Waktu menunjukkan pukul 6.30 ketika saya hadir di banjar itu. Masih pagi. Beberapa lampu di depan rumah penduduk masih kelihatan menyala, walaupun matahari pagi sudah mulai menerangi. Saya memarkir mobil di depan rumah Pak Made Susana. Segera berkemas. Memakai sepatu cleat. Mengeluarkan sepeda gunung dan perlengkapan dari mobil.
Pintu gerbang rumah Pak Made Susana terbuka. Tuan rumah tersenyum hangat menyapa. Ternyata di dalam rumah sudah ada Pak Wayan Tirtayasa, peserta yang jauh-jauh datang dari Ubud. Beliau duduk santai di bale bengong, menyeruput kopi sambil mendengar gemericik air kolam. Kami bersalam-salaman, seperti beberapa sahabat yang bertahun-tahun tidak jumpa.
Para peserta Gietman sudah mulai berdatangan melewati rumah Pak Made Susana. Mobil pick up membawa beberapa sepeda gunung. Ambulan, serta mobil patwal dari polsek setempat, lewat. Banjar Selemadeg Bale Agung itu menjadi ramai, bergemuruh sepagi itu. Mobil-mobil parkir di pinggir jalan, mengular ke utara.Titik kumpul di wantilan banjar, karena peserta akan dilepas di depan wantilan. Kami menyeruput kopi susu di bale bengong Pak Made Susana, ngobrol ngalor-ngidul, dari tema sepeda sampai tanaman-tanaman. Kebetulan di rumah Pak Made ada banyak tanaman buah dalam pot.
Kemudian kami pun bergegas ke wantilan, karena ada sejumlah urusan administrasi, seperti menanda-tangani daftar absensi yang sudah tercetak nama para peserta, sambil mengambil nomer urut untuk dipasang di stang sepeda dan punggung. Peserta semakin banyak yang datang. Di daftar ada 125 orang peserta. Sungguh ramai dan meriah. Acara itu menjadi tontonan warga.
Para pemangku berdiri berjejer di depan pura Puseh, membawa tirta dan bija. Satu per satu para peserta nunas, sambil berdoa dalam hatiagar selamat nanti menempuh medan. Tirta yang segar dengan harum bunga menyusup ke kerongkongan. Kemudian pikiran jadi tenang setelah kami menelan bija, butir-butir beras yang penuh makna dan simbol. Beberapa butir bija kami letakkan di ajna cakra, di antara dua alis agak ke atas.
Kami berbaur di kerumunan para peserta. Ketemu dengan teman-teman lama seperti: Gede Sucaya, Gede Dika, Made Rendra, Putu Arief Sudarsana, Agus Erwan Diputra, Yudik Setiawan, Wayan Wisnaya, Gede Cakra, Kadek Dwipayana, Pak Made Suma, Agus Rumaja dan banyak lagi. Ngobrol dengan hangat sambil beberapa kali sefie.
Kira-kira pukul 7.30, ketika semua peserta sudah betul-betul lengkap dan menanda-tangani daftar hadir, peserta Gietman Mountain Bike 2019 dilepas oleh Kelihan Adat banjar Selemadeg Bale Agung itu, didampingi Pak Wayan Kertayasa sebagai Ketua Yayasan Atlit Nusantara yang menggagas acara.
Peleton sepeda bergerak ke utara, dipimpin Agus Erwan Diputra sebagai marshal. Nampak gunung Batukaru yang biru jauh di utara sana, berdiri gagah. Cuaca cerah dengan langit biru. Pagi yang sejuk. Di sepanjang jalan melewati perkampungan, kami jadi tontonan warga yang ramah. Anak-anak kecil melambaikan tangan dengan raut wajah gembira. Ibu-ibu ngumpul di warung menonton kami. Seseorang mengambil video secara sembunyi-sembunyi dari balik pagar rumahnya, lewat sebuah smartphone.
Jalan desa itu mulus ke utara. Di kanan-kiri nampak hamparan sawah, berlembah-lembah, dengan padi yang sudah mulai merunduk dan menguning. Sebentar lagi akan panen. Inilah Tabanan, sebagai lumbung padinya Bali. Petani-petani semangat menanam padi, walaupun harga gabah sering jatuh.
