18 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Ulasan
Kelompok Sekali Pentas [Foto-foto: Ruang Hujan x Himatografi]

Kelompok Sekali Pentas [Foto-foto: Ruang Hujan x Himatografi]

Menakar Puisi, Menapaki Sunyi Kelompok Sekali Pentas

Wendra Wijaya by Wendra Wijaya
November 10, 2019
in Ulasan
64
SHARES

Seorang perempuan berjalan menunduk. Sekelilingnya sunyi, sawah sepi kini. Sendiri saja ia, dalam huma propaganda. Ia merindukan keriangan masa kanak-kanak. Di batas sunyi itulah, dengung terdengar memenuhi Kalangan Ayodya Art Center, Denpasar. Sore itu, ia mencari ketawa. Atau barangkali ia mencari tawanya yang telah lama hilang, dalam dirinya.

Bermula sunyi, pentas musikalisasi puisi bertajuk Di Dalam Dada Jalan Subak Nyepi oleh Kelompok Sekali Pentas, Denpasar digelar. Seperti kilasan, seperti bayang-bayang, suara-suara dan tawa mulai terdengar. Beberapa orang mendekat berlarian. Mereka bermain baling-baling, menghalau burung-burung. Sesaat kemudian, harmoni kesedihan tercipta bersama gitar dan biola yang menyayat jauh di kedalaman.

Musikalisasi puisi Jalan Subak yang Menanjak karya Made Adnyana Ole menjadi pembuka pentas tersebut. Puisi ini sekaligus menjadi dasar pijak pertunjukan, termasuk di dalam upaya membangun dimensi melalui art¬¬¬¬istik panggung yang ditata Gumi Gegirang. Secara gamblang, hal ini bisa dilihat dari baris-baris puisi berikut;

Jalan subak

Jauh menanjak

Meminang air di sangkar awan

Yang dijaga pawang muda

Pada jaman kilau cuaca

Sedang taman padi yang selalu berbunga

Dan isak penyesalan burung-burung

Kini terperangkap dalam bingkai lukisan

………………..

Bertahun-tahun, berbagai bentuk kesenian –termasuk musikalisasi puisi yang menjadi “anak kandung puisi”, telah menjadi media komunikasi yang jujur memotret sosiokultural masyarakat, setidaknya kondisi yang terjadi di seputaran diri si pencipta. Dan sudah sepatutnya, siapa pun yang mentransformasikannya menjadi bentuk baru, serumit atau sesederhana apa pun, mesti memiliki keberpihakan yang cukup untuk menjaga ruh yang melekat pada karya awal tersebut.


Kelompok Sekali Pentas [Foto: Ruang Hujan x Himatografi]

Berangkat dari puisi tentang sawah (yang telah banyak ditinggalkan), pertunjukan dilanjutkan dengan musikalisasi puisi Di Dalam Dada karya Subagio Sastrowardoyo. Puisi menggambarkan suasana dialogis antara “diri” dengan “sesuatu di luar diri”. Seolah mikrokosmos tengah mengikat janji dengan makrokosmos untuk bercengkrama di satu tempat dalam satu waktu tertentu, lalu saling mengingatkan.

Masih dalam kepedihan yang sama, sunyi yang nyaris tak berbeda, musikalisasi puisi Di Dalam Dada dibangun dengan menghadirkan suasana rimba raya, yang kental dengan nyanyian suku pedalaman. Inilah bentuk ketakjuban atas keunikan sekaligus pembacaan tanda-tanda yang dikandung puisi, untuk kemudian memberikan tawaran pencapaian yang berbeda dalam karya musikalisasi puisi yang diciptakan.

Meski sunyi dan kepedihan begitu mendominasi, pentas musikalisasi ini sesungguhnya berbicara tentang cinta sebagai awal dari segala kehidupan: kepedihan juga suka cita. Untuk menampilkan cinta yang berbeda, Kelompok Sekali Pentas menghadirkan puisi Satu Perahu milik W. Sunarta, berbicara tentang keikhlasan dan penyerahan diri yang utuh. Puisi ini disajikan secara sederhana dan begitu romantis, dibangun dengan instrumen gitar, keyboard dan biola. Mereka mencoba menyederhanakan segala kemungkinan notasi untuk menghidupkan kalimat paling cinta dalam puisi tersebut.

……………

Genggam tanganku lebih erat

Biarkan perahu kita hanyut

Menurut kehendak air

Bait terakhir dari puisi yang terdiri dari empat bait menjadi ruh bagi Satu Perahu. Dari tiga baris inilah kesadaran kelompok terbentuk sejak 1 Januari 2011 itu tumbuh untuk menciptakan sunyi dalam dimensi yang menggugah. Kesadaran akan cinta, juga keikhlasan untuk menyajikan puisi agar tetap tinggal dalam kesederhanaannya.


Kelompok Sekali Pentas [Foto: Ruang Hujan x Himatografi]

Pertarungan

Heri Windi Anggara sebagai motor Kelompok Sekali Pentas benar-benar tak menginginkan pertunjukan ini berhenti sebatas hiburan semata. Jauh melampauinya, ia berupaya menyusun mozaik-mozaik kemungkinan puisi menjadi sesuatu yang sarat pesan, menjadi kritik sekaligus otokritik. Seperti yang tertuang dalam sinopsis pertunjukan; maka apa lagi yang tersisa saat sawah telah lenyap dari pandangan mata? Selain menyerah pada sesal yang “Nyepi”.

