23 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Tribun Bali/Parade Foto

Tribun Bali/Parade Foto

Kreatif Merespon Kelulusan

I Ketut Serawan by I Ketut Serawan
May 27, 2019
in Esai
116
SHARES

Aksi kelulusan yang dilakukan oleh pelajar SMAN 1 Amlapura tahun ini cukup unik. Mereka merayakannya dengan membagi-bagikan nasi bungkus di tiga titik yaitu pasar Karangasem, RSUD Karangasem, dan pertigaan Abang (13/5/19). Aksi yang diunggah oleh akun instagram milik Denny Pradana Putra ini langsung viral dan menuai apresiasi positif dari para nitizen.

Para nitizen menilai bahwa aksi tersebut sangat langka. Pasalnya, tidak banyak pelajar merespon kelulusan dengan aksi positif dan bermanfaat. Biasanya, pelajar merespon kelulusan sebagai sebuah pesta. Pesta dengan mencoret-coret seragam sekolah. Kemudian, melakukan konvoi di jalanan.

Tidak hanya menganggu pengguna jalan, aksi ini seringkali meresahkan warga. Sehingga wajar, tahun lalu (3/5/18) sejumlah warga di Sulteng menghadang dan menyiram rombongan konvoi pelajar dengan air comberan. Beberapa aparat keamanan (polisi) juga sering menangkap para konvoi ini, lalu memberikan berbagai sanksi. Sayangnya, para pelajar tidak pernah menunjukkan sinyal jera. Aksi corat-coret dan konvoi jalanan ini tetap saja menjadi seremonial wajib hingga sekarang.

Seremonial corat-coret seragam dan konvoi di jalanan sudah dianggap sebagai budaya. Ia sangat berpotensial mengalami proses pengulangan pada tahun-tahun mendatang. Bagi pelajar, corat-coret dan konvoi jalanan mungkin semacam “libido musiman” ketika menginjak usia kelulusan. Libido ini seperti wajib untuk diwujudkan (ekspresikan) sehingga telah menjadi ikon perayaan kelulusan.

Budaya Corat-coret Seragam

Mengapa harus dengan corat-coret seragam sekolah? Konon, sejak muncul pada awal tahun 1990-an, budaya corat-coret seragam sekolah ini lahir sebagai simbol kebebasan. Kebebasan atas produk kebijakan pemerintah pusat tentang pendidikan. Salah satunya ialah ebtanas (Evaluasasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Ebtanas dirasakan banyak merampas kebebasan para siswa zaman itu. Pasalnya, menjelang ebtanas para siswa dituntut ekstra persiapan belajar (ekstra stamina/ tenaga, pikiran, mental, waktu dan biaya) untuk mencapai target lulus ebtanas.

Waktu itu, pemerintah pusat berperan sebagai hakim dadakan karena tidak percaya dengan otoritas sekolah. Pemerintah tidak percaya dengan proses pembelajaran guru dan siswa selama 3 tahun di sekolah. Baginya, ada cara ajaib untuk menakar tingkat kemampuan (ilmu) siswa yaitu mengujinya dengan soal-soal versi pemerintah pusat dalam waktu jam-an. Berdasarkan skor yang diraih, simsalabin siswa dinyatakan lulus atau tidak lulus.

Pihak sekolah hanya bisa tunduk, menjadi robot kebijakan pemerintah pusat. Kalau toh ada perlawanan, sekolah hanya mampu mengkarbit semangat belajar siswa dengan berbagai teknik yang serba instan. Teknik-teknik instan ini dipaksakan hingga menimbulkan tekanan belajar berlapis-lapis. Akibatnya, para siswa menjadi lelah, stres, dan depresi.

Barangkali, situasi inilah yang dianggap sebagai penjajahan. Tirani penjajahan ini dianggap runtuh ketika mereka meraih kelulusan. Kelulusan menjadi semacam proklamasi kemerdekaan. Sedangkan, corat-coret pada seragam sekolah mungkin sejenis rumusan idiologi, UUD, bendera, dan lain sebagainya yang sulit dipahami oleh pakar ketatanegaraan sekalipun.

