ORANG Tabanan (sebaiknya) berbangga memiliki seorang maestro di dunia seni modern, drama atau teater dan film, yang lahir di Tabanan: I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Karena dengan begitu, Tabanan menjadi kabupaten yang punya maestro cukup lengkap dari berbagai bidang seni, misalnya Ketut Marya di bidang tari, Nyoman Nuarta di bidang patung, dan Made Wianta di bidang lukisan.
Bangga, karena di mana pun mereka tinggal, dan bagaimana pun terkenalnya Putu Wijaya dan maestro-maestro itu hingga ke seluruh dunia, mereka tetap disebut sebagai “orang Tabanan” yang bisa menularkan energi kreatifnya ke tanah kelahirannya di Tabanan.
Jika bukan mereka yang datang langsung menghembuskan napas kreatifnya ke kampung halaman di Tabanan, maka para seniman dan kreator Tabanan sendirilah yang menyerap napas kreatif para maestro itu di Tabanan. Para kreator di Tabanan tak harus mendatangkan mereka, tapi bagaimana cara menempatkan mereka sebagai Guru Drona, dan kreator Tabanan bisa belajar dengan media apa saja.
Mungkin itu yang dilakukan tiga orang dramawan muda Tabanan serta para kreator yang lain ketika menggelar pementasan monolog di Auditorium SMAN 1 Tabanan (SMASTA), Jumat 22 Desember 2017, mulai sore hingga malam hari.
Acara itu adalah salah bagian dari rangkaian Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya yang dimuali dari Singaraja. Festival itu sudah berlangsung di berbagai kabupaten dan kota di Bali, namun untuk yang di Tabanan tentu menjadi sangat istimewa karena Putu Wijaya yang 100 naskahnya dimainkan dalam festival itu memang lahir di Tabanan.
Monolog dan Lain-lain
Dalam acara itu dilangsungkan tiga pementasan monolog dari tiga dramawan muda Tabanan. Mereka masing-masing I Gusti Bagus Arya Maheswara membawakan naskah berjudul “Teror”, lalu I Gede Arum Gunawan membawakan naskah “Trik” dan Ni Made Lisa Purwanti membawakan naskah “Kursi”. Ketiganya tampil sepenuh jiwa, sehingga penonton ikut larut menjadi dirinya sendiri.
Monolog adalah seni drama atau pementasan peran yang dilakukan oleh satu pemain atau sendirian. Walau apa yang diucapkan oleh pemain tidak ditujukan kepada orang lain tetapi materi, topik dan metode komunikasi dalam seni drama ini bisa menjadi pengingat atau membawa pesan moral bagi orang lain. Ibaratnya seperti jaman now, ketika satu orang membuat status di media sosial, tetapi 12345 orang ikut terbawa perasaan (baper).
Memang, seperti dikenal banyak orang naskah-naskah monolog yang ditulis Putu Wijaya banyak mengangkat dinamika sosial, memuat kritik dan ditujukan sebagai “teror mental” bagi penontonnya. Tidak terkecuali pada malam itu, penampilan monolog yang dibawakan oleh I Gusti Bagus Arya Maheswara, I Gede Arum Gunawan dan Ni Made Lisa Purwanti mampu memukau penonton dengan hebusan pesan moral yang teramat dalam.
Mas Ruscitadewi, dramawan dari Denpasar yang datang menonton mengatakan Arum Gunawan bermain hebat. Ia memainkan monolog Trik, permainannya nyaris sempurna, hanya di awal saja ia terpeleset, agak bingung mencari pembuka. Ia menggunakan trik ngarja (bermain arja – teater tradisional Bali). Main arjanya bagus, namun kesannya justru tidak nyambung dengan permainanan selanjutannya.
Mas Ruscitadewi mengatakan, permainan monolog dari Arum Gunawan itu adalah salah satu permainan unggul yang pernah ia tonton di kalangan dramawan muda. Hanya permainannya kurang didukung oleh lampu dan tata artistic yang memadai.
Dwi Maheswara, yang memainkan naskah Teror, menurut Mas Ruscitadewi juga bagus mainnya. Dia bermain tanpa beban, mengalir dan mengalur dan enak sekali. Hanya pembagian karakternya masih kurang kaya, dan terkesan sepotong-sepotong. Tapi untuk ukuran anak SMA, permainan Dwi Maheswara sudah bagus sekali.
Lisa Purwanti yang memainkan naskah Kursi juga bermain lumayan tanpa beban. Dia tampak sangat nyaman dengan tubuhnya. Hanya saja permainannya masih monoton, irama dan karakter-karakter yang dimainkan kurang menonjol. Kalau ada yang melatih dan benar melatihnya, ia bisa jadi aktris monolog yang hebat.
