Pandemi Covid-19 di dunia sudah memasuki bulan kelima sejak pertamakali didentifikasi di China akhir tahun lalu. Kita di Indonesia lebih lambat dua bulan mulai menerima sengatan si matahari ini. Lima bulan berlalu dan tak ada tanda tanda pandemi ini mulai mereda. Dan terlihat perbedaan setiap negara dalam menyikapi pandemi ini untuk melindungi masyarakatnya.
Yang cukup menonjol kita dengar adalah kemampuan Singapura dan Vietnam menihilkan angka kematian akibat virus ini.Singapura dan Vietnam dengan jumlah penduduk yang tak seberapa dibanding kita, dengan geografis terpusat di satu daratan rasanya bukanlah lawan yang sebanding untuk dipertandingkan dengan kita dalam hal keberhasilan penanganan pandemi ini dalam sekian bulan yang telah lewat.
Tanpa hendak menyepelekan usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah, harus kita akui bahwa kita semua, pemerintah dan masyarakat umum tak cukup siap untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran virus ini. Kesan menyepelekan dari awal, tak adanya road map yang jelas tentang penanganan pandemi dan kekurang patuhan warga mengikuti instruksi pihak terkait mungkin hanya sedikit diantara sekian alasan yang bisa kita kemukakan terkait masih tinginya penyebaran kasus Covid-19 di Indonesia sampai hari ini.
Menarik membandingkan respons setiap negara terhadap pandemi ini. Satu yang cukup menarik buat saya adalah pengakuan jujur pemerintah Inggris yang disampaikan perdana menterinya Boris Johnson saat awal virus covid-19 mulai menginfeksi rakyatnya. Dia jujur mengakui pihaknya tak cukup banyak punya referensi tentang virus ini, karena ini adalah strain yang sangat baru dari virus Corona. Sehingga dia mengajak rakyatnya untuk belajar bersama mengenai virus ini, dan melihat negara lain yang telah lebih dulu mengalaminya, dan tetap mentaati aturan yang diberikan pihak berwennag, dalam hal ini adalah pihak kesehatan.
Mungkin tak terbayang kalau misalnya menteri Terawan berkata seperti itu disini, mungkin dia akan segera diminta mundur oleh netizen negeri -62 yang terkenal kejam. Atau justru sebaliknya, karena pengakuan yang jujur dari mereka yang kita beri kepercayaan untuk memimpin. Kita yang dipimpin akan merasa lebih tenang dan tergerak untuk lebih aktif dalam pengendalian pandemi ini bersama. Sekali lagi siapa tahu.
Terlepas dari kedewasaan berpikir masyarakat Inggris sana, dan kematangan sistem demokrasinya. Yang kita tahu negara Inggris tak termasuk negara dengan jumlah kasus dan kematian karena covid-19 yang tinggi bila dibandingkan negara tetangganya yang sesama negara maju, semisal Italia dan Spanyol.
Kembali ke situasi dalam negeri, kekurangsiapan kita, dalam hal ini pemerintah pusat termasuk kementerian kesehatan dalam mengantisipasi pandemi ini cukup terasa terutama untuk kami di jajaran bawah pemerintah dalam hal ini puskesmas sebagai garda terdepan yang langsung berhubungan langsung dan pertama dengan mereka yang dicurigai terifeksi virus ini, entah dari warga yang baru datang dari luar negeri, maupun yang baru tiba dari daerah dengan transmisi lokal. Panduan yang berganti setiap saat, tumpang tindih tanggung jawab antara bebagai pihak terkait jamak kita temukan dalam situasi ini.
Memang benar adanya, situasi sulit akan memaksa individu mengeluarkan seluruh kemampuan terbaik yang dia miliki. Dalam konteks ini kemampuan menterjemahkan aturan dari atas sesuai dengan situasi yang ada. Dan keluwesan bekerja sama dengan pihak lain dengan latar belakang yang beragam, entah dari profesi, pendidikan maupun daya nalar. Yang menjadi tantangan pertama kami di lapangan antara lain, penatalaksanaan pekerja migran Indonesia (PMI) yang baru datang dari luar negeri, pemeriksaan cepat kepada mereka dan sistem rujukan bagi mereka yang ter deteksi positif ke rumah sakit rujukan.