Meskipun demikian, aksi kemerdekaan itu harus tetap mendapat pengakuan dari lingkungan luar. Karena itu, jalanan menjadi pilihan. Pasca corat-coret, para siswa melakukan konvoi di jalanan. Mereka hendak mencari pengakuan (legalitas) dari masyarakat bahwa mereka telah mencapai kemerdekaan. Tamat dari berbagai tekanan kebijakan sekolah, pemerintah, dan ambisi orang tua.

Tampaknya tekanan-tekanan itu tidak hanya dirasakan oleh para siswa tempo dulu, termasuk siswa sekarang. Meskipun UN sudah tidak menentukan kelulusan (hanya sebagai pemetaan), bukan berarti tekanan-tekanan sekolah, pemerintah, dan orang tua sudah berakhir. Tekanan-tekanan itu tetap ada, dalam wujud dan varian yang berbeda. Barangkali inilah yang menguatkan budaya corat-coret seragam dan konvoi jalanan masih bertahan–meskipun sekarang sudah dianggap kurang relevan.

Publik menilai bahwa pesta corat-coret seragam dan konvoi jalanan tidak murni sebagai ekspresi kebebasan ala tahun 1990-an. Sekarang, interpretasi perayaannya sudah mengarah kepada pamer arogansi. Arogansi ini terlihat ketika mereka bergerombol memenuhi badan jalan, menerobos traffic light, dan kebut-kebutan (tanpa helm dan suara knalpot motor yang memekakan telinga).

Aksi konvoi tersebut sangat merugikan tidak hanya bagi pengendara umum, termasuk pelajar itu sendiri. Karena berisiko mengancam kenyamanan psikis hingga keselamatan (nyawa) seseorang. Di samping itu, aksi konvoi jalanan juga riskan menimbulkan benturan fisik atau perkelahian. Oleh karena itulah, publik menjadi kurang bersimpati terhadap perayaan kelulusan. Publik menilai bahwa perayaan kelulusan bersifat memaksakan (ego) kebebasan sepihak. Para pelajar puas melampiaskan kebebasan, tetapi merampas kebebasan orang lain.

Begitu juga dengan kasus coret-coret seragam sekolah. Mereka lebih mementingkan kepuasan sendiri, tanpa peduli lingkungan sekitar. Padahal, baju seragam itu dapat disumbangkan kepada orang yang membutuhkan. Namun, pelajar lebih senang mengumbar gaya hidup boros dengan mengecatnya dengan spidol atau cat pylox.

Kelulusan dan Kreativitas

 Baik corat-coret maupun berkonvoi, sudah telanjur dipandang memiliki citra negatif sekarang. Tradisi perayaan ini hanya bersifat warisan dan dirasakan kurang relevan. Perspektif ini berkembang mengingat publik memiliki kesadaran lain tentang makna perayaan kelulusan. Publik beranggapan bahwa respon kebebasan tidak mesti tunggal dan bersifat ikut-ikutan. Artinya, perayaan kebebasan pada momen kelulusan tidak harus dengan aksi vandalisme dan konvoi di jalanan.

Ada banyak cara kreatif dalam merespon makna kebebasan atau kelulusan itu. Salah satunya ialah membagi-bagikan nasi bungkus kepada orang yang membutuhkan, seperti yang dilakukan oleh para pelajar asal SMAN 1 Amlapura kemarin.

Aksi sosial pelajar SMAN 1 Amlapura ini mengandung beberapa tafsir modern tentang memaknai kelulusan. Pertama, perayaan kelulusan (kebebasan) tidak boleh dimaknai sebagai pesta yang sepihak. Ketika para pelajar merayakan kesenangan/ kebebasan, tidak boleh mengabaikan kebebasan orang lain. Kalau bisa, libatkan orang lain untuk ikut merasakan kesenangan itu.

Kedua, pelajar memiliki respon kreatif terhadap perayaan yang monoton. Mereka beranggapan bahwa ide-ide kreatif sangat dibutuhkan untuk melahirkan nuansa perayaan yang berbeda dari sebelumnya. Bentuk-bentuk kreatif itu sekaligus akan mencerminkan kualitas karakter SDM pelajar itu sendiri.

Ketiga, pelajar memiliki idealisme. Mereka memiliki konsep-konsep atau nilai kebenaran yang berdaya guna. Sayangnya, idealisme-idealisme ini jarang dikembangkan di dalam kelas. Sekolah sering mengerdilkannya dengan ruang dan iklim yang kurang kondusif.

