Di Bali, dalam satu dasawarsa ini, perupa muda semakin banyak bermunculan. Sebagian besar dicetak oleh kampus-kampus seni rupa yang ada di Bali. Mereka pun berusaha tampil untuk memperoleh pengakuan publik. Tentu juga mereka harus bersaing dengan para perupa senior yang lebih duluan mengecap asam-garam kehidupan seni rupa. Seleksi alam pun pasti terjadi. Yang gigih dan tekun akan terus bertahan dan berupaya meningkatkan kualitas diri. Yang lemah akan menyerah, menggantung kuas, atau beralih ke profesi lain.
Kehadiran barisan perupa muda perlu disambut dan diapresiasi. Sebab hal ini menunjukkan bahwa tongkat estafet seni rupa di Bali masih berlanjut dari generasi ke generasi. Dan, bukan tidak mungkin pada suatu saat mereka menunjukkan karya-karya unggul sebagai hasil eksplorasi estetika yang mereka tekuni selama proses berkesenian.
Mencermati hal itu, sebagai perpanjangan tangan pemerintah, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali berkewajiban menyediakan wadah untuk menampung hasil kreasi para perupa muda di Bali. Salah satu bentuk wadah tersebut adalah pameran seni rupa bertema “Kemerdekaan Ekspresi Anak Muda Kekinian”. Pameran ini memang khusus dirancang untuk perupa muda dengan usia maksimal 35 tahun. Tentu saja dengan harapan, pameran ini akan mampu menumbuhkan benih-benih kreativitas bagi perupa muda yang sedang mencari jati diri dalam dunia kesenian.
Pameran dibuka tanggal 14 Agustus 2019, pukul 16.00 Wita, di Gedung Kriya, Taman Budaya Bali. Pameran akan berlangsung hingga tanggal 23 Agustus 2019. Selain untuk membuat wadah berekspresi bagi perupa muda, pameran ini bertujuan untuk memperingati HUT Republik Indonesia yang ke-74 dan HUT Provinsi Bali ke- 61.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Dr. I Wayan Adnyana, S.Sn., M.Sn, pameran ini dirancang seturut upaya pemajuan kebudayaan Bali yang berkualitas dan berdaya saing tinggi sesuai visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru. Hal ini tentu dengan mencermati posisi penting seni rupa Bali, juga menimbang potensi-potensi perupa muda yang melimpah. Dengan kata lain, karya-karya perupa muda perlu ditampilkan di hadapan publik dalam sebuah pameran sehingga dialektika berkesenian semakin menguat.
“Pameran ini tentu mengandung banyak harapan. Semoga di masa mendatang, para perupa muda di Bali semakin tekun melahirkan karya-karya bermutu, original, kreatif, unggul, dan berkarakter. Selain itu, semoga pameran ini mampu meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap perkembangan seni rupa terkini di Bali,” tutur Wayan Adnyana.
Pameran ini menggunakan sistem kurasi. Karya-karya peserta dikurasi oleh sebuah tim yang terdiri dari Dewa Putu Ardana, S.Sn., M.Sn. (Kepala Seksi Seni Rupa Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), Wayan Jengki Sunarta (sastrawan dan penulis seni rupa), Made Kaek (perupa), Ema Sukarelawanto (jurnalis dan pengamat seni). Dari 42 peserta yang mengirimkan karya ke panitia, Tim Kurator memilih 30 peserta berdasarkan berbagai pertimbangan, di antaranya adalah visual karya, keunikan, keberagaman gaya/aliran dan teknik. Dalam pameran ini masing-masing peserta menampilkan dua karyanya.
“Meski mengandung kata ‘kemerdekaan’ dalam tematiknya, pameran ini tidaklah secara khusus mengangkat persoalan kemerdekaan Indonesia atau suasana revolusi yang mencekam. Kemerdekaan dalam konteks pameran ini lebih dimaknai sebagai kebebasan berekspresi,” ujar Wayan Jengki Sunarta, salah seorang kurator pameran ini.