Gelombang pertama pekerja migran kita seluruh Bali sudah mencapai ribuan, termasuk di Buleleng cukup banyak dan wilayah puskesmas kami kebetulan tak terlalu banyak. Banyak kendala yang kami temui di lapangan. Karena tak adanya kesamaaan kebijakan antar kecamatan maupun puskesmas.
Salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemda Buleleng dengan mengkarantina mandiri PMI tersebut di hotel seantero Singaraja merupakan ide cemerlang yang kemudian diikuti oleh kabupaten lain. Karantina di hotel ini merupakan satu diantara tiga pilihan untuk PMI yang baru datang dari luar negeri.
Pilihan lain adalah karantina mandiri di rumah, dan terakhir karantina di lokasi yang disediakan oleh desa. Secara sederhana bisa kita lihat pembagian tanggung jawab yang cukup adil. Bagi yang karantina di rumah tanggung jawab ada pada yag bersangkutan. Untuk yang di desa diserahkan ke pihak desa dan yang memilih di hotel menjadi tanggung jawab pemda kabupaten Buleleng. Tapi satu yang cukup memberatkan adalah, semua PMI yang karantina mandiri itu menjadi tanggung jawab Puskesmas untuk urusan kesehatannya. Jadi cukup merepotkan bagi kami yang berlokasi di punggung bukit, mempunyai warga PMI yang karantina di hotel yang berada di kota Singaraja.
Banyak hal yang terjadi, saat PMI mengeluh batuk dan tak enak badan, kami turun gunung ke kota yang berjarak 60 km untuk memeriksa dan mengobatinya. Pernah juga PMI yang kebetulan sedang hamil muda mengalami perdarahan, masih menghubungi kami untuk segera membawanya ke rumah sakit agar dapat penanganan medis segera. Dan yang cukup merepotkan adalah saat berakhirnya masa karantina 14 hari, para PMI itu harus kami test cepat (Rapid) untuk penapisan awal Covid-19.
Warga kami yang tersebar di beberapa hotel, waktu habis karantinanya tak bersamaan jadi bisa dibayangkan kami nanti setiap hari menyambangi hotel hotel tersebut untuk memeriksa darah PMI tersebut. Dengan jarak 100 km pulang pergi bisa dibayangkan keruwetan yang kami hadapi nanti.
Penyebaran PMI yang tak merata di semua kecamatan dan lokasi karantina yang terpusat di kota, membuat masalah yang cukup rumit dalam pembagian tanggung jawab mengenai kesehatan dan kewajiban melakukan tes cepat untuk para PMI yang telah melewati masa karantina 14 hari. Kesulitan lain yang juga tak bisa duga dan kita hindari adalah kenyataan adanya locus infeksi Covid-19 yang terpusat di satu lokasi.
Seperti kita ketahui terjadi outbreak kejadian positif Rapid untuk covid-19 di desa Bondalem dalam waktu bersamaan. Dan ini membuat teman kami yang mewilayahi desa tersebut, yaitu Puskesmas Tejakula sangat kewalahan untuk menanganinya. Dan dalam situasi ini saya merasakan semangat kebersamaan yang tak terduga dari kami petugas kesehatan yang bertugas di puskesmas, dalam artian puskesmas selain puskesmas Tejakula.
Tanpa banyak wacana puskesmas lain membagi beban rekannya di ujung timur Buleleng tersebut. Puskesmas di kota yang lokasinya dekat dengan tempat karantina PMI dari wilayah Tejakula tanpa perlu diminta dua kali, langsung membantu menangani PMI mereka yang ada di sana. Mulai dari penanganan kesehatan maupun saat waktunya untuk test rapid di ujung masa karantina.
