“Gong xi fat chai”
Pastilah pembaca kaget dengan judul tulisan ini. Dan akan lebih heran lagi jika mengetahui, saya ini ikut merayakan Imlek setiap tahunnya. “Apamu sih yang China?” Pertanyaan ini sering diarahkan kepada saya, juga kepada saudara-saudara saya, oleh teman-teman dalam mimik wajah penasaran. Karena agak bingung juga, salah seorang sepupu saya menjawab sekenanya saja, “Hp-ku yang China hahaha!”.
Ya, memang aneh, keluarga kami yang tinggal di Desa Kayuputih, Kecamatan Banjar, yang bukan keturunan Tionghoa, setiap tahun ikut merayakan Imlek. Dan menjadi unik, saat perayaan Imlek itu tak ada di antara kami yang berkulit putih dan bermata sipit, seperti yang lazim dijumpai saat saudara-saudara kita, keturunan Tionghoa merayakan Imlek di klenteng Ling Gwang Kiong di bekas pelabuhan Buleleng atau klenteng Seng Hong Bio di Kampung Baru, Singaraja.
Perayaan Imlek keluarga dadiakami (keluarga dalam kekerabatan satu kawitan/leluhur), dilakukan sehari mendahului perayaan Imlek nasional, biasanya sehari sebelum penanggalan Bali tilem kepitu (purwani). Pagi harinya, salah satu anggota keluarga pergi ke kota Singaraja membeli bahan masakan khas Tionghoa. Kokinya adalah salah satu anggota keluarga yang punya kebisaan turun temurun memasak hidangan China yang kemudian akan dibagi-bagikan untuk semua, bahkan ada yang dibungkus dibawa pulang. Rasanya lumayan juga, khas chinese food, bahkan aromanya pun sudah tercium dari jauh.
Kami yang beribadah dalam perayaan itu, menggunakan pakaian nasional, meski ada beberapa orang keluarga yang memakai pakaian adat Bali. Pun kongco kami dibangun tetap dalam gaya bangunan tradisional Bali, hanya saja pada dinding bangunan bagian dalam tertempel lukisan-lukisan China, juga beberapa patung dan lilin berukuran besar. Tatacara ibadah yang kami lakukan sama dengan tradisi Tionghoa adalah hanya menggunakan dupa untuk berdoa, tanpa bunga. Seseorang membagikan dupa untuk semua, lalu setelah selesai dikumpulkan kembali.
Di halaman kongco diramaikan oleh pedagang camilan, bandar judi mong-mongan yang selalu ramai hingga membuat malam purwani tilem kepitu itu makin meriah. Usai ibadah, biasanya pada tengah malam, kami bubar dan beberapa orang tinggal untuk mekemitatau bermalam di kongco yang dibangun di atas dataran tinggi itu. Dulu, di tahun delapanpuluhan, keesokan hari setelah ibadah perayaan Imlek malam sebelumnya, kongco kami selalu dikunjungi “keluarga China” kami dari Singaraja. Namun belakangan ini sudah hampir tak pernah lagi.
Lalu, kenapa kami merayakan Imlek? Hal ini pernah saya tanyakan kepada ayah saat kanak-kanak. Dijelaskan kalau dahulu sekali, menurut bebaos (kata-kata orang pintar), salah seorang anggota keluarga dadia kami telah berbuat salah terhadap pedagang China yang berjualan ke desa kami. Dari cerita-cerita yang tak terlalu terang tersebut, sepertinya leluhur kami melakukan satu kejahatan yang telah menyebabkan pedagang China itu tewas.
Di sinilah sebetulnya kisah ini menjadi menarik. Tak jelas informasi mengenai tuntutan hukum yang dikenakan kepada leluhur kami saat itu, tampaknya sebuah kejahatan yang tak terungkap dan tak tersentuh hukum. Namun, ada hal-hal yang bagi saya mencengangkan kemudian terjadi. Berbagai kesulitan hidup telah mendera keluarga dadia kami jauh setelah peristiwa itu terjadi. Maka, diputuskanlah untuk bertanya kepada orang pintar mengapa nasib keluarga kami sedemikian buruk?
Begitulah yang kemudian diyakini, seperti kisah yang telah diceritakan di atas. Segala nasib buruk yang menimpa keluarga kami, adalah sebuah ganjaran akibat kejahatan yang telah dilakukan di masa lalu, oleh leluhur kami. Maka untuk menyudahi hukuman itu, yang bukan diputuskan oleh pengadilan dan bukan perdata maupun pidana, namun berdasarkan bebaos, kami diharuskan mendirikan sebuah bangunan kongco untuk memuja roh pedagang China yang telah terbunuh itu, dikenal sebagai hyang dewa, lengkapnya hyang dewa kongco. Semenjak itu dan selanjutnya, seterusnya keturunan keluarga dadiakami harus nyungsung (memuliakan dengan menyembah) hyang dewakongco ini. Ajaib, segala kejadian buruk dan kesialan yang menimpa keluarga kami, rasanya perlahan berkurang. Percaya tidak percaya!
Bagaimana mungkin, karma buruk orang lain, meski itu keluarga sendiri, pahalanya bisa dikenakan pada yang lain? Jika dicermati konsep hukum Karma Pahala dalam filsafat Hindu, mestinya ia berlaku fair dan personal. Dosa seseorang tak mungkin membuat orang lain yang diseret ke neraka. Model beginian hanya bisa terjadi dalam peradilan dunia. Namun demikianlah, keyakinan yang telah terbagun dalam pengalaman hidup yang panjang, bagai bangunan kongco itu sendiri, akan eksistensi energi yang diberi nama hyang dewa. Sebuah kesalahan yang dianggap berat, menghilangkan nyawa seseorang, akan mendapat vonis hukuman kultural yang berat pula yaitu, menyembah sang korban sebagai dewa, oleh keluarga dan keturunan pelakunya, selamanya.
Tradisi ini sesungguhnya bagus pada gagasannya untuk menakuti kita melakukan kejahatan, bukan pada pelaksanaan hukumannya itu sendiri. Jika ini diyakini oleh semua orang di bumi, pastilah takkan terjadi pembantaian massal orang-orang tak berdosa akibat sentimen G30S-PKI, atau holocoust oleh NAZI terhadap etnis Yahudi, juga genosida yang menimpa muslim Bosnia serta pembersihan suku Tutsi dan Hutu di Rwanda. Dari berbagai kejahatan keji ini, mungkin perlu dibangun dan disembah ratusan juta hyang dewa di seluruh dunia!
Cerita-cerita tentang dosa dan berbagai hukumannya, hanyalah panduan dan nilai-nilai yang melayang-layang begitu saja dalam atmosfir bumi yang kian lelah dan suram ini. Ia baru membawa makna dan hakikat saat siapa saja telah menarik ke dalam udara pernafasannya lalu mewujudkannya dalam energi kehidupan, dalam gerak tangan dan buah pikirannya. Bicara begini, jadi ingat dengan sosok Gus Dur, bapak pluralisme yang senantiasa membumikan nilai-nilai spiritual yang melayang jauh di langit. Berkatnyalah, dalam spirit humanisme yang hangat, saat menjabat presiden RI yang keempat, menerbitkan Inpres no 6/2000 tentang Imlek sebagai hari libur nasional. Kita semua bersaudara, Gong Xi Fat Chai! [T]