Maka benarlah, hidup adalah pertarungan. Menang dan kalah menjadi hal yang biasa. Namun selama masih ada nafas, menyerah bukanlah pilihan. Upaya-upaya untuk meneguhkan keyakinan harus tetap diperjuangkan dengan penuh kesadaran.

Semangat ini begitu kental dalam musikalisi puisi Lagu Orang Kalah karya D Zawawi Imron. Dengan menggunakan teknik damp gitar dan biola yang melibas, intro musik yang dibangun merepresentasikan detak waktu yang bergegas, dalam ketertekanan. Begitu pedih lagu ini ketika bait pertama dinyanyikan. Namun kepedihan tak perlu berlama-lama. Dalam bait-bait berikutnya, musik berubah garang, mengobarkannya menjadi api yang menghapus goresan baja. Menjawab tantangan demi tantangan, meski dalam ketidakberdayaan sekalipun. Seperti yang tersurat dalam puisi; mayat-mayat yang mengaku kalah/senyumnya makin bergigi.


Kelompok Sekali Pentas [Foto: Ruang Hujan x Himatografi]

Sebagai puncak pertunjukan, kelompok yang terdiri dari Heri, Zico (gitar), Colby (bass), Chumani (keyboard), Monique, Tia (biola) dan Yustin, Tria, Nina (vocal) ini berkolaborasi dengan Kacak Kicak Puppet Theatre pimpinan “Jong” Santiasa Putra. Mereka mengeksplorasi puisi Nyepi karya Riki Dhamparan Putra dalam bentuk musik teaterikal. Pada puisi yang terdiri dari 1 (satu) kata Kukuuuruuyuuuuuuk ini, sepi disajikan dengan mengeksplorasi musik dalam puncak gemuruh. Maka hadirlah bunyi-bunyi noise yang menyelubung, permainan musik dalam birama yang tak sama, hingga eksplorasi vocal padat yang bersahutan.

Betapa kontradiktif, betapa menampar kesadaran. Nyepi yang begitu kontemplatif, dimaknai dengan suara-suara yang menggelegar. Mereka memotret suasana Nyepi hari ini yang begitu gemuruh dengan keinginan. Manekin dan televisi yang terkoneksi, hadir dalam pertunjukan seolah meledek siapa pun yang menyaksikannya. Bahwa kita semua, terlalu suntuk terhadap hal-hal yang berada di luar diri, kemudian abai terhadap sesuatu yang menjadi esensi.

Kelompok Sekali Pentas terasa benar menjaga keutuhan pertunjukan mereka, termasuk dalam pemilihan puisi untuk mendukung konsep serta gagasan yang ingin dimunculkan. Melalui kedekatan rasa dan tema, mereka membangun skenario secara perlahan dan sabar agar komunikasi yang dibangun benar-benar sampai dan bisa menjadi renungan bersama. Bahwa, Nyepi bagi diri adalah juga bentuk meditasi yang lain, manakala iklan dan propaganda begitu lihai menyurutkan intensitas interaksi sosial. Seperti hari ini, juga di waktu-waktu mendatang.

Noise masih liar terdengar. Satu per satu, mereka meninggalkan panggung pertunjukan, meninggalkan teror bagi penonton yang memadati Kalangan Ayodya. Suara-suara itu masih terus terdengar. Semakin kencang, lalu sunyi seketika mengakhiri pertunjukan, bersama hari yang mulai berangkat malam. [T]

Tags: musikalisasi puisiPuisi
Wendra Wijaya

Wendra Wijaya

pengamat musik pengamat puisi, main musik juga menulis puisi

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Ulasan

Film “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” dan Sikap Self-conscious Seorang Seniman Modern

Judul Film: Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini Genre: DramaTahun 2020Sutradara: Angga Dwimas Sasongko Produksi Visinema PicturesAdaptasi dari novel karya  Marcella FP.Pemain: Rachel Amanda, Rio ...

May 4, 2020
Wayan Redika, Rajah 2
Puisi

Nuryana Asmaudi SA# Lelaki Abstrak, Perempuan di Pediangan, Pewarta Cinta

LELAKI ABSTRAK   Pada hamparan kanvasmu balon-balon meletus menjadi wara-warni pelangi gugusan mega awan pudar langit terhimpit mendung ditimpa matahari ...

February 2, 2018
Esai

Investasi Politik dan Ingatan Pemilih dalam Kontestasi Pemilu

Di dalam masyarakat yang rasional, kontestan pemilu perlu investasi politik bertahun-tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kontestan pemilu dan kemudian dapat ...

April 16, 2019
Cuplikan "Memanen Hujan Trailer" di Youtube
Acara

“Memanen Hujan”, Membagi Narasi Kecil Sebelum Ditelan Pesta Kembang Api Akhir Tahun.

Kalender tahun 2018 telah memasuki lembar terakhir, namun tidak banyak hujan yang turun tahun ini. Buku SD jaman dahulu yang ...

December 17, 2018
Opini

Laga Tunda Calon Kepala Daerah

Senyum saya seketika terbentuk sesaat setelah melihat dua barang yang berisi tanda gambar salah satu partai politik dan nama seseorang ...

April 29, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jukut paku di rumah Pan Rista di Desa Manikyang, Selemadeg, Tabanan
Khas

Jukut Paku, Dari Tepi Sungai ke Pasar Kota | Kisah Tengkulak Budiman dari Manikyang

by Made Nurbawa
January 16, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Ilustrasi diambil dari Youtube/Satua Bali Channel
Esai

“Satua Bali”, Cerminan Kehidupan

by IG Mardi Yasa
January 18, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (65) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1350) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (2) Khas (308) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (327)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In