Tak ada alasan lagi untuk berjumpa. Kini kau menjelma burung plastik yang hendak terbang entah ke mana. Api telah membakarmu, membuatmu kusut bagai benang yang tak terurus. Kau melayang, mengikuti isyarat asap yang seolah-olah mengajakmu menuju senja. Kini tak ada alasan untuk berjumpa, kau terbang dan siap memilih ranting baru sebagai tempat menikmati belaian angin.
Kau tak pernah bercerita tentang semua ini. Alam pun tak memberi tanda bahwa waktu akan menghampirimu. Dalam keheningan, kau memilih untuk diam-diam mejelma sebagai burung plastik. Kau lewati ranting kayu yang begitu kekar di bukit-bukit itu. Bahkan ketika hari semakin gelap, kau tembus pekatnya kabut tebal. Kau terbang perlahan, hingga akhirnya tak terlihat. Api yang membakarmu pun perlahan menutup mata hingga akhirnya benar-benar padam.
TULISAN itu adalah tulisanku yang terakhir untuk ayah. Beberapa tulisan yang lain telah kuletakkan dalam kotak biru. Kini kotak dan seluruh tulisan telah terbungkus dengan selembar kain putih usang yang diberikan oleh mendiam nenek. Kain itu selalu kusimpan dengan rapi. Kain dan kotak yang dipenuhi tulisan itu adalah hal yang berharga. Kain itu konon memiliki peran penting dalam hidup nenekku. Sedangkan kotak itu adalah saksi betapa jengkelnya aku dengan ayah yang tak pernah kusampaikan. Namun, surat terakhir adalah rasa yang kuperas untuk menyampaikan betapa aku masih merindukannya dalam kebencian.
Bagaimana mungkin aku menyampaikan kebencian kecuali kutumpahkan di atas kertas putih yang kusiapkan untuk memuntahkan benci. Aku tak berani padanya, sedari kecil aku telah diperlakukan seperti I Putih. I Putih adalah anjing kurus peliharaan keluarga kami yang selalu siap dipukul atau ditendang ketika ia masuk ke ruang tamu. Aku benar-benar diperlakukan seperti hewan peliharaannya itu. Perlakuan-perlakuan kasarnya kerap kali membuat air mata ibu menetes begitu deras. Ibu pun demikian, sering mendapatkan hal yang serupa denganku.
Pernah suatu kali aku dan teman-teman sebayaku bermain layang-layang di sebuah sawah dekat rumahku. Kami larut dalam permainan itu sehingga waktu tak kami kenal. Langit merah tak kami hiraukan. Raungan perut lapar pun kami tahan. Namun bintang-bintang yang terlihat begitu cerah,baru mengingatkan kami akan jam pulang.
Ketika itu aku masih duduk di bangku SMP, aku lupa, tepatnya kelas berapa. Dalam perjalanan pulang, dengan bahagia kami bercerita tentang layang-layang yang kami pungut di hamparan kuning jerami sawah. Sesampainya di rumah, kulihat ayah berdiri di depan pintu, matanya yang besar membuatku ragu mendekatinya. Dadanya yang membusung memberiku tanda bahwa ayah akan melakukan hal buruk. Melihat langkahku yang terpatah-patah ia melangkahkan kakinya seperti ia melangkahkan kaki ketika sedang melaksanakan upacara bendera di kantornya. Aku sudah menggigil ketakutan.Namun, aku hanya bisa diam dan menundukkan kepala dengan rambut agak kuning kering yang dilukis cahaya matahari.
Ketika ayah sudah berada di hadapanku ia diam sejenak melihatku seperti binatang buas yang siap menikam mangsa. Waktu pun serasa berjalan sangat lama. I Putih yang mengikuti langkah ayah hanya bisa menjulurkan lidahnya tanpa paham dengan ketakutanku. Setelah itu, dengan sangat cepat seperti peluru, tanganya menyambar pipiku. Tidak hanya itu, tangannya yang kekar dan kasar juga menarik leher bajuku tanpa tahu rasa sakit apa yang telah ia buat. Ia menyeretku ke kamar mandi. Tanpa sepatah kata pun, ia menyeretku seperti ia menyeret para pelaku kejahatan yang tak mendapat ampun. Ia membawaku ke kamar mandi, kemudian memasukkan kepalaku dalam bak beberapa kali. Ia seakan tuli, tak mendengar jeritan tangisanku yang sengaja kuperkeras. Hal itu tak hanya sekali dilakukan, namun berkali-kali ia mencelubkan kepalaku sambil menjambak rambutku.
Sambil menangis karena ketakutan dan sesak hidungku dimasuki air, kulihat ibu mengis kecil. Ia seperti menyembunyikan tangisannya dari tatapan ayah.
