20 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
https://nusapenidapoint.com/santai-di-enjoy-beach-nusa-penida/

https://nusapenidapoint.com/santai-di-enjoy-beach-nusa-penida/

Ekspansi Pariwisata Atas “Rompok-Rompok” (Ruang Agraris) di Nusa Penida

I Ketut Serawan by I Ketut Serawan
November 13, 2019
in Esai
340
SHARES

Semenjak melejit 4 tahun belakangan, ekspansi sektor pariwisata atas ruang agraris kian tak terbendung di Pulau Nusa Penida. Pemandangan (wujud) ekspansi-ekspansi ini tampak nyata mulai dari teritorial pesisir, dataran hingga perbukitan. Rompok-rompok (rumah sangat sederhana untuk mendukung aktivitas pertanian) sebagai simbol kejayaan agraris, kini tumbang (habis) menjadi penginapan seperti hotel, hostel, cottage, villa dan lain sebagainya.

Ekspansi di daerah pesisir tampak sangat agresif. Hampir tidak ada sisa rompok-rompok berdiri di sepanjang pesisir pantai utara Nusa Penida. Berbeda dengan tahun 80-an hingga tahun 200-an, rompok-rompok berjejer memenuhi lekuk garis pesisir pantai. Bangunan dengan dinding bedeg dan atap daun kelapa ini sangat mendominasi.

Awalnya, deretan bangunan ini didominasi oleh rompok-rompok nelayan. Namun, ketika budidaya rumput laut meroket, rompok nelayan seolah-olah tenggelam. Diganti dengan, rompok-rompok petani rumput laut bak jamur di musim hujan. Berjejer, berhimpitan, dan berdesak-desakan. Rompok-rompok inilah yang pernah mengangkat martabat petani di Nusa Penida.

Hasil pertanian rumput laut jauh lebih menjanjikan daripada petani konvensional (ladang dan ternak). Jika petani konvensional memetik hasil dalam setahun, maka petani rumput laut cukup membutuhkan waktu panen rata-rata per 35-40 hari. Di samping singkat, hasil panen rumput laut jauh lebih besar daripada hasil panen petani konvensional.

Hasil panen rumput laut tidak hanya mampu menutupi biaya dapur, biaya sosial, biaya religius bahkan mampu menyokong biaya yang fundamental yakni biaya pendidikan. Awalnya, masyarakat hanya mampu bersekolah pada tingkat SD. Namun, kedigjayaan rumput laut mampu secara masif mengangkat derajat warga (terutama pesisir) untuk mengenyam pendidikan hingga ke tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Testimoni inilah yang mendorong ruang pesisir kian dijamuri rompok-rompok petani rumput laut, dengan sisa ruang (lahan) kosong untuk menjemur rumput laut.

Memasuki akhir tahun 2004, keberadaan budidaya rumput laut mulai goyang. Entah karena faktor apa, rumput laut tidak bisa berkembang dengan baik. Ranting-rantingnya selalu membusuk, lalu mudah disapu ombak dan gerusan air laut. Akibatnya, petani terus gagal panen. Petani mengalami kerugian bertubi-tubi, hingga akhirnya tidak dapat bertani rumput laut lagi.

Sejak itulah, rompok-rompok pesisir menjadi sepi. Aktivitas pertanian rumput laut menjadi mati. Rompok-rompok ditinggalkan oleh pendukungnya. Jadilah rompok-rompok itu sebagai hunian memedi. Kesunyian ini berlangsung kurang lebih 12 tahunan.

Baru memasuki tahun 2016, aktivitas pesisir pantai mulai menggeliat lagi. Akan tetapi, aktivitas ini tidak berkaitan dengan kegiatan bertani rumput laut melainkan bertani dollar. Satu per satu rompok-rompok ditumbangkan, diratakan, dan disulap menjadi penginapan. Memedi mulai terusik. Puncaknya, tahun  2018 dan 2019, rompok-rompok dan memedi betul-betul lenyap ditelan perubahan.

Sepanjang pesisir pantai utara, kini sudah berjejer akomodasi penginapan mengikuti lekuk tubuh pantai. Jika malam, penginapan-penginapan ini bermandikan cahaya, berbeda dengan rompok yang gelap gulita.

