Reuni puisi Sanggar Cipta Budaya SMPN 1 Denpasar yang bersamaan dengan peluncuran buku kumpulan puisi “Peladang Kata”, berlangsung hangat sehangat-hangatnya, Minggu, 24 Februari 2019, di Jati Jagat Kampung Puisi, Renon , Denpasar.
Alumni Sanggar Cipta Budaya datang, tentu saja termasuk pentolan-pentolannya yang kini sudah terkenal sebagai sastrawan, sebagai seniman, atau sebagai orang-orang penting pada bidang yang digelutinya. Mereka, bersama sejumlah seniman lain hadir membacakan puisi dan menyanyikan puisi.
Yang menarik perhatian, Wayan Juniarta, jurnalis Jakarta Post, yang juga alumni SMPN 1 Denpasar, menyampaikan orasi kebudayaannya. Juniarta bicara soal puisi. Bagaimana ia bergaul dengan penyair, menulis puisi, tapi tak pernah dianggap penyair. Ia pernah mengirim puisi ke Bali Post, tapi oleh Umbu Landu Paranggi, puisi itu dipasang sebagai Catatan Kebudayaan.
Soal GM Sukawidana yang mengasuh Sanggar Cipta Budaya sejak bertahun-tahun lalu, Juniarta menyebut GM adalah seorang “Nabe”. Nabe lebih besar dari seorang guru. Nabe itu mampu mengubah bukan hanya jalan hidup para murid, tetapi cara berpikir, cara pandangnya tentang kehidupan.
Saya, sebagai salah satu alumni Sanggar Cipta Budaya, tentu setuju dengan pendapat tersebut. Saya pun mengakui bahwa jalan puisi yang saya tekuni berawal dari Sanggar Cipta Budaya yang dibimbing GM Sukawidana. Ia adalah seeorang guru Bahasa Indonesia yang sangat nyentrik.
Selain itu ia pandai memantik hasrat bersastra anak-anak SMP Negeri 1 Denpasar. Bacaan wajib kami adalah karya sastra. Tempat nongkrong kami adalah perpustakaan daerah. Setiap pelajaran Bahasa Indonesia ia selalu mewajibkan kami untuk diskusi terbuka tentang nilai-nilai kehidupan dalam karya sastra. Kawan-kawan yang mulanya memandang rendah sastra, akhirnya beralih mencintai sastra.
Sepertinya karakter GM Sukawidana itu masih melekat pada dirinya meski kini ia berada di ujung tahun pengabdian. Terbukti ia mampu mengumpulkan alumni Sanggar Cipta Budaya dari berbagai angkatan. Penyair handal seperti Oka Rusmini salah satunya.
Menurut Oka Rusmini, GM Sukawidana adalah guru yang sangat berani. Contohnya pada saat Fuad Hassan (Menteri Kebudayaan tahun 1985-1993) datang ke SMP N 1 Denpasar, berani-beraninya GM Sukawidana sembunyi dan tidak menampakan muka sedikit pun.
Belakangan diketahui bahwa GM adalah Nabe yang sesungguhnya. Ia menghidupkan kesempatan untuk anak didiknya untuk tampil di depan. Ia cukup menikmati keberhasilan murid-muridnya dari jauh.
Saat itu pula Fuad Hassan memberikan bingkai bertuliskan “Hanya rajawali yang berani terbang tinggi walau sendiri!” Sampai saat ini, tulisan tangan Fuad Hassan masih terpajang di koridor sekolah sebagai tanda bahwa mereka para penulis muda pernah ada, pernah membuat Fuad Hassan hadir dan berdecak kagum. Kata-kata itu juga memotivasi penulis-penulis muda untuk berani berkarya.
Penyair-penyair seperti Oka Rusmini, Aan Almaidah, Dewa Putu Sahadewa, Chandra Yowani, Sri Jayantini, dan Ika Permata Hati dibidik oleh mata tajam Sang Nabe, GM Sukawidana.
Mereka yang semasa SMP mulai belajar menulis dan berkarya. Meski kini mereka berprofesi sebagai dokter, dosen, kepala sub direktorat, hingga penulis internasional, nampaknya kemahiran mereka menulis puisi tidak kandas. Karya-karya mereka dapat dibaca dalam antologi Peladang Kata, terbitan Pustaka Ekspresi.
Di puncak acara reuni itu, meluncurlah ucapan terima kasih penyair kepada Nabe GM Sukawidana yang telah “menyesatkan” mereka ke dalam hutan sastra.
Acara ditutup dengan pernyerahan buku antologi puisi Peladang Kata kepada Umbu Landu Paranggi. Dalam kesempatan itu saya takjub mendengar pesan Umbu. “Belajar manusia kepada sastra,” kata Umbu Landu Paranggi sekaligus menutup perayaan reuni puisi SMPN I DEnpasar. Semangat! [T]