Ketika saya mengunggah perjalanan ke Macau di social media, banyak yang bertanya, ngapain kau ke Macau? Main kasino? Tentu saja ini tidak usah dijawab serius. Ngapain memangnya saya kesana toh bukan urusan mereka. Tapi menarik menganalisis dari mana asal pertanyaan itu lahir. Macau memang identik dengan kasino. Sebab memang Macau adalah salah satu pusat judi terbesar di Asia bahkan dunia.
Macau berasal dari kata A Ma Gao, sebutan Dewi pelaut China yang dijuluki A Ma. Namun oleh bangsa Portugis yang menduduki Macau sejak abad 16, tempat ini disebut Macao lalu dengan resmi diubah ke Macau sejak 1911 sesuai dengan perubahan tata bahasa Portugis. Sejarah Macau tidak bisa lepas dari perannya sebagai pusat pelabuhan perdagangan terbesar di Asia bahkan dunia. Di tempat ini kapal kapal dari Italia, Spanyol dan Portugal dan negara lainnya membeli sutra dan teh China, barang kerajinan Jepang, rempah India, gading Africa dan emas Brazil.
Dengan potensi besar seperti itu Macau tak hanya menjadi pusat perdagangan namun juga pusat kebudayaan. Penyebaran agama Kristen di Macau ditandai dengan berdirinya gereja gereja raksasa yang mewah hingga kini masih berdiri. Di tahun 1960an kemudian sejak dilegalkannya perjudian, Macau menjadi pusat perjudian terbesar di dunia dengan skala 5 kali lebih besar dari Las Vegas.
Ketika saya tiba di Macau pada malam hari pukul 22.30 tanggal 4 November 2019 setelah menempuh flight dari Denpasar ke Bangkok lalu Bangkok ke Macau kira kira 10 jam total penerbangan (termasuk 3 jam layover di Bangkok), saya sudah disambut pemandangan kasino dimana mana. Gedung gedung tinggi berkilauan sepanjang jalan. Penjemput saya, Cora Lau, adalah mahasiswa tingkat akhir di Macau University jurusan Bahasa Inggris, dia fasih menjelaskan bahwa hotel hotel yang kami lewati sepanjang perjalanan adalah tempat tempat kasino. Salah satunya adalah Galaxy yang tampak luar bagai istana megah dengan gerbang gerbang raksasa yang gemerlapan.
Galaxy adalah salah satu hotel dengan taraf bintang 5 yang memiliki total 2200 kamar dan fasilitas kasino super mewah dilengkapi pantai buatan. Dari penjelasan Cora, Galaxy adalah tempatnya orang mencari luxury dalam hidup, merayakan kemewahan dan perjudian yang menyediakan segalanya. Tentu saja saya tidak mampu menginap disana karena per malam tarifnya ribuan Hongkong Dollar. Saya hanya melewatinya karena letaknya cukup dekat dari Macau University, tempat saya melakukan konferensi keesokan harinya dan sekaligus tempat saya menginap. Yap, saya menginap di hostel kampus yang sederhana.
Pertimbangan saya, lebih simple menginap di kampus karena acara berlangsung di kampus. Tapi juga tidak sesederhana yang saya bayangkan. Macau university sangat luas. Hostel saya disebut postgraduate hostel yang fancy juga. Dengan 10 lantai dan ratusan kamar dan tingkat security ketat. Tiba di kampus, kira kira hampir jam 11 malam, saya diajak menelusuri kampus yang luar biasa megahnya dan luasnya. Dari hostel saya ke tempat konferensi, saya diajak menelusuri kampus. Ya malam malam. Cora kebetulan tinggal di asrama mahasiswa kampus yang memiliki akses 24 jam di kampus. Jadi malam pertama saya menelusuri lorong lorong kampus dan mencari tempat konferensi. Juga mencari makan malam. Untung kampus menyediakan toko 24 jam untuk melayani mahasiswa yang membuat tugas. Akses kesana hanya dimiliki mahasiswa dan dosen sehingga dengan Cora saya bisa masuk. Semua tempat di kampus menggunakan security card yang ketat. Orang luar tidak bisa berkeliaran sembarangan di kampus.