Dan teman puskesmas lain dengan kasus yang “belum” begitu banyak, tanpa diminta langsung meluncur ke lokasi pemeriksaan massal di pasar Bondalem untuk membantu sejawatnya disini. sebuah kesetiakawanan yang menggetarkan hati saya, yang tak saya duga sebelumnya masih kita miliki di zaman materialisme ini.
Untuk saya sendiri yang juga merasakan keruwetan ini, awalnya cukup enggan untuk memberatkan teman puskesmas lain.Apalagi sampai meminta orang lain mengambil darah “ terduga “pasien corona, karena kita tahu resikonya yang besar untuk tertular. Terlepas dari kelengkapan alat pelindung diri yang kita pakai saat memeriksa mereka.
Dan pengalaman selama ini memang yang banyak tertular virus ini adalah para tenaga kesehatan yang sempat kontak dengan penderita Covid-19.Disamping semua puskesmas juga telah mempunyai tanggung jawabnya masing masing terhadap warganya yang masuk kategori PMI .Jadi karena merasa kita semua mempunyai beban yang sama, maka semestinya kita bisa bertanggung jawab atas kewajiban yang menjadi tugas kita.
Saya pun minta bantuan kepada teman-teman tenaga medis lewat WAGS kepala puskesmas seluruh Kabupaten Buleleng.
Rekan rekan saya yang baik hati, sudikah kiranya membantu saya memeriksa PMI saya di hotel. Saya jauh sekali dari gunung kalau hanya untuk menjajagi satu dua orang
Tak dinyana, teman-teman di kota tanpa banyak cakap semuanya bersedia untuk membantu saya melakukan test ke beberapa PMI warga saya yang di karantina di hotel. Dan tak cuma satu orang atau satu hari, akhirnya semua tanggung jawab saya terhadap PMI warga saya diambil alih oleh teman teman saya di kota.
Sebagai tanda terima kasih, saya biasanya mengirimkan sekresek (tak sekarung) buah ke tempat mereka di kota. Dan untuk menunjukkan rasa gotong royong dengan desa, disamping sebagai tanda tanggung jawab juga dari desa terhadap warganya yang dikarantina di kota. Kami biasanya meminta buah tersebut secara halus kepada pihak desa.
Ini tak susah, karena di masa pandemi ini saya diundang masuk ke banyak grup WA. Dari PMI yang diisolasi, forum muspika kecamatan, forum perbekel se-kecamatan sampai forum cendekiawan desa. Semua memasukkan nomer telepon saya sebagai anggotanya. Jadi begitu saya membuat pengumuman disana,segera sekarung manggis sudah ada di ruangan saya.
Kebetulan bulan ini adalah musim panen di gunung, musim buah. Manggis dan Ceroring bisa setiap hari kita temukan di kebun. Kalau lebih beruntung, duren matang bisa mampir ke tempat praktek dibawakan oleh pasien yang budiman
Begitulah semestinya kita bersikap menghadapi pandemi ini, rajin komunikasi lewat berbagai sarana, kurangi ego sendiri, jangan merasa lebih tahu sendiri dan jangan juga terlalu berharap pada pihak lain. Lakukan semuanya secara berimbang. Zen Mind, Begginer’s Mind, seorang penganut Zen akan selalu merasa dirinya seorang pemula.
Secara sederhana apa yang bisa saya pelajari dari dua bulan pandemi ini, dan dari keruwetan yang saya temukan adalah : satu belajar dari pengalaman mereka yang telah mengalami, sesuaikan dengan kondisi dan sumber daya yang kita miliki. Dua belajar bekerja sama dengan elegan dalam artian simbiosis mutualisme, jangan mengharap keuntungan sendiri, usakan keuntungan bersama, minimal tak terlalu merugikan pihak lain. dan ketiga yang terakhir adalah mantra spesial untuk mereka yang mengaku dirinya generasi milenial, yaitu satu kata kunci, kreatif. [T]