Cerpen: Susanti Dewi
Di sebuah kota, di Jalan Veteran, pohon-pohon menari di sepanjang jalan. Daun-daun jatuh berguguran dan meliuk-liuk terbang dibawa angin. Di saat-saat seperti ini, Saras sangat suka berjalan-jalan untuk sekedar menghirup udara segar atau duduk di taman sembari menulisdiary.
Di dekat rumah Saras terdapat sebuah taman yang berada di tengah-tengah kompleks perumahannya. Menjelang sore, anak-anak selalu keluar dari rumahnya untuk kemudian bermain dan tertawa bersama di taman. Namun berbeda dengan Saras, ia tak seperti anak kecil pada umumnya yang selalu terlena untuk bermain perosotan atau masak-masakan dengan imajinasi chef handal di dapur serba ada. Ia lebih memilih duduk di sebuah bangku kayu panjang dan menulis sesuatu di buku diarynya.
Saras sangat suka menulis. Ia menulis apa saja yang ia inginkan. Buku dairy-nya tak pernah lepas dari tas kecil rajut yang diberikan ibunya. Di rumahpun, ia selalu menggenggam buku dairy-nya kemana-mana. Untuk ukuran anak 11 tahun, tak sedikitpun ia mempunyai hasrat seperti anak kecil pada umumnya yang masih ingin bebas melakukan apapun yang mereka suka. Baginya, menulis adalah salah satu keasyikan yang paling mutlak untuk mengekspresikan apa saja yang ada di hati dan pikirannya.
Ruman, ibunya, selalu senang ketika melihat tulisan-tulisan yang diperlihatkan Saras dari buku diary-nya. Ia selalu mendukung Saras untuk terus menulis apa saja yang dia sukai. Ruman sangat menyayangi Saras dan Saras sangat menyayangi ibunya.
Dulu saat masih muda, Ruman adalah seorang penulis perempuan yang cukup terkenal pada masanya, lengkapnya Ruman Mayangsari. Beberapa tulisannya telah dimuat di media cetak. Tulisan-tulisannya sangat menyentuh perasaan siapa saja yang membacanya. Selain terkenal karena tulisannya yang mampu menghipnotis pembaca, Ruman adalah perempuan yang cantik dan sangat taat kepada agama.
Di beberapa kesempatan, ia diundang untuk menghadiri acara-acara diskusi tentang karya sastra yang membuatnya berkenalan dengan banyak orang. Disinilah awal pertemuannya dengan ayah Saras yaitu Umar Santoso, yang sekaligus menjadi akhir dari mimpinya.
Umar Santoso adalah seorang tentara yang sangat mengagumi Ruman. Selain karena parasnya yang cantik, Umar Santoso jatuh cinta akan tulisan-tulisan Ruman yang mampu menghanyutkan hatinya ketika ia belum saja bertemu langsung dengan Ruman.
Umar Santoso berasal dari keluarga tentara, hidupnya selalu terpaku pada aturan keluarganya yang harus begini dan begitu. Dengan modal kegagahannya, Umar Santoso berhasil memikat hati Ruman dan menjalin hubungan selama dua tahun sebelum akhirnya menikah dan mempunyai putri semata wayang, Saras Kirana.
Semenjak setahun menikah dengan Umar Santoso, Ruman harus menenggelamkan dan mengubur mimpi-mimpinya untuk menjadi seorang penulis. Umar Santoso meminta Ruman untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan mengurus anak dengan baik. Sebenarnya alasan lain Umar melarang Ruman adalah rasa cemburunya. Ia cemburu pada setiap lelaki yang mendekati Ruman tat kala ia sedang menemani istrinya pada sebuah acara-acara sastra. Ia takut, jikalau nanti Ruman berpaling hati meskipun ia sudah menjadi istri sahnya.
“Kau tak usah menulis lagi! Tak ada gunanya. Kau senang dipuja-puja oleh banyak lelaki, ya? Perempuan harusnya melayani suami dengan baik. Bukannya sibuk mencari perhatian laki-laki lain. Tak perlu kau menulis-menulis!” kata Umar Santoso.
