Cerpen: Andika Wahyu A.P.
Marlon yang Sekarat
Pria itu, Marlon namanya, tergusur, jatuh telungkup berdarah parah di sekujur tubuhnya terutama kedua kakinya, tak dapat bergerak, seorang pria yang berdiri di sampingnya melihat dan berteriak, “Ya Tuhan, Tolong dia! Hey!”
Orang-orang dari segala penjuru datang kepadanya, ikut mengerumuninya, merekam pria itu di tengah jalan dengan smartphone masing-masing. Marlon terdiam, tersenyum dalam hatinya berdoa kepada Iblis yang setia mendengarkan di sebelahnya.
Kenyataan
Hendrik terdiam sejenak di ruangan kamarnya yang gelap, ia berdiri terpaku, “Truth or Dare?”, suara Iblis berbisik di telinganya. “Truth..” jawab Hendrik, “Kenapa kau memilih pistol?”, mendengarnya, Hendrik terdiam sejenak.
“Karena aku ingin melawanmu secara nyata, lagi pula benda itu cuma benda mati.” Hening beberapa saat, “Jadi, mungkin kita bersama bisa menghancurkannya, kawanku.” Hening kembali hingga lampu kembali menyala, dan sebuah buku suci tergeletak di samping Hendrik, hilang semua isinya, menyisakan hanya sebuah sampul tipis.
Di Balik Keheningan Tulisan-tulisan
Pria itu duduk di tengah ruangan membaca buku hard cover miliknya, beberapa kursi yang lain di dalam ruangan juga telah terisi, semuanya nampak mengantuk menunggu kereta terakhir datang, tertidur tertunduk di kursinya masing-masing, beberapa kali aku mengajaknya mengobrol, ia tetap tak menjawab dan tetap fokus pada bukunya. Lantas kugunakan headset dengan musik di telinga, sepertinya terlampau keras suara musikku terdengar olehnya, dan aku tak menyadari hal itu. Ah, tak terasa aku tertidur, ya tertidur.
Ketika aku terbangun berdiri di depan kaca yang menembus ruangan dalam ruang tunggu tersebut. Nampak di kejauhan pria kutu buku itu memukul kepalaku berkali-kali dengan sampul bukunya yang keras hingga aku tewas, dan aku ditempatkan kembali di kursiku layaknya orang yang sedang tidur pulas
***
Sang Penulis terduduk diam di bangkunya di depan sebuah cermin besar yang berdiri di hadapannya, peninggalan kakeknya yang kini sedang sekarat tepat di ruang sebelah. Ia terdiam di posisinya tak bergerak sedikitpun, hingga suara radio tua memecah suasana membunyikan musik kroncong lama, dan tak lama kemudian televisi tiba-tiba menyala, menampilkan tampilan statis yang orang bilang sebagai semut yang perang, tergambar dari suaranya yang gaduh, sementara dering telephone berbunyi, ia yakin dari debt collector yang biasa menagih hutang-hutang keluarganya selama ini, karena itulah tidak ia jawab.
Sebuah revolver berisi peluru penuh di silindernya ia raih dari dalam saku, yang kemudian akan ia tembakkan pada cermin itu, hingga pecah dan bayangannya hilang, hilang tak berbekas. Kini ia terbujur kaku di hadapan cermin yang berdiri tanpa kaca, berlubang dahinya berlumur darah, tatapannya kosong. Layaknya mereka yang berada di sisi lain cermin itu, Ayah, Ibu, dan Kakeknya yang sedang mati sekarat karena luka tembakan di sekujur tubuhnya.
Sementara itu, tukang pos baru saja melemparkan koran pagi hari ini di depan rumah Sang Penulis, dimana kisah Trilogi Budak Setan telah dimuat di kolom cerita pendek koran itu, dan tak jauh dari sana, tukang pos itu terenggut nyawa oleh truk pasir yang meremukkan tulang keringnya, sementara di dadanya, sebuah name tag menempel, bertuliskan namanya, “Marlon”. (T)