Suatu hari ketika berangkat ke Singaraja, saya mengenal sebuah lagu yang membuat saya merasa tenang. Di jalan, berulang-ulang lagu itu saya putar dengan headset. Beruntunglah, lagu itu berdurasi panjang dengan nada berulang menciptakan suasana seperti mengajak saya terbang.
Ketika di jalan itu pula saya baru sadar, bahwa lagu yang saya putar itu telah membuat pandangan saya jadi berebda, terutama ketika memandang sekeliling Bedugul. Berdasar pandangan saya, kawasan wisata yang masuk Kabupaten Tabanan itu jadi punya nilai beda dari biasanya.
Rupa-rupanya lagu membuat sesuatu yang biasa dijumpai menjadi berbeda atau justru terlihat baru.
Hal seperti itu pula saya rasakan ketika sedang menonton pentas puisi penyair Mira MM Astra serangkaian acara Mahima March March March di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Minggu 31 Maret 2019, malam. Mira mementaskan puisi-puisinya yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi Pinara Pitu terbitan Gambang.
Dalam pementasan dan pembacaan yang disiapkan dengan sangat serius itu, Mira seperti mengajak saya dan penonton lain menikmati puisi dengan nuansa yang berbeda dari satu momen ke momen yang lainnya. Itulah sebabnya, seorang teman di samping saya bengong. Lalu katanya, ia mengkhayal setelah mendengar puisi dan music dalam pentas itu.
Saya bertanya pada teman itu, dan dia berkata, “Saya seperti diajak terbang untuk melihat sesuatu dengan nuansa yang indah.”
Puisi yang dibacakan Mira memang membantu menuju visual yang diciptakan masing-masing penonton. Mungkin visual itu tercipta dari endapan pengalaman diri penonton yang tiba-tiba bangkit ketika bersinggungan dengan musik dan kata-kata puisi yang dipentaskan Mira. Pengalaman itu menciptakan visual, juga menciptakan narasi.
Dengan sumringah, saya seperti mempertegaskan sesuatu pada teman itu, bahwa saya sebetulnya juga mendapat pengalaman yang sama dari pementasan Mira. Saya seperti diajak terbang melihat gunung atau sekadar mencipta keindahan air mengalir.
Pada awalnya, saya cukup terkejut dengan persiapan property panggung yang begitu banyak dan saya pikir sangat serius. Sebuah dulang dengan hiasan bunga dan rangkaian dupa di depannya. Begitu pula panggung yang ditebari bunga berwarna merah muda.
Tentu saja semua itu dibuat bukan tanpa alasan. Semua itu menciptakan narasi sendiri yang mengantarkan imajinasi penonton yang saya yakin berbeda antara yang satu dan yang lainnya. Aroma dupa menjadi jalinan narasi yang menciptakan makna baru ketika dipertemukan dengan pembacaan puisi serta musik seperti yang saya sebut sebelumnya.
Rasanya, hiasan panggung yang seperti itu akan memakan Mira bila saja ia sendiri tidak memoles dirinya dengan kostum. Tentunya Mira yang memang punya pengalaman di dunia panggung telah memikirkan itu, kostum yang bagi saya mirip dengan putri pada film-film kungfu Cina sangat menarik ketika disatukan dengan keadaan panggung yang seperti itu.
Awalnya Mira berjalan dari para penonton menuju panggung dengan sangat perlahan dan dengan gaya tari Bali. Kemudian dengan wajah ditutup kain seperti kain pengantin, Mira memainkannya seperti memberi hidup pada kain itu yang kemudian ditaruh di batang pohon kamboja yang memang berdiri ajeg di depan panggung.
Tetapi, yang bagi saya paling menarik dari itu adalah ketika Mira duduk dan membaca puisi yang perlahan mengajak penonton menuju tempat masing-masing dengan pendekatan suara dan bau yang perlahan mencipta visual itu, sendiri-sendiri.
Rumah Belajar Komunitas Mahima pada tanggal 31 Maret dalam rangka acara Mahima March March March itu tiba tiba berubah menjadi latar yang mengantar penonton menuju halaman masing-masing.
Di akhir pementasan puisi itu, saya sempat bertanya pada Mira mengenai latar belakangnya yang ternyata benar seperti dugaan saya. Latar belakang Mira adalah seorang yang juga bersentuhan dengan tari tradisi. Dengan gayanya bicara yang selalu berbinar-binar riang itu, ia menjawab bahwa ia memang sering menari namun tarian yang dipilih sering kali adalah tari untuk lelaki, Tari Teruna Jaya misalnya.
Pada pembacaan puisi dengan persiapan yang seperti itu, saya merasa beruntung bisa menonton. Sebab bagi saya, Mira telah berhasil mengatar saya menuju alam yang berbeda yang sesungguhnya masih ada dalam diri saya. Maka yakinlah saya bahwa dalam diri sendiri, keindahan itu ada, puisi bisa jadi salah satu jalan yang mengantarkan saya menuju alam dalam diri itu.
Akhirnya, Mahima March March March bagi saya tidak hanya memberi pengalaman berpikir, tetapi melalui pembacaan puisi ini, saya diajak menyelami diri dengan kata-kata yang menuntun tangan saya untuk sesekali menikmati endapan pengalaman yang sudah ada di dalam diri. [T]