Pukulan besar menghantam dan menghancurkan diri Ruman. Ia tak terima dan menjawab suaminya dengan geram. “Tidak akan dan tidak mungkin aku berhenti. Ini mimpiku. Kau tak boleh melarang mimpiku! Aku berhak menjadi apa saja yang aku impikan. Aku tidak bisa!”.
“Oh, kau tidak mau menuruti perkataan suamimu? Kau protes, ha? Baiklah kalau kau lebih memilih begitu, namun aku tidak bisa lagi memiliki seorang istri yang tidak patuh dengan kata suami!”
Semenjak saat itu, Ruman menjadi sering menangis. Ia tak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah suaminya. Ia tidak mungkin meneruskan apa yang menjadi mimpinya dan meninggalkan suaminya. Jika tidak karena anaknya, ia tentu saja akan meninggalkan laki-laki yang tidak memberi kebebasan atas dirinya itu. Ia sangat kecewa dengan suaminya. Ia kecewa sejadi-jadinya. Ia sakit sejadi-jadinya. Ia marah sejadi-jadinya, namun tak ada yang dapat ia lakukan untuk menolong mimpinya.
Dulu, Umar sangat menyayangi Ruman. Ia diperlakukan layaknya seorang ratu. Cinta tercurah begitu penuh, sehingga ia berpikir bahwa ialah perempuan yang paling beruntung sedunia. Namun semenjak setahun pasca menikah, Umar berubah menjadi pribadi yang keras dan egois. Segala perkataan dan aturan yang keluar dari mulutnya adalah hal mutlak yang wajib dipatuhi oleh Ruman. Mungkin ini adalah bawaan sifat dari keluarganya yang latar belakangnya adalah tentara.
Tak ada hal lain yang menghiasi hari-hari Ruman selain menangis dan menantikan kelahiran anak yang ada dalam rahimnya. Dirinya hancur diterjang badai seumur hidup. Ia kehilangan diri dan mimpinya. Ia telah habis. Tak ada lagi yang mampu ia perbuat selain berharap anaknya tak mendapat nasib yang sama. Mengapa aku tak boleh bermimpi? Mengapa aku harus menuruti kata suamiku? Mengapa aku tak boleh protes atas apapun yang dikehendakinya? Apa perempuan tak berhak atas haknya? Apa perempuan tak boleh meraih mimpinya? Mengapa aku begitu terpenjara? Mengapa?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan menghantam-hantam hati dan pikirannya. Ia hanya menangis. Ia terus menangis. Sepanjang hari. Hingga Umar sangat muak melihat pemandangan itu. Ia berkata pada istrinya.
“Apa tak ada pekerjaan lain yang bisa kau lakukan, ha? Mengapa kerjaanmu hanya menangis, menangis dan menangis saja sepanjang hari? Aku sangat muak melihat air mata itu. Kau cengeng sekali. Menyesal aku menikahi perempuan yang kerjaannya hanya menangis sepanjang waktu!”.
Ruman tak mampu berkata-kata selain terus mengeluarkan air matanya. Ia tak mampu lagi mengenali dirinya, yang ia lihat kini hanyalah kehancuran atas dirinya. Satu-satunya yang dapat menolongnya hanyalah menangis.
Menangis adalah cara perempuan mengekspresikan perasaannya, ketika mulut tak mampu berbicara dan tubuh tak mampu bertindak. Menangis adalah cara perempuan melepas penatnya. Ketika sakit tak bisa dibendung dan pikiran tak lagi terhubung. Menangis adalah cara perempuan memberitahu bahwa hatinya benar-benar terluka. Air mata adalah fakta terdalam yang terkuak dari hati seorang perempuan.