Setelah lelah menelusur mungkin hanya seperduapuluh luas kampus, saya diantar kembali ke hostel. Pemandangan dari kamar hostel saya adalah Macau malam hari dengan kasinonya yang menjulang dimana-mana. Namun saya masih dihantui pertanyaan, benarkah Macau hanya soal kasino?
Keesokan paginya, saya menuju Anthony Lau building, tempat berlangsungnya konferensi Asia Pasific Writers and Translators. Sebaiknya saya jelaskan sedikit tentang organisasi ini. Asia Pasific Writers and Translators adalah sebuah organisasi penulis dan penerjemah seAsia Pacific yang berdiri pada tahun 2007. Awalnya organisasi ini adalah sebuah perkumpulan penulis dari beberapa universitas saja. Penggagas dan pendiri organisasi ini adalah Jane Camens dari Griffith University. Pertemuan atau konferensi pertama kali terjadi di Indonesia tepatnya di Bali, di Ubud. Lalu pindah pindah ke negara peserta seperti Australia, Philipina, Singapura, China, India, lalu kembali di Indonesia dimana kampus saya menjadi host di tahun 2017. Di tahun 2019 ini saya diundang dan dibiayai untuk datang.
Di hari pertama saya mendapat panel diskusi Walking in Two Worlds. Bersama panelis lain yaitu Melanie Mununggur Williams, Michele Koh Morollo dan moderator Ralph Galan. Melanie adalah penyair Aborigin Australia, Michele adalah jurnalis berbasis di Hongkong dan Raplh Galan adalah penulis Filipina. Pembicaraan kami seputar dunia “dalam dan dunia luar” yang kami hadapi dalam menulis. Persoalan identitas budaya yang melekat pada kami dan dunia yang berputar pada dan atau di sekeliling kami dan cara meresponnya dengan karya. Melanie misalnya bicara soal ayah dan ibunya yang berbeda warna kulit.
Di dunia ibunya yang berkulit terang, Melanie dianggap anak adopsi karena berkulit terlalu gelap. Namun di dunia ayahnya yang berkulit hitam, ia juga dianggap anak adopsi karena dianggap terlalu terang. Pertanyaan identitas warna kulit sudah dihadapi Melanie sejak usia muda. Ketika kemudian ia mendapati orang tuanya bercerai, semua terasa lebih sulit. Hal hal yang menyangkut identitas terus terbawa padanya hingga dewasa. Dan ia memutuskan pulang ke rumah ayahnya dan masuk ke keluarga ayahnya. Masuk kembali ke adatnya. Akhirnya disanalah ia menemukan rumah.
Michele Koh mengangkat persoalan pergeseran nilai dalam budaya China yang dihadapi dua atau hampir tiga lapis generasi China. Cerpennya sangat kental nuansa China Melayu dengan dialektika lokal globalnya. Sangat menarik mengetahui bahwa generasi kekinian perempuan China yang modern dan global sangat anti budaya China karena tidak mau terkesan kuno. Sementara lokalitas kini nyaris terus dicari di tengah perangkap global. Sementara saya sendiri bicara soal peran perempuan Bali dalam konteks lokal dan global. Saya juga tentu menjelaskan bahwa saya bukan hanya menulis tentang hal hal aman, namun juga hal hal yang belum diketahui banyak soal perempuan Bali. Saya cerita sedikit tentang project 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah yang banyak mengungkap sisi lain perempuan Bali.
Salah satu penanya yaitu Romi Grosberg yang juga penulis memoar terkenal, bertanya pada saya to what extent I write. To what level. To what purpose. Jawaban saya, saya menulis sepanjang saya bisa menulis kreatif tentang apa saja dalam level yang saya yakini bahwa perempuan harus terdengar secara kontinyu dan berkesinambungan melalui berbagai cara dan media.
