Diriku di masa dulu menganggap Dufan sebagai strata tertinggi dalam destinasi liburan. Butuh usaha untuk mendapatkan prestasi super sempurna di sekolah serta tabungan yang mencukupi demi membujuk orang tua mengajak aku dan kakakku bisa main seharian di taman hiburan keluarga tersebut.

Tempo aku kecil, Jakarta pun masih cukup lengang. Bangunannya masih banyak yang klasik, meskipun tidak seindah masa 1970-an yang pernah kulihat fotonya di buku-buku sejarah. Lahan hijau masih ada meskipun tidak serindang di Bali. Kemacetannya pun masih bisa dinikmati. Pokoknya menawan lah Jakarta itu jika aku berada di sana selama tak lebih dari 10 hari.

Ketika itu pula aku merasa punya citra lebih ketika menyebut diri anak kelahiran Jakarta. Rasanya macam kaum gedongan. Macam orang termaju di Indonesia. Belagu lah! Bisa dibilang, aku cinta dan bangga dengan Jakarta pada saat itu.

Merantau ke tanah kelahiran di usia menuju dewasa (tahun 2008) akhirnya membuatku banyak mengalami perubahan sudut pandang. Ironisnya, sudut pandangku ke Jakarta malah lebih banyak berubah ke arah negatif.

Aku jadi merasa Jakarta terlalu berlebihan. Terlalu sibuk. Terlalu ramai. Terlalu urban. Terlalu modern. Dan pastinya, terlalu panas. Rusak sudah kebanggaanku sebagai anak gedongan. Aku malah jadi sering merasa kecewa “kenapa aku lahir sebagai anak Jakarta?”. Anak kota yang diidentikkan sebagai orang sombong, tidak pernah hidup susah, tidak tahu kondisi sekitarnya, dan tidak punya kampung halaman.

Bagaimana aku bisa bilang pulang kampung sementara tempat ini adalah kota di mana kampungnya tersisih oleh modernitas yang gila-gilaan. Alamnya kalah dengan rangka besi dan beton. Mau cari pantai pun aku harus mimpi dulu. Ketika dulu di Bali aku bisa berekreasi dengan mudah dan murahnya ke pantai, alun-alun, air terjun, sungai, hutan, bukit, dan gunung, kini yang ada aku terjebak di antara mal, restoran, mal, restoran, tempat prostitusi, dan kolong jembatan. Jika pun ada pantai atau hutan, semuanya rekayasa teknologi. Semuanya pun baru bisa kunikmati setelah menggali saku dan dompet.

Masa-masa “perang dingin” dengan Jakarta ini berlangsung hingga 4 tahun pertama masa perantauanku. Selama itu, aku terus mengutuki tanah kelahiran ini. Tanpa aku sadari bahwa nantinya segala kedewasaan dan kekuatanku ternyata ditempa dengan sangat luar biasa oleh kota ini.

Kini aku sudah lebih dari satu dekade merantau di tanah kelahiranku. Aku masih tidak menemukan indahnya konsep kampung halaman di sini. Meski begitu, banyak hal yang akhirnya membuatku bisa nyaman berada lama di Jakarta. Untungnya, hal itu bukan tentang materi. Untungnya lagi, sekarang aku sudah bisa mulai rindu dengan tanah kelahiranku ketika aku sedang jauh darinya. Jakarta memang seperti kekasih. Jauh dicari, dekat dimarahi.

Terima kasih Jakarta.

PanchoNgaco

PanchoNgaco

Penikmat kopi pahit dan pekerja teks komersial yang masih gemar menikmati sastra dan menulis apa saja untuk tetap waspada. Menetap di Jakarta.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi tatkala.co | Satia Guna
Cerpen

Sinar Bulan di Jalan Tantular | Cerpen Jong Santiasa Putra

by Jong Santiasa Putra
February 27, 2021
Nyoman Erawan (2017)
Puisi

Angga Wijaya# Puisi: Penyair Terluka, Kenangan di Rumah Sakit Jiwa

. DIA DATANG SEHABIS HUJAN Di pintu ia menampakkan diri Malaikat maut menjemput ajal Kulihat ayah tersengal, nafasnya putus-putus. Ibu ...

February 2, 2018
foto diolah dari google
Opini

Apakah Menghina Presiden Adalah Kejahatan?

  SEMAKIN banyak warga yang ditangkap dan diproses hukum dengan tuduhan penghinaan terhadap presiden. Suara mendukung tindakan pemerintah dan yang ...

February 2, 2018
Lukisan I Ketut Suwidiarta
Opini

Apakah Kita Membenci India?

Jika membaca sedikit tentang sejarah, kita tak punya alasan kuat untuk membenci India—dan apapun yang berbau India. Jadi sebenarnya tidak ...

July 31, 2020
Kapal pesiar di tengah lautan {foto Alit Jouli]
Khas

Surat Kecil Pekerja Kapal Pesiar dari Tengah Laut: “Saya Baik. Terima Kasih, Company!”

Seperti yang diberitakan awak media virus covid alias virus corona telah menyebar ke seluruh dunia. Kabar terbaru, Italia pecahkan rekor ...

March 20, 2020
Esai

Jimat CPNS

SEMENJAK pengumuman seleksi administrasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), teman saya – sebut saja namanya Ari – jadi uring-uringan. Dia ...

February 9, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jaja Sengait dari Desa Pedawa dan benda-benda yang dibuat dari pohon aren [Foto Made Saja]
Khas

“Jaja Sengait” dan Gula Pedawa | Dan Hal Lain yang Bertautan dengan Pohon Aren

by Made Saja
February 25, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Agus Phebi || Gambar: Nana Partha
Esai

Makepung, Penguasa dan Semangat Kegembiraan

by I Putu Agus Phebi Rosadi
February 27, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (156) Dongeng (11) Esai (1415) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (340) Kiat (19) Kilas (196) Opini (478) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (102) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In