Mahima March March March menjadi acara tahunan rutin yang diselenggarakan oleh Komunitas Mahima, Singaraja. Acara ini sebenarnya adalah momentum untuk memperingati hari berdirinya Komunitas Mahima atau dalam istilah kerennya sebut sajalah ulang tahun. Mahima March March March ini diselenggarakan tiga hari berturut-turut di bulan Maret dengan berbagai macam acara di setiap harinya. Ada pemutaran film, diskusi buku, diskusi sejarah, workshop, pentas musikalisasi puisi, talk show, pentas teater, dan acara-acara yang tidak terduga atau berubah-ubah di setiap tahunnya.
Di acara Mahima March March tahun 2020 ini, selain menjadi panitia, saya diberi kesempatan untuk turut andil dalam salah satu rangkaian acara sebagai suguhan opening. Berawal dari hari Ibu 22 Desember lalu, tulisan saya soal Ibu dimuat di Tatkala.co yang ternyata menarik perhatian Kadek Sonia Piscayanti. Seperti yang mungkin sudah teman-teman ketahui, selain menulis naskah & puisi, Kadek Sonia Piscayanti juga aktif mengangkat pentas teater soal perempuan & ibu. Maka dari itulah, beliau meminta izin kepada saya untuk menjadikan cerita hidup saya sebagai naskah monolog yang aktornya adalah saya sendiri.
Meskipun namanya monolog, namun saya tidak bermain sendiri. Lagi-lagi, ini adalah salah satu ciri khas teater Komunitas Mahima, yaitu teater perempuan. Ada tujuh perempuan lain yang turut mendukung pementasan ini dan tentunya memiliki peran yang sangat penting juga. Diantaranya adalah Gitari Paramitha, Dian Ayu, Indah Sriani, Erni Risma, Dewa Ayu Asri, Nindi Andika dan Widya Malini. Sebagai penulis naskah & sutradara, Kadek Sonia Piscayanti rupanya sudah mengatur naskahnya dengan matang. Agar tidak hanya saya yang mengambil alih seluruh pementasan, namun semua perempuan juga memiliki porsinya masing-masing untuk turut menyuarakan naskah.
Mahima March March March berlangsung tanggal 13-15 Maret 2020. Acara pertama adalah pentas saya dan teman-teman yang berjudul Kaukah Itu, Ibu? karya Kadek Sonia Piscayanti. Di hari pembukaan tersebut, saya tidak menyangka kalau penonton yang hadir akan seramai itu. Bahkan sangat serius. Ketika saya melihat beberapa orang dari pemerintahan Buleleng turut hadir untuk memeriahkan acara.
Sebagai penampilan opening, tentu saya dan teman-teman merasa semakin gugup. Namun siap tidak siap, gugup atau tidak, penampilan harus tetap berlangsung. Ketika pentas dimulai, keheningan penonton yang mengawali pentas kami akhirnya berakhir dengan tepuk tangan dari penonton. Syukur, usaha kami untuk membawakan pentas dengan maksimal berjalan lancar tanpa ada hambatan atau kesalahan.
Semua itu tentu tak luput dari sebuah proses. Namun saya tak mau mengatakan kalau kami sudah berhasil. Belum, tentu belum. Mungkin kata yang lebih tepat adalah lancar. Kami sudah membawakan pentas dengan lancar. Karena saya sendiri menyadari, masih ada banyak hal yang kurang ataupun perlu saya dan teman-teman gali lebih dalam. Terutama soal tubuh, perasaan dan jarak. Kami berlatih kurang lebih sebulan. Mengapa saya katakan kurang lebih? Sebab ada waktu latihan yang bolong-bolong karena kesibukan masing-masing. Di 1 minggu terakhir, barulah kami mantap latihan bersama untuk mengejar apa yang harus dikejar.
Di tengah proses latihan, Kadek Sonia Piscayanti memberitau saya. Bahwa katanya, saya terlalu jauh mengambil jarak dengan naskah, yang padahal itu adalah kisah hidup saya sendiri. Saya pun tidak menampiknya sebab saya juga merasakan. Saat latihan, bahkan saya bertanya pada diri sendiri, mengapa saya seolah menganggap naskah ini hanya sebagai naskah? Sehingga yang keluar saat itu hanyalah teks.
Namun inilah yang kemudian disadari oleh Kadek Sonia Piscayanti dan salah seorang partner saya, mereka mengatakan bahwa sebenarnya saya memang tidak pernah bersentuhan dengan kisah hidup saya sendiri. Kisah itu memang bagian hidup saya, namun tidak pernah saya rasakan. Sebab waktu kejadian itu terjadi, saya belum memiliki kesadaran penuh sebagai manusia. Saya tidak ingat dan belum tau apapun, sehingga pada akhirnya, saya memang tidak memiliki memory atau kenangan perasaan tentang kejadian tersebut.
Dari sana saya sadar, bahwa saya tidak boleh terlalu jauh mengambil jarak dengan naskah. Namun juga tidak boleh terlalu dekat. Tapi yang pas adalah di tengah-tengah. Terlebih lagi jika naskah tersebut adalah kisah hidup saya sendiri. Karena jika saya terlalu jauh mengambil jarak dengan naskah, seperti yang sudah dikatakan oleh Kadek Sonia Piscayanti, maka naskah hanyalah sebuah teks, tanpa perasaan, tanpa energydan penonton tidak akan merasakan apa-apa. Namun jika saya terlalu dekat mengambil jarak dengan naskah, mungkin saya akan terlalu larut dan berpotensi untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya saya lakukan, misalnya menangis sampai gerong-gerong (tersedu-sedu). Tentu saja hal ini malah mengacaukan pementasan bukan?
Hal tersebut juga sempat ditanyakan oleh Kardian Narayana saat diskusi Teater Sebagai Gaya Hidup bersama saya & Kadek Sonia Piscayanti usai pementasan selesai, bahwa di manakah saya harus memposisikan diri dalam naskah? Maka dari itu, saya rasa yang paling tepat adalah di tengah-tengah. Semenjak diingatkan oleh Kadek Sonia Piscayanti saat proses latihan soal jarak dengan naskah tersebut, saya mulai mereflkesi ulang diri saya sendiri lagi.
Saya mencoba membangun perasaan yang tepat, berusaha menakar perasaan saya, dan memelihara ingatan-ingatan juga perasaan yang sudah saya jemput kembali dari masa lalu agar tidak terlalu jauh & tidak terlalu dekat. Mungkin hal ini juga yang menjadi tantangan teman-teman aktor ketika membawakan sebuah pementasan. Hal ini juga yang sering dikatakan oleh partner diskusi saya, bahwa memang yang paling sulit itu adalah yang “pas”. Saya akui itu memang sulit, mau tidak mau saya harus berusaha dan belajar untuk mencapainya.
Besok harinya usai pementasan, Kadek Sonia Piscayanti berkata pada saya, bahwa saat pentas kemarin saya sudah lebih baik dari sebelumnya. Katanya “lebih dapat”, begitu juga kata partner saya. Namun saya sendiri merasa masih belum puas, dan tentu saya tidak boleh puas.[T]