Keempat, pelajar memiliki keberanian dan komitmen untuk berbuat baik. Bertindak berbeda (walaupun baik/ benar) dari biasanya membutuhkan keberanian, karena seringkali akan mendapat cemooh, cibiran, cap pencitraan dan lain sebagainya. Risiko ini pasti sudah dipikirkan oleh para pelajar SMAN 1 Amlapura kemarin. Mereka membuktikan bahwa remaja berani memberi atau menjadi contoh positif dengan segala konsekuensinya.

Kelima, menghapus image negatif perayaan kelulusan. Kesan hura-hura, brutal, tidak tahu aturan, ikut-ikutan dan tidak kreatif menjadi cair ketika sekelompok pelajar dari SMAN 1 Amlapura mampu merayakannya dengan ramah dan humanis. Artinya, tidak benar image negatif itu ditujukan kepada para pelajar. Ada sekelompok pelajar yang memiliki karakter positif dalam merespon perayaan kelulusan (kebebasan) itu.

Agar semakin banyak jumlahnya, mereka membutuhkan stimulus dan dukungan dari berbagai pihak baik dari sekolah, dinas pendidikan, masyarakat, para nitizen, dan media massa. Elemen-elemen ini harus saling mendukung baik secara material maupun moral, sehingga perayaan yang bersifat positif dijadikan tren di kalangan pelajar.

Para nitizen dan media massa harus berperan aktif menyebarluaskan bentuk-bentuk kegiatan kelulusan yang positif untuk menenggelamkan informasi-informasi perayaan yang bersifat negatif. Jika dibiasakan, kita yakin para pelajar akan terpacu untuk merancang (merespon) perayaan-perayaan kelulusan yang lebih kreatif dan berdaya guna.

Dalam konteks inilah, peran sekolah, pemerintah, dan masyarakat sangat dibutuhkan. Ketiga komponen ini dapat dijadikan mitra diskusi oleh pelajar untuk merancang format kegiatan kelulusan yang lebih kreatif dan inovatif. Hal ini bertujuan untuk menemukan “bentuk-bentuk ekspresi” yang relevan, sehingga ke depan seremonial kelulusan kian mendapat simpati dari masyarakat. [T]

Tags: baliPendidikanperayaansiswaSMAN 1 Amlapura
I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Agus Wiratama || Ilustrasi tatkala.co || Nana Partha
Esai

Niat Baik Mahasiswa dan Pesan Orang Tua

Setelah pulang dari Singaraja, Grudug tiba-tiba tergelitik oleh perkataan, “Mahasiswa pulang kampung pasti lupa dengan idealismenya”. Istilah yang agak kasar ...

July 6, 2020
Ilustrasi: Surya Pratama
Esai

Jangan Terlalu Serius, Hidup itu Lelucon…

“Tuhan itu selalu bercanda! Perhatikan hidupmu sendiri – itu adalah sebuah lelucon. Perhatikan hidup orang-orang lain dan kau akan menjumpai ...

February 24, 2018
Wayan Redika, Tumbal dan Ikan
Puisi

Acep Zamzam Noor# Kwatrin Kegembiraan, Kwatrin Kesedihan

KWATRIN KEGEMBIRAAN 1 Sebelum ucapan selamat petang terdengar Aku tahu angin lebih dulu mengucapkannya Dari luar jendela. Kau cukup tersenyum ...

February 2, 2018
Foto: FB/Made Sudirta
Esai

Petani, Siapa sih Mereka?

MERUJUK KBBI, lema ‘petani’ berarti orang yang pekerjaannya bercocok tanam. Mulia betul batasan itu. Namun kenyataannya jauh panggang dari api. ...

February 2, 2018
Esai

Titip Rindu untuk Pengantin Generasi Muda Hindu

Pengantin generasi muda Hindu yang ideal adalah pengantin yang sudah menempuh pendidikan yang cukup sebagai bekal memasuki tahap berumahtangga. Bekal ...

May 30, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Pemandangan alam di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. [Foto oleh Made Swisen]
Khas

“Uba ngamah ko?” | Mari Belajar Bahasa Pedawa

by tatkala
January 22, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

KEMUNCULAN SERIRIT DALAM PETA BALI UTARA | Kilas Balik Kemunculan Desa-Desa Buleleng Barat

by Sugi Lanus
January 22, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1354) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (310) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In