Ketika perempuan menangis, ia sedang mengeluarkan seluruh isi hati dan jiwanya. Air mata adalah kejujuran dan ketulusan hati perempuan. Maka jalan terbaik untuk itu adalah menangis. Hari hari berlalu setelahnya. Sedikit demi sedikit ia mulai berhenti menangis, namun jikalau ia teringat tentang angan dan mimpinya, ia akan menitikkan air mata sembari melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh ibu rumah tangga.
Semenjak kelahiran Saras, Umar mulai melunakan dirinya namun tidak seutuhnya. Ia kembali menjadi sosok penyayang. Ia sangat menyayangi putri semata wayangnya itu, semenjak rahim Ruman diangkat karena kista yang tumbuh ganas dan mengharuskan Ruman kehilangan rahimnya. Umar menaruh harapan besar kepada anaknya untuk mengikuti jejaknya kelak nanti. Ia berharap anaknya bisa menjadi polwan hebat dan mengharumkan namanya. Umar memiliki interpretasi-interpretasi terhadap Saras yang secara tidak sadar membuatnya kembali menjadi egois karena ingin putrinya mengikuti dan menuruti ia ini dan itu.
Suatu ketika, Saras diganggu oleh beberapa teman sekolahnya dan dikatai orang aneh karena asyik saja dengan bukunya. Ia diolok-olok sok pintar karena terus membawa sebuah buku yang mana adalah buku diary-nya, tempat ia menulis apa saja yang ia inginkan. Salah seorang temannya terlewat jahil kepadanya saat pulang sekolah, ia mendorong Saras dari belakang sehingga Saras jatuh tersungkur ke jalan aspal yang kasar yang membuat lutut dan kakinya terluka.
Darah bercucuran dari lukanya akibat goresan kerikil-kerikil aspal yang tajam dan membuat kulit kakinya robek. Anak yang mendorong Saras itu kabur begitu saja setelah melihat Saras jatuh. Karena saat itu adalah jam pulang sekolah, banyak orang tua yang menunggu untuk menjemput anaknya. Salah seorang orang tua murid melihat Saras bertimpuh di pinggir jalan dengan luka di kakinya. Karena merasa iba, ia menawari Saras untuk mengantarnya pulang.
Saras tak mampu berkata banyak, ekspresi wajahnya menggambarkan bahwa ia sedang menahan rasa sakit dan perih lukanya. Wajah Saras sudah cukup memberi jawaban atas penawarannya, maka orang tua murid tersebut beserta anaknya mengantarkan Saras pulang ke rumah dengan mengikuti petunjuk jalan yang Saras berikan.
Sorenya ketika ayah Saras sampai di rumah, ia melihat anaknya menangis dan penuh luka di kakinya. Ruman terlihat sedang sibuk mengecek-ngecek kaki anaknya. Tentu saja Umar tidak berdiam diri melihat anaknya seperti itu, ia bertanya kepada anaknya tentang apa yang telah terjadi pada dirinya. Lantas saja ibu Saras menyahuti pertanyaan ayahnya bahwa Saras tak sengaja terjatuh saat bermain dengan teman-temannya. Ruman terpaksa berbohong, karena jika ia jujur kepada suaminya bahwa anaknya diolok-olok orang aneh karena suka menulis sendirian, maka yang akan terjadi adalah mala petaka.
Ruman sangat berharap anaknya bisa meneruskan apa yang ia sukai dan tak ingin membatasinya, ia tak ingin Saras bernasib sama seperti dirinya jika ayahnya tau bahwa anaknya juga suka menulis seperti ibunya dulu. Mendengar penjelasan istrinya, Umar berkata dengan tegas kepada Saras
“Sudahlah, kau tak boleh menangis. Kau tak boleh cengeng. Lukamu hanya luka kecil. Sebagai perempuan kau harus kuat. Jangan menjadi cengeng. Perempuan itu tidak boleh cengeng. Sudah, berhenti menangis!”.
Selepas itu, Umar bergegas menuju kamar untuk membuka seragamnya dan beristirahat.