Bukan hanya pesisir pantai, ekspansi pariwisata juga terjadi di laut. Laut yang semula sebagai tempat menanam rumput laut, melabuhkan sampan-sampan petani rumput laut dan nelayan, kini juga merasakan kejamnya ekspansi itu. Bekas-bekas petak (lahan) rumput laut sudah menjadi lintasan diving dan wahana air untuk wisatawan. Sementara itu, lahan parkir (berlabuh) sampan-sampan atau jukung petani rumput laut dan nelayan makin terhimpit. Sekarang, lahan-lahan laut itu sudah dicaplok oleh speed boat, sampan, dan jukung untuk diving.

Selain pesisir (lautan), kepungan ekspansi juga melanda wilayah perbukitan di Nusa Penida. Bangunan-bangunan penginapan terus menyerang rompok-rompok petani konvensional. Hampir setiap hari, alat-alat berat excavator terus menderu–meratakan batu-batu kapur perbukitan. Penginapan-penginapan dengan berbagai style tak terbendung, mulai dari model tradisional (rumah panggung, jineng) hingga bangunan modern. Pun bermunculan cabang jalan-jalan baru (diaspal/ dibeton) menuju akses penginapan. Jalan yang tentu lebih mulus daripada era rompok-rompok terdahulu.

Jika dicermati, keberadaan bangunan-bangunan penginapan ini jauh lebih banyak daripada jumlah rompok-rompok sebelumnya. Perbukitan dengan berbagai view (terutama view laut), berjejer penginapan dengan penataan yang lebih rapi, mulai dari belahan timur Pulau Nusa Penida, belahan utara, hingga belahan barat. Kondisi ini tampak jelas kalau dilihat dari permukaan air laut.

Tak kalah gencarnya, serangan pendirian akomodasi penginapan juga terjadi di dataran (tegal) pedalaman hingga menusuk ke perkampungan rumah-rumah warga. Serangan ini ditandai dengan laju excavator yang tak henti-hentinya merobohkan rompok-rompok petani konvensional. Lahan-lahan produktif tempat menanam palawija dibelah dengan akses jalan.

Fenomena pendirian akomodasi penginapan ini telah merampas kemerdekaan ruang agraris di Nusa Penida. Dalam 5-10 tahun ke depan, ruang dan aktivitas agraris akan betul-betul menemui ajalnya. Para generasi petani tulen (baik konvensional maupun rumput laut) sudah memasuki usia renta. Sementara generasi milenial, yang gagap bertani, sudah telanjur sumringah dengan gemerlap industri pariwisata. Karena itulah, kebijakan pemda Klungkung untuk merevitalisasi budidaya rumput laut di Nusa Penida menjadi kurang populis. Kebijakan ini akan menjadi hiburan bagi pesakitan para petani, yang telah menjadi pecundang transisi pariwisata.

Bagi generasi milenial Nusa Penida, terjun ke dunia lumpur (baca: bertani) rasanya sangat berat. Apalagi, dengan metode yang bersifat tradisional. Mengulang cara-cara tradisional tentu tidak sesuai dengan karakter milenial yang kreatif. Di samping membosankan, juga tak memberikan penghasilkan yang menjanjikan. Belum lagi, perspektif kaum milenial yang memandang remeh citra pekerjaan petani. Karena kaum milenial sekarang memang tidak disiapkan untuk menjadi petani. Kalaupun ada sekolah pertanian atau kampus jurusan pertanian, hingga saat ini belum mampu mengangkat martabat petani. Jurusan ini hanya menjadi pelengkap dan sepi peminat.

Berdasarkan konteks di atas, maka ide revitalisasi budidaya rumput laut menjadi tak laku dan terkesan terlambat. Kaum milenial dipastikan tidak tertarik dengan ide bertani rumput laut. Apalagi, ide ini muncul justru ketika sektor pariwisata sedang melangit dan dipandang menjanjikan di Nusa Penida. Jangankan kaum milenial, kaum tua pun sudah telanjur beralih ke sektor pariwisata.


