- Judul : Bibir Yang Terikat
- Penulis : Ferry Fansuri
- Penerbit : AE Publishing
- Cetakan 1 : Agustus 2017
- ISBN : 9786026325877
- Hal : 76 hlm
- Harga : 36 ribu
DALAMkredo-nya Ferry Fansuri mengatakan bahwa pekerjaan penyair bukanlah pekerjaan para pemalas tapi percayalah pekerjaan ini akan terasa sulit untuk yang belum akil baligh dan buta huruf.
Menulis puisi memerlukan energi lebih daripada menulis prosa, itu juga yang diamini Agus Noor dalam proses kreatifnya. Begitulah juga Ferry Fansuri menjabarkan dalam kumpulan puisinya Bibir Yang Terikat, yang di dalamnya terdapat manisfestasi dari pikiran dan perasaannya.
Kegelisahan atas dirinya, Tuhan-nya, cinta sampai birahi. Hal yang terakhir itu begitu menonjol dan mencuat dalam Bibir Yang Terikat. Ini juga yang membuat terangsang seorang F.Aziz Manna.
“Masih dalam kibaran dastermu. Memperlihatkan lekuk tubuhmu. Merayu untuk memasukinya. Menyeruak dengan birahi. Kau dekatkan bibirmu ke telinga ini.
Maukah kau perlihatkan surga dunia sebenarnya?
Bersamaan daster itu jatuh lunglai tertiup angin” (hal 22)
Transkrip-transkrip tabu tersaji bersamaan sajadah digelar, mungkin sekilas membaca kumpulan puisi ini begitu mengumbar diksi-diksi berbau syahwat napsu tapi ada kesan religi serta kegundahan mendalam akan ia dan penciptanya.
“Dalam sujudku, ku mengingatMu. Terkadang hambamu ini lupa akan diriMu. Tapi sungguh dalam lubuk ini ada Kamu. Bergumul napsu kerumunan dunia. Berselimut selubung ilusi. Aku lama tanpaMu” (hal 45)
Mungkin puisi identik dengan bahasa cinta tapi jangan lupa posisi penyair juga sebagai ikon kritik pada jamannya biarpun tampak dikaburkan dengan olah kata. Ferry Fansuri juga mencurahkan kegelisahan peristiwa Mei atau sengketa Gaza, kepedulian yang tersampaikan dalam origami pedih .
“Mei membara di kaki langit. Mengempaskan jiwa-jiwa kerdil. Kota ini terbakar hancur. Hanya debu yang tersisa.
Rudal misil menari di udara. Bagai bintang berekor sembilan. Menyala berpijar menyusut. Gaza porak poranda terbelah” (hal 54)
Gaya penuturan yang sederhana dan mudah dicerna, buku bisa dilahap sekali putaran saja tapi dua kali putaran macam pemilihan kepala daerah. Tema birahi dan cinta masih begitu lekat dalam buku ini, mungkin jadi rohnya. Ada beberapa puisi yang saya sukai, salah satunya ini.
“Dalam lengungan, kau bercerita tentang mimpimu. Kita bertemu dalam labirin itu. Mulut kita bertautan. Dari mulutmu kau ucapkan. Kau merindukanku” (hal 11)
Maka karena itulah mengapa Joko Pinurbo menyarankan pada kita untuk melakukan ibadah puisi. Puisi itu menjabarkan keretakan dan kekosongan jiwa kita yang mungkin hilang tak tahu jalan pulang, tersesat di Gang Dolly yang sekarang ditutup dan tak tahu kapan terbuka kembali.
Melakonlis, pedih, rindu, galau atau gembira yang membuncah itu akan menjadi olahan yang bagus dalam dapur puisi. Ferry Fansuri berusaha tetap waras biarpun sekitarnya banyak rumah sakit jiwa didirikan, menulis puisi itulah salah satunya. Maka pulanglah membawa buah tangan puisi itu untukku. (T)