Panel lain menampilkan seniman muda China berbasis di Hongkong yang bernama China Xingzhou Shen dan bernama global Jojo yang memperlakukan aksara sebagai imaji. Presentasinya dalam menjelaskan identitas dirinya melalui media puisi menunjukkan daya ungkap Jojo yang memvisualkan kata. Puisi visual ini menjadi tawaran menarik karena Jojo adalah visual artist yang bergerak di bidang teater. Ia mampu menggerakkan kata sebagai pelaku kuasa ruang dan peristiwa. Ia juga menguasai imaji tentang rasa di balik kata.
Macau benar benar bukan hanya kasino. Festival berlanjut hingga sore jelang malam. Dengan sesi penerjemahan karya sastra. Menghadirkan Ravi Shankar dan Eleanor Goodman-keduanya adalah editor dan penerjemah yang hebat- yang membawa penerjemahan ke tingkat lebih tinggi yaitu dedikasi tinggi dan penghormatan terhadap asal bunyi sebagai dasar kata. Eleanor menerjemahkan sastra China dengan tingkat pemujaan terhadap kata yang melampaui makna. Panel ini sangat penting menunjukkan bahwa penerjemah harus pertama tama meletakkan hormat pada bunyi, pada asal segala kata. Lalu apa kabar penerjemah sastra kita? Saya tidak tahu. Tidak mau menjelaskan itu.
Masih di hari pertama. Macau bukan hanya kasino. Poetry night malam itu menampilkan hampir semua yang dapat diharapkan dari sebuah puisi. Bahwa puisi menggugah, menggali ingatan, mengajak tertawa, juga menggerutu, tapi menyegarkan. Favorit saya adalah Lin Dinh, penyair Vietnam yang puisinya berkisah tentang ramalan seorang supir taksi tentang dirinya. Ramalan yang sungguh meyakinkan bukan karena kebenarannya namun karena kepalsuannya.
Lin Dinh percaya bahwa ia sedang menegakkan humor di atas segalanya. Puisinya membuat semua orang tergelak. Standing ovation. Lalu ada juga favorit saya kedua dari Rochelle Potkar. Penulis fiksi dan penyair dari Mumbai India ini membaca puisi dengan gaya casual dan menawan. Salah satu puisinya berkisah tentang cinta yang memakai simbolisme hubungan antara jurnalisme dan negara. Kritik yang sangat cerdas dan bernas. Bagaimana kritik dibungkam atas nama cinta pada negara.
Macau sekali lagi bukanlah hanya kasino. Macau is more than just Places. It is the people who make the story. Not the places.
Hari kedua. Lebih menunjukkan lagi bahwa Macau is not only casino. Panel panel dan keynote makin seru. Ada panel tentang Loiter dari Piia Mustamaki. Keynote ini menjelaskan tentang loiter, term yang digunakan untuk menjelaskan sekelompok orang berkumpul di public spaces untuk tujuan ngobrol atau duduk duduk saja. Di Indonesia kita menyebutnya nongkrong. Piia menawarkan daya pandang bagaimana dunia bisa menyediakan tempat nongkrong aman bagi perempuan di ruang ruang publik tanpa rasa was-was. Pengalamannya di berbagai belahan dunia sebagai traveller menyebabkan dia berasumsi bahwa tidak semua tempat memiliki ruang publik yang nyaman bagi perempuan. Bahkan di negara maju sekalipun. Panel panel berikutnya menarik. Ada Jan Cornall seorang penulis Australia yang menggubah puisi menjadi lagu, menulis novel, naskah drama dan naskah film, yang terinspirasi oleh Bali.
Bukunya berjudul Archipelagogo sangat menarik. Menceritakan Bali dari perspektif berbeda yang unik dan orisinil. Misalnya tentang perempuan yang memiliki 7 suami. Wow. Cerita ini menarik karena poliandri bukan isu yang jamak di Bali. Saya membaca ceritanya dan masih harus mencari tahu apakah benar adanya. Konon cerita perempuan bersuami 7 ini berasal dari Tabanan. Ketika membaca ceritanya saya membayangkan jika benar adanya cerita itu, saya mau bertemu perempuan itu. Sebab Jan Cornall menuliskan cerita itu dengan sangat Comedy.