Perlakuan itu, bukanlah satu-satunya. Ketika aku sedang bermain di rumah teman, ayahku juga pernah membawakanku selang dengan panjang sekitar satu meter. Ketika itu, lagi-lagi matanya melotot merah. Kumisnya yang tipis seakan ikut menertawaiku dan mendorong ayah untuk melakukan sesuatu. Aku hanya diam, tak mampu berlari untuk menghindar karena ketika melihatnya dengan keadaan seperti itu, kakiku yang gemetar seakan melumpuhkan otot-otot. Ketika itulah aku memahami betapa sakitnya ketika selang itu menghujam pantatku berkali-kali. Seperti biasanya, ayah tidak berpikir tentang panas dan sakitnya hujaman selang itu. Kemudian aku diseretnya sampai di rumah.Beberapa tetangga melihatnya, namun dengan langkah yang tegap dan gagah ayah tetap berjalan tanpa menghiraukan kata-kata para tetangga yang melihat.
Aku tak paham dengan ayah. Dia adalah orang yang sedikit berbicara denganku atau pun dengan ibu. Tetapi ketika ia marah, ia akan melakukan hal-hal keji seperti yang dilakukan pasukan militer pada aktivis mahasiswa pada era diktator sekitar tahun 80-an.
Pada saat itu, dalam rentang waktu seminggu, ayah selalu menyempatkan diri untuk bertengkar dengan ibu. Alasannya tak karuan. Ketika hal seperti itu terjadi, aku hanya akan diam di kamar, sambil ketakutan.
Pintu adalah sasaran yang tak pernah luput dari tendangan maut ayah. Setelah itu, piring dan benda-benda lain akan terdengar meramaikan rumah kami. Hanya pada saat seperti itu, ibu berani menangis dengan suara yang sangat kencang. Pertengkaran itu akan reda ketika tetangga di sebelah rumah kami datang untuk meleraikan mereka.
Semenjak aku berumur 23 tahun ayah mengalami perubahan. Bagai senja berganti malam. Ketika itu ia mulai ditugasi menjadi intel. Ketika itu pula ia mulai tinggal di kota sendirian. Hidupku memang terasa aman tanpa kehadiran lelaki itu. Tetapi kota telah mengubahnya menjadi orang yang asing.
Ibu yang semula resah dengan hal-hal yang dilakukan oleh ayah, kini mulai merindukannya. Setiap hari ia selalu menelpon ayahku. Biasanya, ketika jarum jam sudah menunjuk pukul 19.00 ibu akan memeriksa HP kemudian menelepon ayah. Tak jarang ayah mematikan telepon ibuku dengan alasan ia sedang bertugas. Dan terkadang ketika ayah mengangkat telepon itu, terdengar suara musik yang begitu keras sehingga perbincangan yang mereka lakukan hanya sebentar.
Enam bulan setelah ayah ditugaskan menjadi intel, ia pulang dengan raut wajah yang berubah.kini tubuhnya pun terlihat lebih kurus. Namun, perutnya bertambah buncit. Matanya yang tegas, kini terlihat sangat layu dan kusut. Pun tatapannya yang kosong. Tangannya yang kekar, kini seperti mengerut. Begitu pula kakinya. Bahkan, rambut yang dulunya selalu rapi, kini disapu habis. Aku tak menghiraukan hal itu, yang ku tahu, lelaki kasar itu telah berubah menjadi orang yang lebih santai dengan bola mata yang tak sebesar dulu.
Ketika itu, ayah hanya singgah di rumah untuk beberapa jam saja. Mula-mula ia pergi ke dapur untuk makan.kemudian duduk di depan rumah sambil menikmati kopi yang dibuatkan ibu. Lalu ia merogoh saku celana jeans yang digunakan. Ia mengmabil sebungkus rokok yang dibawa dari kota. Perlahan ia menghisap rokok dengan sangat santai. Kopi pun ia seruput dengan perlahan hingga habis. Sesaat setelah itu ia beranjak untuk membuang punting rokok yang telah habis dihisap, lalu meninggalkan kami lagi.
Suara mobil ayah sudah berderum, ia tak pamitan sama sekali dengan kami. Tetapi di dalam kamar, kudengar suara tangisan yang tersendat. Perlahan-lahan kudekati tangisan yang lebih mirip suara siulan angin. Benar saja. Ibu menangis. Ia menahan tangisan itu tanpa mau bercerita apa yang telah terjadi.
Kali ini tangisan ibu begitu lama dan kecil. Ia meringkik tak henti-hentinya. Tapi aku tahu, ibu tak akan memperdulikan aku bila aku mendekatinya ketika ia menangis. Akhirnya aku lebih memilih tidur karena menurutku, tangisan seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh. Bedanya, yang ini hanya berdurasi lebih panjang dan lebih kecil dari pada yang biasanya.
Cahaya telah melukis pagi, namun pagi ini ketika kulewati kamar ibu, kulihat ia masih menagis seperti kemarin. Kali ini ia duduk di atas kasur dengan mengenakan baju tidur sambil memegang lutut dan menundukkan kepalanya. Aku merasa hal ini semakin aneh. Perasaan itu kemudian mendorongku untuk mendekatinya.
“Sudahlah, Bu!” kataku. Aku masih tidak tahu apa sesungguhnya permasalahan ibuku, namun aku dalam hati, aku telah menyimpan kesimpulan bahwa ayah telah melakukan sesuatu. Selama ini ibu tak pernah dibuat menangis selain karena perlakuan ayah.
