PENYAIR Angga Wijaya meluncurkan buku kumpulan puisi pertamanya yang berjudul Catatan Pulang di Rumah Berdaya, Denpasar, Sabtu, 19 Januari 2017. Yang menarik, peluncuran buku itu di-launching bersamaan dengan diadakannya pameran karya-karya seni rupa dari seniman penderita skizofrenia.
Angga Wijaya sendiri adalah seorang ODS (orang dengan schizophrenia). Ia didiagnosa menderita skizofrenia saat masih kuliah di Jurusan Antropologi Universitas Udayana. Ia meninggalkan studi dan pulang kampong ke Jembrana.
Namun ia tidak putus asa. Ia terus berjuang sekaligus berdamai dengan masa lalu. Hingga ia kemudian menemukan tempat menumpahkan ekspresinya, yakni dalam media puisi. Puisi-puisi itu kemudian dikumpulkan dengan judul Catatan Pulang.
Kenapa diluncurkan di Rumah Berdaya dan bersamaan dengan pameran karya-karya ODS yang lain?
Menjadi istimewa, karena Rumah Berdaya memakai pendekatan seni sebagai terapi dan penyembuhan. Seperti kita ketahui, pada umumnya seorang dianggap mengidap kelaianan jiwa karena ada kekacauan dalam cara berpikirnya, sehingga pola pikirnya menjadi tidak runut dan tidak beraturan. Cenderung mendahulukan emosi dibandingkan logika.
Pola pikir yang kacau melahirkan tindakan yang kacau, meledak-ledak dan kehilangan kontrol. Darisinilah kemudian muncul benturan dengan masyarakat “normal“ yang tak paham dan menganggapnya tak waras atau berbeda.
Seni, khusunya sastra dan seni lukis, dapat menjadi medium untuk penyembuhan karena sifatnya yang ekspresif, bebas dan cendrung liar. Imajinasi-imajinasi yang sulit diungkapkan dalam bentuk perbuatan dapat dituangkan dalam sebuah tulisan atau gambar, tanpa ada resiko membahayakan orang lain.
Mengamati karya-karya warga ODS di Rumah Berdaya itu saya seakan diajak berpetualang dalam nilai-nilai tanda dan simbol. Guratan-guratan yang penuh ekspresi dan emosi seakan mewakili gejolak hati dan pikiran penulisnya. Sebagai orang awan terhadap seni, sepintas karya-karya mereka tampak mirip dengan karya-karya maestro yang dipanjang digaleri atau museum. Ada perasaan heran sekaligus geli melihatnya.
Namun setelah saya renungkan ternyata ada perbedaan yang mencolok diantara mereka. Dalam karya–karya warga ODS, ada sebuah link yang terputus. Benar karya mereka penuh lompatan, namun disana seringkali tanpa didasari logika dan epistemologi berpikir. Seni tanpa logika adalah ngawur, walau ada seni tinggi yang melampaui logika atau beyond logic, tapi untuk mencapainya diperlukan pemahaman logika yang matang, bukan tanpa logika.
Sebenarnya tugas orang yang “waras”-lah membantu mereka menyambungkan link yang terputus itu, dengan begitu karya mereka menjadi bernilai, dan proses penyembuhan mereka juga dapat semakin mudah.
Apalagi di zaman teknologi informasi yang serba cepat dan serentak seperti saat ini, resiko disorientasi mental dan pikiran semakin besar. Orang kini sulit membedakan antara realitas dan fantasi, antara hoax dan kejadian nyata, akibatnya banyak orang terjebak dalam hiperreality yang semu, yang menurut Jean Baudrillard, seorang filsuf sekaligus sosiolog post-modernisme, hiperreality atau kenyataan yang semu itu, disebarkan melalui agen-agen simulakra dan simulasi, yang dengan gampang membawa seseorang menjadi bukan dirinya.
Semua realiatas dan makna telah tergantikan dengan simbol dan tanda. Dan bahwa pengalaman manusia hanyalah simulasi atau tiruan dari realitas. Kumpulan dari tiruan_tiruan itu membentuk simulacra atau gugusan/peta.
Karya-karya para ODS dapat kita maknai sebagai sebuah peta hati dan pikiran si penulis. Menyusun mozaik-mozaik realitas mereka dapat memberikan gambarn tentang apa yang dirasakan , dipikirkan, bahkan lebih jauh merangkai masa lalunya. Dari sinilah penanganan dan perlakuan yang tepat dapat diambil terhadap mereka, sekaligus mengembalikan sisi kemanusian atau dehumanisasi dan denaturalisasi atau mengembalikan sifat alaminya.
Melaui senil seseorang dapat kembali pulang kedalam dirinya, mengenali hati, perasaan, dan pikirannya. Menyusuri kembali lorong-lorong hidupnya.
Seperti yang kita jumpai dalam puisi-puisi Catatan Pulang karya Angga Wijaya. “Bahwa puisi adalah tempatnya pulang ke rumah hakiki, rumah sang jiwa”.
Melalui proses berpuisi Angga telah mampu menemukan dan merajut realitas alam dan realitas dirinya, juga merajut logikanya yang terputus. Melaui esplorasi rasa dan pencapaian ekspresi puitik yang diraihnya, dimengerti bahwa ia telah mulai mendapatkan pemahaman atas hidup dan kehidupannya.
Selamat buat Rumah Berdaya, selamat buat Angga Wijaya. (T)