Lima tahun telah berlalu. Saras kini tumbuh menjadi remaja yang sangat cantik dan pintar di sekolahnya. Masa-masa SMA adalah masa peralihan. Di masa-masa ini, remaja sedang senang-senangnya mengenal dunia luar. Begitupun dengan Saras, ia kini mulai tertarik untuk mengetahui apa saja yang ingin ia ketahui.
Ia mulai suka keluar bersama teman-temannya. Nongkrong, menonton, berbelanja, dan juga berpacaran. Namun satu hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Saras semenjak kecil adalah menulis. Meskipun ia kini sudah tumbuh menjadi Saras yang tidak dianggap aneh lagi, namun ia tak pernah melupakan kegemarannya itu. Ia selalu menyempatkan dirinya untuk menulis apapun yang ingin ia tulis saat berada di rumah atau ketika nongkrong di café-café.
Suatu hari, Saras pulang larut malam setelah selesai mengerjakan tugas kelompok yang harus diselesaikannya saat itu juga bersama teman-temannya di sebuah kedai kopi. Karena sudah terlalu larut dan jalanan semakin sepi, salah seorang teman lelakinya menawarkan untuk mengantarnya pulang ke rumah. Ia pun cemas jikalau ada orang-orang jahat yang tiba-tiba menyerangnya saat ia sendirian di jalan, maka ia pun menerima tawaran temannya itu.
Sesampainya di rumah, ia terkejut ketika melihat ayahnya duduk di halaman depan sendirian. Cepat-cepat ia menyuruh temannya pulang agar tak dilihat oleh ayahnya. Ketika ia berjalan masuk ke rumah mendekati ayahnya, Umar tiba-tiba berdiri di hadapannya dengan tatapan yang tajam. Baru sepatah kata yang keluar dari mulut Saras, Umar langsung menyambarnya dengan menampar keras pipi putrinya
“Kemana saja kau sampai larut begini dan pulang diantarkan laki-laki? Ingin menjadi wanita malam? Apa kau sudah tidak mempunyai harga diri? Apa kata tetangga jika mereka melihat anak perempuan yang suka keluyuran bersama laki-laki tengah malam?”
Saras tak mampu membendung air matanya, ia menangis sembari menahan sakit dari tamparan ayahnya.
“Mulai sekarang, kau tak boleh keluar ke manapun!” kata ayahnya.
“Tapi, Yah, Saras hanya…”
“Ahh, diam kau. Apapun alasanmu, aku tetap tidak suka!”
“Yah, maafkan Saras. Tapi Saras tak bisa melakukannya. Banyak hal yang harus Saras kerjakan di luar sana, Yah. Saras tidak bisa hanya berdiam diri di rumah saja!”
“Jadi kau protes? Kau ingin menentang kata ayahmu? Anak durhaka! Pokoknya kau tidak boleh keluar kemanapun lagi! Titik!”.
Semenjak kejadian itu, Saras tak pernah keluar rumah. Ruman yang mengetahui hal itu, tak bisa melakukan apapun selain menenangkan anaknya yang terus saja menangis. Kini yang hanya bisa dilakukan Saras adalah menulis. Sepanjang hari selepas pulang sekolah, ia hanya sibuk dengan laptopnya untuk menulis apapun yang ingin ia tulis.
Hanya itu satu-satunya yang bisa ia lakukan. Saras telah kehilangan kebebasan atas dirinya. Ia harus meninggalkan masa-masa remajanya yang indah. Tak ada lagi keluar bersama teman, tak ada lagi menonton, tak ada berpacaran, tak ada lagi secangkir kopi dengan gurauan-gurauan konyol yang menggelitik perutnya. Ia telah kehilangan hak atas dirinya.
Suatu pagi di hari Minggu, tukang koran langganan Umar datang ke rumah membawa koran edisi terbaru hari itu. Betapa terkejutnya ketika Umar melihat-lihat halaman koran dan mendapati nama anaknya di koran itu. Ia melihat nama anaknya terpampang nyata di sebuah halaman koran bersama puisinya. Saras memang sudah beberapa kali mengirim tulisannya ke media cetak, dan ini adalah kali pertama tulisannya dimuat.
