Sial, sudah jam setengah 4 pagi. Mata ini belum juga mengantuk. Padahal, dalam sehari aku sudah masturbasi 2 kali.
Itupun yang terakhir kutunaikan agar lebih rileks dan mudah terlelap. Sekitar 1 jam yang lalu. Hasilnya nihil, bayang-bayang obrolanku dengan dia masih terus saja mengiringi. Hingga kutulis cerita ini sambil rebahan, sembari menuangkan cerita dan akhirnya ketiduran. Harapanku.
Pukul 20:00 wita HP-ku berdering, salah satu penghuni grup Compok Basi pulang dari liburannya dengan buah tangan tentunya. “Oleh-oleh Bondowoso, mari merapat”, katanya.
Sebelum menuju ke sana, aku menyempatkan mampir ke basecamp di tempat biasa aku menonton TV. Kebetulan di sana juga indekos teman sekelasku. Kulihat dia sedang sibuk menyelesaikan materi perkuliahan besok.
Gawat, dia ditemani dua laki-laki di kamarnya. Sekadar basa-basi, aku tanya bagaimana harinya, kegiatannya, bahkan perutnya pun kutanya. Kutitipkan jaket dan ransel, kupinjam motornya. Melajulah aku ke indekos Aswan.
Ada Ahmad, ponakannya, Aswan dan Halim, sedang mengobrol serius kulihat di depan kamarnya. “Eh, Mas Denok. Mari-mari” ajaknya.
Tak pakai basa-basi, kucomot saja daging tape buah tangannya dari Bondowoso. Agar sok asik dan akrab. Mereka terlebih dahulu sedang diskusi kapitalisme dengan motor drug. Aku tidak terlalu paham apa saja yang telah kulewatkan. Rasanya aku mulai fokus dengan ceritanya tentang atheis yang berujung pada perdebatan penuh makna.
“Ilmu dulu atau Iman?”
Keluarga cendekia, begitulah perdebatan di antara mereka. Aku ikut larut dalam ceritanya. Sebuah cerita kemudian diberikan untuk menggiring opiniku.
“Ada seseorang dari Sumatera telah tiba di Jawa, dikatakannya bahwa ia lebih memilih ilmu dulu baru iman. Kemudian ditanya kembali oleh rekan lainnya. Dikau dari Sumatera sampai ke Jawa, apakah mengenali kapten kapalmu? Mengenali awak kapalmu?”
Semua menyimak.
“Orang itu menjawab tidak. Maka untuk sampai di sini, di Jawa, kau sudah meyakini terlebih dahulu tanpa mengenali kapten dan awak kapal yang kautumpangi. Apakah kau akan sampai di sini kalau tak tahu asal-usul mereka, kapan kau sampai di sini kalau kau harus mencari tahu untuk itu,” ceritanya.
Sangat antusias. Aku bingung, mencari jeda untuk minta ijin pulang.
Sesampainya di rumah, aku masih terbayang-bayang perdebatan tersebut. Kurasa kalau pilihannya iman atau ilmu, jawabannya tergantung kondisi. Ilmu dulu atau Iman?
Kalau iman adalah yakin, maka ilmu adalah pengetahuan. Dulu waktu masih bocah, sering dikatakannya bahwa aku berasal dari elemen-elemen di alam ini. Sebut saja api, panas, ruang hampa, dan lain-lain.
Mana mungkin aku percaya? Mana mungkin aku meyakini hal tersebut waktu itu. Aku melihat adikku dilahirkan di puskesmas bukan di sungai atau tungku perapian dapur.
Namun kini, aku paham. Setelah melewati masa-masa sulit SMP dan SMA, setelah mempunyai ilmu, aku meyakini bahwa aku berasal dari cairan, panas tubuh, api nafsu, kerasnya otot, kadar pH yang sesuai dan ruang hampa dalam rahim ibuku.
Ajaran guru agamaku dulu benar, meskipun beliau guru agama namun beliau ternyata paham pelajaran biologi. Begitulah, diajarkannya di SD tapi yakinnya baru saat kuliah.
Mungkin dulu, saat SD, ilmu diajarkan untuk menghindar dari kata-kata porno yang bisa disalahartikan oleh bocah SD. Ilmu tentang bagaimana manusia tercipta, bagaimana seseorang menjadi janin, lalu lahir, bisa saja menjadi obrolan porno, dan menimbulkan hal-hal buruk, jika iman belum kuat.
Sebentar, aku bingung lagi. bagaimana kalau dalam membangun bahtera rumah tangga? Dengan biaya pernikahan sampai 500 juta lengkap dengan rumah beserta isinya, apakah kita menunggu menabung sampai puluhan tahun lagi untuk meminang kekasih hati?
Atau, apakah kita tahu dulu ilmu porno, eh, ilmu kawin, baru kemudian menikah?
Sial, kafein kopi sachet yang kuseduh tadi memang paten. Sing main-main, sampai subuh aku terjaga. Aku masturbasi lagi. Apakah masturbasi bagian dari ilmu atau iman? Ah, yang jelas, obrolan porno mengajarkan, masturbasi tak akan membuat siapa pun jadi hamil dan punya anak. [T]