Drama adalah salah satu mata kuliah wajib semester 5 yang mungkin sangat dinanti bagi mahasiswa-mahasiswi program studi Pendidikan Bahasa Inggris, Undiksha. Sebab, inilah kesempatan bagi mahasiswa untuk berkreatifitas dan memutar otak bersama-sama yang sekaligus menjadi sebuah final projectdi akhir semester. Salah satunya adalah drama yang berjudul A Mother & A Monster yang dibawakan oleh kelas 5F. Naskah ini merupakan naskah dari Kadek Sonia Piscayanti dan disutradarai oleh Anggun Sentyawati yang juga adalah ketua UKM Teater Kampus Seribu Jendela, Undiksha.
Pementasan ini diselenggarakan pada Rabu, 18 Desember 2019 di Wantilan Kampus Bawah, Undiksha. Sebenarnya, ada dua drama yang tampil di hari yang bersamaan di mana salah satunya lagi berjudul Schizophrenia. Namun sangat sayang sekali, saya melewatkannya karena ada sesuatu hal yang tidak dapat diganggu gugat. Alhasil, hanya drama A Mother & A Monsterlah yang sempat saya nikmati.
Drama ini bercerita tentang seorang perempuan yang tenggelam di dunia prostitusi yang diperankan oleh Gek Diah dan menemukan seorang bayi di suatu jalan yang kemudian dibesarkannya hingga dewasa. Sampai suatu hari, sang ibu memberitahu sebuah kebenaran kepada anaknya Ananda yang diperankan oleh Yanti, bahwa ia bukanlah ibu kandungnya. Setelah menerima kenyataan pahit, sang anak memutuskan untuk pergi, yang kemudian membawanya bertemu dengan Knowledge yang diperankan oleh Andre Sastra, serta Love yang diperankan oleh Pande Baba, dan segala pertentangan yang ada di dunia. Akhirnya, sang anak pun bertemu dengan ibu kandungnya yang diperankan oleh Sri Puspita dan sang ibu membunuh darah dagingnya sendiri.
Setelah saya menonton pementasan ini, saya merasa seperti habis membaca kumpulan-kumpulan cerpen yang menarik saya untuk larut dan hanyut pada setiap adegannya. Ketika membaca kumpulan cerpen, saya membaca berbagai macam cerita yang berbeda dan muncul pula berbagai macam perasaan di masing-masing ceritanya. Dan hal serupa inilah yang saya temukan ketika menonton pementasan ini. Di mana saya sebagai penonton merasa seperti menyaksikan beberapa kisah yang juga mempermainkan perasaan saya yang awalnya dibuat kagum, turut merasa pilu, kemudian hanyut dalam romansa percintaan, dan perasaan-perasaan yang lainnya.
Mulanya, pementasan diawali dengan nyanyian dan musik yang dimainkan secara live dan dilanjutkan dengan monolog perempuan yang berkisah tentang hidup pahitnya hingga akhirnya ia menemukan seorang bayi. Saya pribadi sangat menyukai adegan awal ini. Padahal, setting panggungnya sangat sederhana sekali. Hanya terdapat sebuah kursi yang dimandikan oleh lampu netral dan kuning yang menerangi panggung serta pemain yang bermonolog sambil merokok. Namun entah kenapa, saya merasa bahwa adegan ini sangat kuat. Saya rasa, pemain telah berhasil mendalami perannya dengan baik sehingga memunculkan emosi yang pas takarannya.
Kemudian, bagian favorite kedua saya adalah adegan akhir. Di mana terjadi pertentangan batin sang ibu kandung antara kecemasan dan keikhlasan. Cemas akan nasib sang anak, atau ikhlas merelakan sang anak. Lampu putih menyorot fokus pada sang ibu kandung dan anaknya, kemudian saat mereka berpelukan, sang ibu perlahan mengangkat tangannya dan “aaaaaaa!!!”. Darah merah menyembur ke atas. Sang ibu lalu menangis & tertawa memeluk anaknya yang tergeletak penuh darah, dan lampu mati diiringi dengan tepuk tangan dan sorak-sorai penonton.
Potongan-potongan adegan yang disuguhkan oleh drama ini membuat saya seperti benar-benar merasa membaca sekumpulan cerpen. Sebab, saya seperti di bawa pada kisah-kisah dan perasaan-perasaan yang berbeda di setiap adegannya. Musik-musik yang hadir di awal dan di sela-sela adegan seperti menyuguhkan kita sebuah orkestra musik yang dapat dinikmati tersendiri. Lalu kisah pertikaian sang anak dan ibu yang membesarkannya. Kemudian kisah cinta sang anak yang bertemu dengan seorang laki-laki, yang di tengah-tengahnya diselipkan adegan dansa romantis serta pertentangan-pertentangan hidup yang membuat resah sang anak. Sebelum akhirnya, kisah ditutup dengan pertemuan sang anak dengan ibu kandungnya yang berakhir dengan tak terduga.
Adegan-adegan dalam setiap kisahnya benar-benar kuat. Termasuk beberapa pemain yang hadir memberikan tragedi-tragedi kecil seperti tokoh The Land yang diperankan oleh Yeni Wahyuningsih, tokoh Jelousy yang diperankan oleh Enik Kristyani, tokoh Hatered yang diperankan oleh Yunita, tokoh Mother1 yang diperankan oleh Yuni Widianingsih, dan Mother 2 yang diperankan oleh Mutiara Dalta. Keseluruhan pemainpun berhasil memainkan perannya dengan apik sesuai dengan porsinya masing-masing.
Respon penonton yang duduk di sekitar saya pun beraneka ragam, ada yang ikut merasa sedih, baper, dan tak terkecuali saya yang hampir saja menitikkan air mata. Ya, kisahnya memang sangat nano-nano. Namun tak hanya kisahnya, artistiknya pun dirancang sangat sungguh-sungguh dan kreatif, seperti memberi tambahan bumbu yang menjadikan hidangan tersebut lebih lezat. Terlebih lagi, permainan lampu dan gradasi warna yang dimainkan secara tepat membuat setiap adegannya semakin indah. Tak terkecuali permainan lampu yang dimainkan dari belakang panggung yang memunculkan siluet-siluet si pemain.
Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Mungkin itulah kata yang tepat menurut saya untuk sutradara dan seluruh team-nya yang sudah berhasil mementaskan drama dengan sangat memukau penonton dan mungkin membekas di ingatan para mata yang menangkapnya. Pengalaman ini tentunya akan sangat berguna bagi saya dan teman-teman, karena tahun depan, giliran angkatan sayalah yang harus berproses dan berjuang bersama-sama. Huhu… [T]