Seketika darah naik hingga kepala Umar. Wajahnya memerah, cepat-cepat ia berteriak memanggil Saras. Mendengar teriakan keras, Saras berlari menemui ayahnya ke halaman depan rumah dan disusul oleh Ruman.
“Saras! Apa ini?” kata ayahnya sembari menunjuk namanya di koran.
Ruman yang melihat tulisan anaknya dimuat di koran merasa sangat terkejut dan kekhawatiran yang selama ini menghantui dirinya datang memenuhi pikirannya, ia khawatir apa yang ia takutkan tentang anaknya menjadi kenyataan. Saraspun terkejut melihat tulisannya dimuat di koran, namun amarah ayahnya semakin menjadi-jadi. Mala petaka datang.
Amarah Umar meledak. Ia mencaci keji anak semata wayangnya itu. Dikatakannya Saras anak kurang ajar, tidak menghargai orang tua, tidak tau diuntung, wanita malam, dan yang sebagainya. Ia mengungkit tentang ibunya.
“Kau tau? Ibumu dulu juga suka menulis seperti kau. Ibumu ini adalah perempuan murahan. Ia senang apabila ia dipuja-puja oleh banyak orang, terutama laki-laki yang mendekatinya. Dan kau sekarang ikut-ikut seperti ibumu? Mencari popularitas melalui tulisan sehingga kau bisa dipuja-puja oleh orang-orang? Agar kau bisa dekat dengan banyak lelaki? Cuihhh! Aku tidak sudi menampung perempuan-perempuan murahan di rumah ini!”
Emosinya memuncak, Umar meremas koran yang ada ditangannya dan memasukannya ke mulut Saras. Dijejalinya mulut Saras dengan koran-koran hingga Saras terbatuk-batuk kesakitan. Ruman menangis melihat perlakuan Umar. Ia terus berusaha menghadang tangan suaminya untuk memasukan koran ke dalam mulut anaknya, namun ia tidak dapat mengalahkan emosi Umar. Umar berlalu meninggalkan sisa-sisa api di jejak langkahnya. Mereka memeluk erat satu sama lain. Air mata mengalir deras.
Di hari minggu selanjutnya, Umar sengaja bangun lebih awal untuk menikmati harinya. Biasanya jika hari Minggu, Ruman akan menyuguhkan suaminya dengan pagi yang manis. Saat Umar membuka mata, maka disampingnya akan terhidangkan secangkir kopi panas dan roti panggang dengan selai kacang kesukaan Umar. Namun kali ini Umar merasa aneh. Saat ia membuka mata, tak ada secangkir kopi atau roti panggang di sampingnya. Ia terbangun dan terus mencari. Rumah sepi dan senyap.
Katanya, perempuan tidak boleh menangis. Perempuan tak boleh tidak suka. Perempuan tidak boleh protes. Perempuan tidak boleh keluar malam. Perempuan harus mengerjakan pekerjaan rumah. Perempuan tak boleh ini. Perempuan tak boleh itu. Perempuan harusnya begini. Perempuan harusnya begitu. Dan perempuan tidak boleh melakukan apapun yang dihalalkan bagi laki-laki.
Ruman sangat menyayangi suaminya. Ia selalu menuruti apa kata suaminya. Ia rela meninggalkan mimpinya dan menyerahkan seluruh dirinya kepada Umar. Saras sangat menyayangi ayahnya. Ia selalu mendengar kata-kata ayahnya dan menurut akan apapun aturan ayahnya.
Kini mereka hanya mematuhi apa yang menjadi keinginan terakhir Umar saat kejadian Minggu lalu. Mereka hanya mengikuti apa yang diperintahkan Umar. Keluar dari penjara, dan mencari kebebasan atas diri mereka. Air mata mengalir sepanjang tahun di sudut rumah yang sepi. [T]