Peleton berbaris rapi ke utara. Di kilometer 3, tiba-tiba seorang peserta mendahului marshal. Dia kayuh sepeda sekencang-kencangnya meninggalkan rombongan. Padahal tadi pihak panitia sudah memberi saran, jangan dulu ngebut di awal, karena medan sepanjang 38 kilometer itu sangat berat. Betul saja, kira-kira di kilometer 6, saat medan sudah mulai menanjak, ada jalan yang terputus sehingga kami harus menggendong sepeda melewati sungai, peserta yang ngebut tadi itu duduk di rumput dengan napas terengah-engah. Makanya, bersepeda itu tidak perlu emosi, jangan kebanyakan show…hehehe
Di kilometer 8 ada sebuah tanjakan curam yang panjang. Jalan menuju Desa Pupuan Sawah. Betul-betul sebuah tantangan kardio. Saya berusaha menaklukkannya. Pelan-pelan saja, akhirnya bisa sampai di atas, walaupun tadi jam tangan saya sempat bergetar memberi peringatan bahwa saya telah melewati batas heart rate.
Iya, bukan Gietman namanya kalau medannya biasa-biasa. Ini bukan acara fun bike untuk pemula. Di daerah Pupuan Sawah itu banyak tanjakan. Tanjakan seperti tak habis-habisnya. Sempat terhibur karena ada turunan, tapi beberapa menit kemudian kami harus menghadapi tanjakan lagi. Peserta banyak juga yang mengeluh, karena tak menyangka medannya seberat itu.
Di antara napas yang memburu, tubuh yang hangat dan basah oleh keringat, kalori yang terbakar, energi yang hampir habis, saya sangat terhibur ketika melihat pemandangan yang indah-indah. Menyusuri hamparan persawahan hijau dengan padi-padi setengah umur yang bergoyang-goyang dipermainkan angin. Keluar masuk tegalan kelapa, coklat, cengkeh dan manggis dengan jalan yang sudah dibeton.
Kelihatanlah efek dari kucuran dana desa yang sekarang telah merata dan menyentuh daerah-daerah terpencil. Kemudian saya bertemu sungai-sungai, yang mengalirkan airnya yang bersih dan murni. Terasa sejuk memandangi aliran air itu dengan suara gemericik, sehingga lelah pun bisa sedikit terobati.
Beberapa kali saya menyeberangi sungai yang dangkal, dengan batu-batu besar, mungkin peninggalan letusan gunung Batukaru puluhan tahun lalu. Di tengah sungai, di atas bebatuan sempat juga saya selfie sendiri, tapi buru-buru bergegas lagi, takut karena konon di sungai banyak mahluk wong samar …hehehe. Terus suara burung. Suara nongcret, sejenis serangga yang sudah langka. Paduan suara dari hewan-hewan itu menambah keindahan alam.
Di kilometer 10, rombongan kami sudah tercerai-berai. Sekarang semua biker menyesuaikan diri dengan kemampuan stamina masing-masing. Sepanjang jalan itu saya seperti orang yang bersepeda sendiri. Yang kuat-kuat sudah jauh di depan tak terkejar, sementara yang di belakang masih banyak. Saya mengamati tanda penunjuk arah setiap kali ada pertigaan, supaya tidak tersesat. Panitia sudah bekerja dengan sangat profesional. Tanda-tanda penunjuk arah begitu jelas.
Di jalan saya beberapa kali bertemu dengan para petani. Mereka ramah-ramah.
“Saking napi, Pak?” tanya seorang petani.
Saya menghentikan sepeda. “Tiang saking Marga, Pak,” jawab saya.
“Ngiring simpang!” Petani itu tersenyum ramah.
Begitulah. Keramahan menyapa kami. Alam yang murni dengan penduduk yang bersahabat. Kami melewati Desa Pupuan Sawah, Wanagiri, Kemetug Kanciana, Manik Yang, Sesandan, dengan jalan muter-muter. Naiknya menukik, kemudian menurun dengan curam.
Di Segment Stravasepanjang 3 kilometer, tenaga saya betul-betul hampir habis. Karbohidrat sudah terbakar menjadi energi, yang tersisa sepertinya masih sedikit di tubuh. Untunglah tadi sempat mengambil logistik di check point pada kilometer 18, dua buah pisang dan sekaleng Pocari Sweat.