Lebih lanjut Jengki menjelaskan bahwa pameran ini menyuguhkan keberagaman karya dengan keunikannya masing-masing. Corak realis, misalnya, dengan sangat menonjol terlihat pada karya Deny Kurniawan, Kadek Sangging, Ni Nengah Mega Risna Dewi. Corak abstrak diwakili oleh karya Gede Oka Astawa, Kadek Darmanegara, Wayan Piki Suryesa, Made Rai Adi Irawan. Selain itu ada pula peserta yang menampilkan karya-karya bercorak figuratif, dekoratif, naif, dan bahkan surealis. Sebagian besar peserta menggunakan teknik modern, namun ada pula yang mengeksplorasi teknik tradisi seperti tampak pada karya Made Adi Satwika dan Satya Cipta.
Kemerdekaan berekspresi dalam pameran ini ditandai dengan karya-karya yang mengangkat berbagai macam tema yang menjadi kegelisahan batin para perupa muda ini. Kegelisahan terhadap berbagai macam persoalan di Bali, misalnya, bisa dilihat pada lukisan berjudul “Bali is Still Bali III (Bali dalam Komodifikasi)” karya I Kadek Swastika, “Generasi Milenial” karya I Ketut Kertayoga, “Timbal Balik” karya I Putu Karang Adi Saputra, “What’s up, Bro?” karya Ida Bagus Eka Suta Harunika. Karya-karya mereka adalah upaya kreatif untuk mengritisi Bali yang terus menerus dieksploitasi oleh kepentingan global. Sementara itu, Bali yang romantis dan seolah baik-baik saja, bisa dilihat pada lukisan “Damainya Desaku” karya I Wayan Agus Eri Putra, “Life is All About Balance” karya Ni Kadek Novi Sumariani, “Dua Petani” karya I Putu Gede Pageh Usianto.
Keberadaan Bali dalam pusaran global adalah suatu keniscayaan. Kita sangat sulit membedakan mana Timur, mana Barat. Semuanya menjadi semakin samar. Kita pun sulit mendefinisikan apa sesungguhnya yang bisa disebut sebagai “budaya asli Bali”, apakah yang pantas disebut sebagai “budaya adiluhung”? Dalam konteks globalisasi dan Bali yang chaostik, Wayan Juni Antara menggambarkannya dengan sangat tepat lewat lukisan bertajuk “Berbagi Warna”. Dengan meminjam khazanah seni lukis klasik Wayang Kamasan, dia membaurkan ikon superhero pewayangan (Timur) dengan superhero dari komik Barat. Karya Juni Antara merupakan salah satu contoh upaya kreatif untuk mendobrak stagnasi seni rupa di Bali.
“Hal menarik lainnya dari pameran ini adalah kehadiran perupa perempuan yang memberi warna tersendiri. Di tengah minimnya perupa perempuan dalam jagat seni rupa kita, maka kehadiran mereka patut diapresiasi dengan harapan semoga intensitas berkarya mereka semakin meningkat di masa-masa mendatang,” tutur Jengki.
Salah satu karya perupa perempuan yang memikat perhatian adalah drawing berjudul “Exultations” karya Satya Cipta. Dengan kelenturan garis yang digores menggunakan tinta cina, dia menggambarkan pertarungan perempuan melawan laki-laki. Sosok perempuan berhasil menginjak kepala dan selangkangan si lelaki. Di balik kelembutannya, perempuan memeram kekuatan maha dahsyat yang membuat lelaki tak berkutik. Karya ini adalah salah satu perwujudan wacana feminisme yang sedang trendy belakangan ini dan menjadi kegelisahan kreatif pelukisnya.
Secara umum, pameran ini menunjukkan keberagaman dalam hal tema, gaya/aliran, teknik, medium. Hal ini juga menunjukkan bahwa perupa muda di Bali memiliki potensi yang sangat besar dalam olah kreasi. Semoga di masa mendatang Pemerintah Provinsi Bali semakin memberikan perhatian yang besar untuk membangkitkan potensi-potensi kreatif ini.[T] [*]