BACA ESAI DAN OPINI TENTANG NUSA PENIDA

  • Pariwisata Nusa Penida, Menggeser Perspektif Ternak Kaki Empat Menjadi Roda Empat
  • Menyoal Attitude Wisatawan di Nusa Penida: Dari Drama Komplain, Abai, Bengkung, Hingga Isu Moratorium
  • Legenda Pasih Uug (Broken Beach), Alarm Leluhur yang Tak Pernah Tidur
  • Pariwisata Nusa Penida: Antara Broken Beach dan “Broken-Broken” Lainnya

Walaupun kajian akademis mengungkapkan bahwa budidaya rumput laut masih potensial di Nusa Penida, tidak serta merta akan mengubah mindset warga beralih ke sektor agraris (petani rumput laut). Kalau ingin serius, barangkali pemda Klungkung dapat melakukan sejumlah langkah-langkah mendasar, antara lain: pendataan pendukung atau warga yang mau bertani rumput laut, perlu adanya stimulus subsidi modal, jaminan pemasaran,  potensi keberlangsungannya, metode bertaninya, kepastian penghasilan, dan potensi estafet generasi pendukungnya.

Itu pun tidak menjamin, karena kepungan sektor pariwisata terlalu kuat saat ini. Jikalaupun ada beberapa yang mau terjun menjadi petani rumput laut, mereka akan tetap menjadi semacam komunitas yang marginal. Kekuatan marginal ini tentu tidak akan mampu menyaingi sektor pariwisata. Malah yang terjadi nanti adalah aktivitas budidaya rumput laut akan takluk dan dimanfaatkan oleh sektor pariwisata sebagai ekspansi baru.

Praktisi-praktisi pariwisata akan mengemas aktivitas budidaya rumput laut sebagai “drama”. Drama paket wisata yang akan dijual kepada para wisatawan. Mereka, para (pelaku) petani rumput laut diberikan panggung bertani di laut. Selanjutnya, para pelaku pariwisata mengajak wisatawan untuk menonton “drama budidaya” itu. Ujung-ujungnya, sektor pariwisata semakin melebarkan ekspansinya. Pelaku wisata memiliki paket alternatif baru, selain keindahan alam Nusa Penida. Sebaliknya, petani tetap saja menjadi budak (menghamba) kepada kolonial pariwisata. Kalau ini terjadi, maka ekspansi pariwisata tidak berhenti pada rompok-rompok petani (ekspansi fisik agraris), namun ke depan akan merambah kepada ekspansi mental para petani. [T]

Tags: baliNusa PenidaPariwisata
I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi dari penulis
Dongeng

Si Manusia Kodok

by I Ketut Suar Adnyana
April 17, 2021
Khas

Ngobrol Bersama Faisal Kamandobat: “Kavaleri Malam Hari”, Gus Dur, dan Puisi Spiritual

PERTENGAHAN Juni nanti, dunia kesusastraan Indonesia akan kembali dibikin semarak dengan hadirnya antologi puisi bersama “Kavaleri Malam Hari”. Antologi tersebut ...

February 2, 2018
Pameran tugas akhir Bahasa Bali  siswa SMK PariwisataPutra Bangsa, Ubud.
Kilas

Ganapati, Ketika Siswa di Ubud Memamerkan Tugas Akhir Bahasa Bali

AKHIR pekan Sabtu 17 Februari  2018 ini sangat menarik bagi para siswa SMK Pariwisata Putra Bangsa, Ubud.  Menariknya itu berasal ...

February 17, 2018
Foto ilustrasi: Mursal Buyung
Kiat

Jodoh saat Ospek adalah Cinta Sejati

Halo adik-adik yang sudah lulus SMA, sudahkah kalian memilih ke mana akan memijakkan kaki demi menuntut ilmu yang diharapkan? Jika ...

August 16, 2019
Lukisan karya Nyoman Sujana Kenyem/ Foto-foto Gde Hariwangsa
Ulasan

Dari Percakapan dengan Bakti Wiyasa ke Eksplorasi Mantra Nyoman Sujana Kenyem

  SUNGGUH saya sangat berterima kasih pada Bakti Wiyasa yang begitu semangat ‘memperjuangkan’ keutuhan situs-situs purba yang ada di Bali. ...

February 2, 2018
Esai

Karang Binangun dan Korona

Di kampung saya masih banyak sekali orang berkumpul. Masih menjalankan shalat Jumat. Juga masih melaksanakan shalat berjamaah di mushola-mushola. Padahal, ...

April 17, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Dok Minikino | Begadang
Acara

[Kabar Minikino] – Indonesia Raja 2021 Resmi Diluncurkan Untuk Distribusi Nasional

by tatkala
April 17, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

Gejala Bisa Sama, Nasib Bisa Beda

by Putu Arya Nugraha
April 13, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (69) Cerpen (163) Dongeng (14) Esai (1456) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (11) Khas (353) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (343)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In