Para peserta memacu sepedanya di Segment Strava ini, karena siapa yang finis dengan waktu terpendek, dialah pemenang. Strava adalah aplikasi bersepeda yang terhubung dengan GPS. Saya memang tidak ikut balapan. Rasanya bisa finis dengan sehat saja, itu sudah cukup. Biarlah yang kuat-kuat mengadu otot, stamina dan napas. Saya mengambil jalur kiri, memberi jalan para atlit itu balapan. Jalur di Segment Strava ini lebih parah lagi. Jalannya menanjak tak habis-habis. Saat itu sekitar pukul 11 siang. Matahari mulai menyengat. Tapi dengan kerimbunan pohon-pohon di kanan kiri, kami pun terlindung dari panasnya sinar matahari.
BACA JUGA:
Setelah melewati Segment Strava, jalannya mulai datar. Sebuah tanda panah berisi red line bertuliskan Polygon dari sponsor memberi arah kanan. Jalan pun mulai menurun. Rasa lelah setelah karbohidrat terkuras, sekarang memberi kami sedikit waktu untuk mengistirahatkan tubuh. Menurun dan menurun. Tapi hati-hati, jalan beton yang berlumut itu licin. Seminggu yang lalu seorang panitia sempat jatuh di sini saat ngecek medan.
Melewati air terjun, saya istirahat sebentar ketika melihat rombongan Gede Cakra sedang ngopi di sebuah warung kecil. Saya beli pop mie. Lapar sudah memberi tanda di lambung. Karbohidrat yag terkuras, sekarang harus diisi lagi. Beberapa teman mandi di air terjun.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan. Saat itulah kami bertemu dengan hamparan sawah hijau yang sangat indah. Terasering berundak-undak. Padi setengah umur yang bergoyang dipermainkan angin. Ini seperti harta karun yang tersimpan di Selemadeg ini.
Sebenarnya paket wisata sepeda bisa dibuat di jalur yang sangat indah ini. Mungkin setelah acara Gietman ini, jalur ini semakin banyak dikunjungi para penghobi sepeda. Dan paket wisata pun bisa dijual kepada para wisatawan, sehingga mereka bisa mengunjungi Bali dengan banyak pilihan dan tujuan. Memang paket wisata bersepeda sekarang sudah semakin marak dengan jalur Ubud dan sekitarnya, tapi belum ada yang menyentuh Selemadeg. Padahal kecamatan di barat Tabanan ini menyimpan potensi pariwisata yang bisa diunggulkan.
Beberapa menit kami di sini. Selfie bersama-sama. Menikmati keindahan ciptaan Tuhan , sambil menghirup oksigen yang bersih. Sejuk dan segar. Pemandangan yang membuat hati tersenyum. Semoga saja sawah-sawah itu tetap terjaga seperti sekarang. Sebab sawah adalah masa depan kita.
Sedikit menanjak di Desa Manik Yang, kemudian kami meluncur ke selatan dengan jalan hot mixyang mulus dan menurun. Tiba di wantilan Banjar Selemadeg Bale Agung itu kembali. Membuka makan siang bersama-sama. Panitia tak henti-henti mengingatkan kepada kami agar menjaga kebersihan, tidak membuang sampah sembarangan, apalagi sampah plastik yang sangat merusak lingkungan. Karbohidrat dan protein kembali terisi ke tubuh saya yang betul-betul kelelahan. Irisan semangka yang menyegarkan kerongkongan. Sekaleng Pocari Sweat untuk mengembalikan ion tubuh.
Nama-nama juara di Segment Strava diumumkan oleh panitia. Ada juara di kategori Elite, Master dan Junior. Waktu menunjukkan pukul 1 siang. Di akhir acara Pak Wayan Kertayasa mengucapkan banyak terima kasih kepada para sponsor seperti: Polygon, toko sepeda Rodalink Denpasar, Coco Group, Bank Woori Saudara. Atas kerja sama para sponsor, acara Gietman Mountain Bike 2019 tersenggara dengan sukses. Dan juga Pak Wayan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Kelihan Adat Banjar Selemadeg Bale Agung, seluruh warga, pecalang dan para pemangku pura, serta para kru Gietman Foundation. [T]