Seorang perempuan berjalan menunduk. Sekelilingnya sunyi, sawah sepi kini. Sendiri saja ia, dalam huma propaganda. Ia merindukan keriangan masa kanak-kanak. Di batas sunyi itulah, dengung terdengar memenuhi Kalangan Ayodya Art Center, Denpasar. Sore itu, ia mencari ketawa. Atau barangkali ia mencari tawanya yang telah lama hilang, dalam dirinya.
Bermula sunyi, pentas musikalisasi puisi bertajuk Di Dalam Dada Jalan Subak Nyepi oleh Kelompok Sekali Pentas, Denpasar digelar. Seperti kilasan, seperti bayang-bayang, suara-suara dan tawa mulai terdengar. Beberapa orang mendekat berlarian. Mereka bermain baling-baling, menghalau burung-burung. Sesaat kemudian, harmoni kesedihan tercipta bersama gitar dan biola yang menyayat jauh di kedalaman.
Musikalisasi puisi Jalan Subak yang Menanjak karya Made Adnyana Ole menjadi pembuka pentas tersebut. Puisi ini sekaligus menjadi dasar pijak pertunjukan, termasuk di dalam upaya membangun dimensi melalui art¬¬¬¬istik panggung yang ditata Gumi Gegirang. Secara gamblang, hal ini bisa dilihat dari baris-baris puisi berikut;
Jalan subak
Jauh menanjak
Meminang air di sangkar awan
Yang dijaga pawang muda
Pada jaman kilau cuaca
Sedang taman padi yang selalu berbunga
Dan isak penyesalan burung-burung
Kini terperangkap dalam bingkai lukisan
………………..
Bertahun-tahun, berbagai bentuk kesenian –termasuk musikalisasi puisi yang menjadi “anak kandung puisi”, telah menjadi media komunikasi yang jujur memotret sosiokultural masyarakat, setidaknya kondisi yang terjadi di seputaran diri si pencipta. Dan sudah sepatutnya, siapa pun yang mentransformasikannya menjadi bentuk baru, serumit atau sesederhana apa pun, mesti memiliki keberpihakan yang cukup untuk menjaga ruh yang melekat pada karya awal tersebut.
Berangkat dari puisi tentang sawah (yang telah banyak ditinggalkan), pertunjukan dilanjutkan dengan musikalisasi puisi Di Dalam Dada karya Subagio Sastrowardoyo. Puisi menggambarkan suasana dialogis antara “diri” dengan “sesuatu di luar diri”. Seolah mikrokosmos tengah mengikat janji dengan makrokosmos untuk bercengkrama di satu tempat dalam satu waktu tertentu, lalu saling mengingatkan.
Masih dalam kepedihan yang sama, sunyi yang nyaris tak berbeda, musikalisasi puisi Di Dalam Dada dibangun dengan menghadirkan suasana rimba raya, yang kental dengan nyanyian suku pedalaman. Inilah bentuk ketakjuban atas keunikan sekaligus pembacaan tanda-tanda yang dikandung puisi, untuk kemudian memberikan tawaran pencapaian yang berbeda dalam karya musikalisasi puisi yang diciptakan.
Meski sunyi dan kepedihan begitu mendominasi, pentas musikalisasi ini sesungguhnya berbicara tentang cinta sebagai awal dari segala kehidupan: kepedihan juga suka cita. Untuk menampilkan cinta yang berbeda, Kelompok Sekali Pentas menghadirkan puisi Satu Perahu milik W. Sunarta, berbicara tentang keikhlasan dan penyerahan diri yang utuh. Puisi ini disajikan secara sederhana dan begitu romantis, dibangun dengan instrumen gitar, keyboard dan biola. Mereka mencoba menyederhanakan segala kemungkinan notasi untuk menghidupkan kalimat paling cinta dalam puisi tersebut.
……………
Genggam tanganku lebih erat
Biarkan perahu kita hanyut
Menurut kehendak air
Bait terakhir dari puisi yang terdiri dari empat bait menjadi ruh bagi Satu Perahu. Dari tiga baris inilah kesadaran kelompok terbentuk sejak 1 Januari 2011 itu tumbuh untuk menciptakan sunyi dalam dimensi yang menggugah. Kesadaran akan cinta, juga keikhlasan untuk menyajikan puisi agar tetap tinggal dalam kesederhanaannya.