Tak kalah menarik adalah panel Trauma, Caring and Healing yang menampilkan penulis Jane Houng, Margaret Conley, dan Valerio Romao. Jane Houng adalah seorang ibu yang sangat kuat. Ia kehilangan anaknya yang tewas karena diperkosa dan dibunuh secara keji di Libanon pada tahun 2017, saat terlibat aksi kemanusiaan disana. Berita tentang pembunuhan ini dapat dibaca di sini https://www.scmp.com/news/hong-kong/law-crime/article/2124833/shock-and-sympathy-after-death-hong-kong-raised-british
Tentu Jane Houng sebagai Ibu merasa hidupnya telah berada di titik nol. Namun ia tidak terus larut berduka. Ia melanjutkan aksi kemanusiaan yang sudah diperbuat anaknya dengan membuat sebuah buku yang ditulis untuk anaknya dan juga melanjutkan aksi kemanusiaan anaknya dengan membuat pemandian publik khusus pengungsi di sana. Bagaimana ia bisa kuat? Karena hidup terus berjalan dan bersedih tak akan menyelesaikan apa apa.
Margaret Conley adalah seorang ibu dengan dua anak special. Satu anak menderita autis dan epilepsi. Satu lagi anak yang gay. Ketika panel berlangsung anaknya hadir dengan partnernya. Menunjukkan dukungan kepada sang ibu. Margaret mengatakan bahwa anak anaknya telah mengajarkan dia berbahagia dengan hidup yang berbeda namun mendukung satu sama lain.
Panel ini sangat menyentuh. Banyak jeda dan diam. Tak banyak yang bisa bertanya. Hanya kekuatan emosi yang memenuhi ruangan.
Jadi Macau sekali lagi bukan hanya soal kasino. Orang orangnya dan cerita di balik mereka adalah kekuatan penting bagi ingatan saya dalam mendefinisikan Macau. Sebuah kota yang tak hanya gemerlap dalam cahaya lampu namun juga bercahaya jiwa.
Terlepas dari konferensi yang sukses mendatangkan 150an penulis dari 20 negara, Macau sejak berdirinya adalah tempat yang sangat hibrid dan dinamis. Karena ia kota pelabuhan yang selalu mendatangkan pedagang dari berbagai belahan dunia.
Salah seorang penolong saya yang bersedia mengantar saya ke tempat acara di luar kampus adalah Stephen Sayers. Orang Australia yang menjadi dosen di Macau dan sudsh menjadi penduduk Macau. Dia mengantar saya berkeliling kota Macau bersama penulis lainnya. Keramahannya dan kesigapan menolongnya sangat tinggi. Pemahamannya soal Macau juga sangat baik.
Memang, rasanya orang bangsa apapun ada di Macau. Juga orang Indonesia tentunya. Saya terkejut ketika register di hostel ternyata petugasnya adalah orang Indonesia. Orang Kalimantan. Namanya Charles. Dia langsung tahu saya orang Indonesia dari wajah saya. “Indonesia ya Mbak. Gua juga Indonesia.” Wah langsung merasa aman saya. Kami ngobrol singkat. Namanya Charles. Dia berada di Macau untuk bekerja. Seperti kebetulan ketika saya check in dan check out dia bertugas. Saya ucapkan terimakasih.
Ketika saya tiba di bandara untuk balik ke Indonesia, saya disapa seseorang. Saya kaget. Ternyata ada yang menyapa saya di negeri orang. Dia dari Indonesia. Ternyata TKW. Dari Jawa Timur. Di paspor namanya Marie, tapi nama aslinya Mariyem. Dia bekerja 3 bulan dan mendapat perlakuan buruk dari bosnya. Ia tidak digaji sesuai perjanjian. Jadi dia memutuskan pulang. Ini isu besar lagi. Tapi saya tidak akan membahasnya. Saya dan Marie malah banyak bercanda. Marie dan saya berbagi biskuit. Rasa biskuit itu renyah dan nikmat. Tapi hidup tak selalu serenyah dan senikmat biskuit itu. Setidaknya bagi Marie.
Ya begitulah Macau. Ceritanya tak lagi sama sebelum dan sesudah mengenalnya. Ada sedikit tragedi comedi dan hal hal manusia lainnya. [T]