Teror dan Napas Kreatif
Para dramawan muda Tabanan itu layak diberikan penghargaan setinggi-tingginya karena menjadi semacam terompet besar untuk menghembuskan napas kreatif Putu Wijaya ke tanah kelahirannya. Para dramawan inilah yang terkena teror kreatif dari Putu Wijaya dan menembakkan teror itu lagi ke para seniman muda lainnya.
Dengan begitu, diharapkan para tokoh-tokoh seniman tua, termasuk pejabat berkompeten di pemerintahan, ikut mendukung gerakan kreatif itu agar terus tumbuh maestro-maestro baru di daerah Lumbung Beras Bali itu.
Langkah Ketut Boping Suryadi, seniman kawakan yang juga Ketua DPRD Tabanan, adalah salah satu contoh dari dukungan besar untuk gerakan kreatif yang besar. Boping adalah penggagas acara itu bekerjasama dengan Taeter Jineng SMAN 1 Tabanan.
Selain Boping, hadir juga dalam acara itu Asisten II Setda Kabupaten Tabanan I Wayan Miarsana, Kepala SMAN 1 Tabanan I Made Jiwa, Perwakilan Polres Tabanan, Pembina Teater Jineng, guru-guru, orang tua siswa, siswa perwakilan sekolah di se-Tabanan termasuk perwakilan sejumlah sanggar antara lain Sanggar Warok, Sanggar Leklok, Sanggar Natya Praja (Desa Bajera) dan Sanggar Brahma Diva Kencana (Kediri).
Nah, betapa besar dukungan itu. Semua orang bergerak, semua orang menjadi penggerak, semua orang digerakkan.
Di awal acara, I Ketut Boping Suryadi menyampaikan bahwa dirinya ikut menggagas acara ini sebagai bentuk apresiasi terhadap Putu Wijaya, maestro sastra kelahiran Tabanan. “Ini bentuk apresiasi kita terhadap sang maestro, Putu Wijaya, yang berasal dari Tabanan,” ujarnya.
I Gede Arum Gunawan mengatakan, acara Festival 100 Monolog Putu Wijaya di Tabanan merupakan pementasan naskah monolog ke 75, 76 dan 77 di Provinsi Bali. Pementasan ini bertujuan agar kita semakin mencintai tanah air, apalagi Putu Wijaya adalah seniman terkenal yang lahir dan berasal dari Tabanan. “Kita harus menghargai seniman asal daerah kita sendiri,”ujar pembina teater Jineng ini.
Lanjut Arum Gunawan, tiga naskah monolog Putu Wijaya banyak menggambarkan carut-marut dan gejolak sosial politik yang kerap terjadi di negeri ini, seperti masalah pendidikan, teror informasi, korupsi, trik dan intrik politik, perebutan kursi kekuasaan dan sebagainya.
Menurut dia, melalui penampilan seni monolog kita mencoba menjelaskan apa yang sedang terjadi kepada diri kita sendiri, namun semua itu bukan untuk kita tiru, sebaliknya dapat menjadi pelajaran berharga agar kita tidak ikut-ikutan melakukannya karena kita cinta kepada tanah air. “Melalui karya seni lah kita ungkapkan kecintaan kita pada tanah air Indonesia, pungkas Arum Gunawan.
Daya Kreatif yang Terus Berkembang
Selain monolog, malam apresasi dalam acara it uterus merambat, semakin mengalir dalam “satu jiwa” manakala Boping tampil bersama Sanggar Anak Angin membawakan lima buah lagu yaitu Matahari Telah Pergi, Mengejar Bayangan Menangkap Angin, Anak Jaman, Debu Berkabut dan Menjadi Matahari, dimana warna syairnya tidak jauh dengan “nafas” dalam naskah-naskah monolog Putu Wijaya.
Hembusan jiwa seni semakin kencang menembus relung jiwa, ketika improvisasi para sastrawan maestro Bali seperti Bawa Samar Gantang yang tampil memukau dengan puisinya berjudul “Sepeda”.
Dalam improvisasinya Bawa Samar Gantang tampil sambil menuntun sepeda ontel yang sudah 45 tahun setia menemaninya. Begitu juga Mas Ruscitadewi tampil penuh apresiasi terhadap pelaksanaan Festival 100 Monolog Putu Wijaya, khususnya bagi para penggagas, apalagi digelar bertepatan dengan Hari Ibu 22 Desember. Dengan penuh penghayatan Mas Ruscitadewi membawakan puisi berjudul “Ibu”.
Malam apresiasi racikan komunitas teater Jineng SMAN 1 Tabanan berlangsung cukup sukses. Semoga dengan seni bisa menghapus kekotoran-kekotoran dalam diri, baik kotor dalam pikiran, perkataan maupun prilaku.Terakhir sebelum ditutup acara diisi dengan penampilan band Uap Kata, band anak muda dari Bajera Selemadeg yang semakin hari terus bertumbuh. Selamat dan terus lah berkarya, bersama satu jiwa cinta tanah air (T).