DI bibir pantai, batu-batu berderet melamun memandangi lautan yang tidak terlalu gelisah. Lemparkan ke pantai satu demi satu batu-batu pipih yang berharap bisa menari di atas air. Sekali duakali masih gagal, cobalah untuk ketigakalinya, semoga berhasil. Tidak ada yang tahu, apa yang akan ditemukan ketika segala usaha dilakukan. Berhasilkah? Tidakkah? Berhasil atau tidak, itu tidak penting. Yang penting, adalah keberanian. Lebih lagi keberanian untuk meninggalkan segala yang menyenangkan.
Ombak tidak berdebur, hanya sesekali membuncah seperti ucapan selamat datang. Batu-batu masih diam, entahlah di dalamnya. Apakah batu memang selalu sedingin itu? Saya lupa memperhatikan batu-batu telah sejak lama. Tidak juga pernah bertanya, apa dia baik-baik saja? Pertanyaan semacam itu, juga patut ditanyakan kepada perahu di atas batu di pinggir pura Ponjok Batu.
Ia diam sejuta bahasa. Atau mungkin itulah bahasanya? Bahasanya adalah bahasa diam, hanya saja manusia tidak mengerti. Terlalu banyak hal yang mesti dimengerti, tidak hanya segala yang dikatakan tapi juga didiamkan. Juga sesuatu yang diam-diam dikatakan.
Tanyakan pada perahu itu ‘apa yang kau lakukan disini?’. Ia mungkin tidak menjawab, tapi jangan menyerah, tanyakan sekali lagi, ‘menunggu sesuatukah kau disini?’. Jika ia tidak juga menjawab, maka diamlah. Lakukan seperti yang ia lakukan, barangkali nanti akan terdengar berbagai jawaban. Dengarkan baik-baik bahasa diam itu.
Jangan terkejut! Jika yang terdengar adalah suara orang yang bertanya. Suara-suara yang menggema di kepala, adalah jawaban-jawaban. Jawaban-jawaban yang nanti akan nglekas [berubah wujud] menjadi pertanyaan-pertanyaan. Demikianlah, jawaban selalu ada di dalam pertanyaan. Begitu pula sebaliknya.
Jika saja perahu di atas batu tidak menjawab, carilah batu lainnya. Batu berdiri tegak dan kokoh. Tanyakan kepadanya dengan bahasa diam, ‘Siapa namamu?’. Sekali lagi, jawabannya adalah suara di kepala yang menggema, ‘Batu Berdiri’ katanya. Batu berdiri di pinggir pantai. Tapi tentu Batu Berdiri tidak hanya ada di pinggir pantai, ia juga ada di gunung. Bukankah di gunung Agung ada tempat bernama Batu Madeg? Madeg artinya berdiri.
Gunung yang berdiri tegak juga seperti batu berdiri. Ada gunung batu besar yang berdiri di ketinggian. Ada juga gunung batu lebih kecil berdiri di tempat yang sedikit rendah. Karena di tempat rendah maka disebut gunung di tempat lebah.
Lebah adalah kata lain dari rendah dalam bahasa Bali. Karena gunung itu ada di tempat yang lebah, maka disebut Gunung Lebah. Dimanakah Gunung Lebah? Ada di Batur. Gunung Batur adalah Gunung Lebah. Batur juga berarti batu. Gunung Batur seperti Batu Berdiri di tengah danau yang luas. Selain nama gunung, Batur juga adalah nama raja Bali: Baturenggong. Adakah hubungan Batur dengan Baturenggong?
Di daerah Tabanan Bali, ada juga Batu Berdiri dekat gunung Batu Karu. Ada daerah yang disebut Silamadeg. Sila adalah nama lain dari Batu. Silamadeg artinya Batu Berdiri.
Ada juga batu yang benar-benar batu, disebut Silayukti. Adakah yang meragukan sebuah batu, sehingga perlu dipertegas batu itu benar-benar batu? Mungkin maksudnya bukan sila yang berarti batu, tapi sila yang berarti perbuatan. Seperti Susila berarti perbuatan baik.
Sila yang berarti perbuatan seringkali dihubungkan dengan manusia. Melalui perbuatannya manusia dinilai, selain dari pikiran dan juga perkataan. Perbuatan itulah sikap. Mengenai sikap, ada yang disebut dengan Silasana yakni sikap duduk. Sikap itu adalah sikap duduk dengan melipat kaki. Manusia yang melipat kakinya seperti itu terlihat kokoh seperti batu!
Ada batu lain yang bisa disebut dalam catatan ini, ialah Batu Bulan. Batu Bulan dekat dengan Batuan. Batu juga ada yang harganya mahal, ialah batu permata. Permata di dalam bahasa Jawa Kuna disebut Mani atau Manik. Jika Batu adalah Mani, pikiran mengingat Kintamani. Kintamani pada masanya disebut dengan Cintamani yang berarti permata pikiran.
Cinta memang pikiran. Bagi para pecinta, sulit mengendalikan pikirannya. Pikirannya selalu saja ingin mencari juga menanti. Jika Batu adalah Manik, maka saya mengingat kata seseorang tentang Manik Candra. Manik Candra diterjemahkan menjadi Batu Bulan. Ada apa dengan Batu Bulan? Konon menurut shastranya, Batu Bulan itulah yang berhubungan dengan air.
Batu di Ponjok Batu masih diam. Apakah Ponjok Batu? Ponjok artinya tanjung. Yang disebut tanjung adalah ujung tanah, atau pegunungan yang menganjur ke laut. Ponjok batu berarti batu yang menganjur ke laut. Batu menganjur ke laut, seperti ada yang hendak dicarinya ke laut. Barangkali malah sebaliknya, ada yang dinantinya datang dari laut.
Saya membayangkan sebatang pohon kelapa tumbuh di pinggir pantai dekat dengan Ponjok Batu. Buahnya yang telah tua, menjatuhkan diri ke laut. Merelakan dirinya dibawa laut entah ke mana. Mungkin beberapa ribu tahun setelahnya, dia akan ditemukan oleh peneliti-peneliti telah menjadi batu di Ponjok Batu. Ponjok juga berarti kumpulan. Ponjok Batu bisa berarti kumpulan batu. Memikirkan batu-batu, membuat saya lelah dan ingin membatu. Tapi saya tidak ingin menjadi batu karena dikutuk ibu. (T)
BACA JUGA:
- Sekar Sumawur: Dialog Kosong Tentang Keranjang Ular
- Sekar Sumawur: Dialog Kosong Tentang Jalan Seribu Tanda Tanya
- Sekar Sumawur: Dialog Kosong Tentang Laut yang Tak Selamanya Asin
- Sekar Sumawur: Dialog Kosong Tentang Hujan Tubuh dan Macan dalam Pikiran
- Sekar Sumawur: Dialog Kosong Tentang Kemarau yang Kehujanan
- Sekar Sumawur: Dialog Kosong Tentang Tunjung Tutur Danau Tamblingan