Pertarungan
Heri Windi Anggara sebagai motor Kelompok Sekali Pentas benar-benar tak menginginkan pertunjukan ini berhenti sebatas hiburan semata. Jauh melampauinya, ia berupaya menyusun mozaik-mozaik kemungkinan puisi menjadi sesuatu yang sarat pesan, menjadi kritik sekaligus otokritik. Seperti yang tertuang dalam sinopsis pertunjukan; maka apa lagi yang tersisa saat sawah telah lenyap dari pandangan mata? Selain menyerah pada sesal yang “Nyepi”.
Maka benarlah, hidup adalah pertarungan. Menang dan kalah menjadi hal yang biasa. Namun selama masih ada nafas, menyerah bukanlah pilihan. Upaya-upaya untuk meneguhkan keyakinan harus tetap diperjuangkan dengan penuh kesadaran.
Semangat ini begitu kental dalam musikalisi puisi Lagu Orang Kalah karya D Zawawi Imron. Dengan menggunakan teknik damp gitar dan biola yang melibas, intro musik yang dibangun merepresentasikan detak waktu yang bergegas, dalam ketertekanan. Begitu pedih lagu ini ketika bait pertama dinyanyikan. Namun kepedihan tak perlu berlama-lama. Dalam bait-bait berikutnya, musik berubah garang, mengobarkannya menjadi api yang menghapus goresan baja. Menjawab tantangan demi tantangan, meski dalam ketidakberdayaan sekalipun. Seperti yang tersurat dalam puisi; mayat-mayat yang mengaku kalah/senyumnya makin bergigi.
Sebagai puncak pertunjukan, kelompok yang terdiri dari Heri, Zico (gitar), Colby (bass), Chumani (keyboard), Monique, Tia (biola) dan Yustin, Tria, Nina (vocal) ini berkolaborasi dengan Kacak Kicak Puppet Theatre pimpinan “Jong” Santiasa Putra. Mereka mengeksplorasi puisi Nyepi karya Riki Dhamparan Putra dalam bentuk musik teaterikal. Pada puisi yang terdiri dari 1 (satu) kata Kukuuuruuyuuuuuuk ini, sepi disajikan dengan mengeksplorasi musik dalam puncak gemuruh. Maka hadirlah bunyi-bunyi noise yang menyelubung, permainan musik dalam birama yang tak sama, hingga eksplorasi vocal padat yang bersahutan.
Betapa kontradiktif, betapa menampar kesadaran. Nyepi yang begitu kontemplatif, dimaknai dengan suara-suara yang menggelegar. Mereka memotret suasana Nyepi hari ini yang begitu gemuruh dengan keinginan. Manekin dan televisi yang terkoneksi, hadir dalam pertunjukan seolah meledek siapa pun yang menyaksikannya. Bahwa kita semua, terlalu suntuk terhadap hal-hal yang berada di luar diri, kemudian abai terhadap sesuatu yang menjadi esensi.
Kelompok Sekali Pentas terasa benar menjaga keutuhan pertunjukan mereka, termasuk dalam pemilihan puisi untuk mendukung konsep serta gagasan yang ingin dimunculkan. Melalui kedekatan rasa dan tema, mereka membangun skenario secara perlahan dan sabar agar komunikasi yang dibangun benar-benar sampai dan bisa menjadi renungan bersama. Bahwa, Nyepi bagi diri adalah juga bentuk meditasi yang lain, manakala iklan dan propaganda begitu lihai menyurutkan intensitas interaksi sosial. Seperti hari ini, juga di waktu-waktu mendatang.
Noise masih liar terdengar. Satu per satu, mereka meninggalkan panggung pertunjukan, meninggalkan teror bagi penonton yang memadati Kalangan Ayodya. Suara-suara itu masih terus terdengar. Semakin kencang, lalu sunyi seketika mengakhiri pertunjukan, bersama hari yang mulai berangkat malam. [T]