Ibu mendorongku dengan sangat keras sambil menunjuk pintu. Tanpa banyak bicara meskipun masih penasaran, aku keluar dengan pelan. Tak biasanya ibu seperti ini.
Siang itu adalah siang yang begitu runcing. siang yang telah menyayat-nyayat hatiku. Mataku beku tak bisa dipejamkan. Air mataku mengalir seperti aliran sungai yang tak kenal lelah. Kakiku lemas. Aku hanya bisa membenturkan kepala ke tembok sambil berteriak dengan sangat kencang.
“Bangsaaaaaat, lelaki bangsat. Apa yang telah kau perbuat?!” pekikku. Aku yakin ini ada hubungannya dengan kepulangan ayah.
Air mataku masih mengalir hingga bercampur dengan darah yang keluar dari tangan kanan ibu. Beberapa bercak darah yang menempel dan mengering pada dinding toilet, sebagian lagi terlarut dalam air di bak mandi dan di kloset. Darah itu pun masih menggumpal di tangan kanannya yang hampir putus. Luka di tangan kanannya menganga, pada luka di tangan itu aku terbayang wajah ayah yang menghantui ibuku.
Para tetangga, berdatangan medengar teriakanku, namun tubuh ibu yang kaku tak bisa menjawab atau mengusir keramaian tetangga.
Kekesalanku bertambah ketika upacara pemakaman ibu berlangsung. Ayah tak menyempatkan diri untuk pulang. Ketika aku telepon, dengan sangat halus dan terbata-bata menjawab, “Kau tak paham, ini tugas Negara….!”
Ia belum selesai berbicara, namun telepon telah kumatikan. Tepat ketika kutelepon itu, kudengar pula suara musik yang sangat keras mengiringi suaranya.
Bagaimanapun juga. Sebangsat apapun lelaki itu ia adalah lelaki yang telah menanam benih di rahim ibu untuk melahirkanku. Aku tak akan pernah mengutuknya seperti ibu durhaka yang telah mengutuk malin kundang. Yang kusesali hanyalah alur pikirnya. Apa yang telah membatukan hati lelaki itu? Begitu pikirku dalam hati, untuk menghindari kebencian yang meledak-ledak dengannya.
Keesokan hari setelah penguburan ibu berlangsung. Ia menyempatkan diri untuk pulang. Ia mengajakku ke kuburan untuk membawakan ibu banten punjung. Di sana ia menangis dengan sangat keras. Ia memegang bambu peloncor sambil berbicara dengan suara yang sangat kecil. Pada saat itu ia terlihat begitu sedih telah kehilangan wanita itu. Sedih atau tidak, yang sesungguhnya aku tidak tahu. Yang kutahu kini aku menyimpan benci walau kutahan.
Setelah selesai mengunjungi kuburan itu. Ia kembali ke kota tanpa pamit. Tanpa inisiatif ingin memberiku pesan-pesan apapun. Namun, sepuluh lembar uang seratus ribu ia taruh di atas meja lengkap dengan surat di atasnya. “Dana, simpanlah uang itu untuk bekalmu.”
Surat pendek itu membuatku bertambah jengkel. Ia mengira bahwa ia akan bebas dari tugasnya menjadi seorang ayah ketika uang itu sudah ada di tanganku? Pilihan yang sangat bodoh. Sepuluh lembar uang itu kurobek, kemudian kulempar ke tong sampah.
Sembilan bulan setelah kejadian itu angin mengantar pesan lewat semak. Ketika itu, tepat pertengahan Desember. Ketika itu aku memilih sibuk dengan laptop yang baru selesai kucicil. Pintu di luar sudah kututup. Gorden dan jendela juga sudah kupastikan tertutup rapat. Dari jendela angin malam berhembus dengan pelan. Suara jangkrik dan suara kodok bersahutan menemani kesibukanku dengan laptop dan buku-buku. Suara gemercik air kolam yang terdengar pun semakin membuatku nyaman dan tenang.
Sayup-sayup suara langkah kaki kudengar mendekat. Perlahan semakin keras. Suara itu berhenti di depan pintu rumahku. Kemudian pintu diketuk oleh seseorang. Tak biasanya ada orang yang bertamu malam hari seperti ini. Seketika aku beranjak dari kursi mendekati pintu. Kulihat lelaki dengan jaket hitam telah berdiri di hadapanku. Dengan suara yang tegas ia bertanya.
“Benar ini rumah, Bapak Made Landep?
“Iya, saya anaknya. Ada apa, Pak?” tanyaku ragu.
Setelah pria berjaket hitam itu menyampaikan dan menjelaskan maksud kedatangannya malam-malam ke rumahku. Aku hanya bisa menangis. Seketika anjing turut mmengiringi tangisan kecil itu dengan raungan. Awalnya hanya satu, kemudian anjing-anjing tetangga yang lain ikut meraung seperti sedang melantunkan sebuah kidung yang hanya dimengerti oleh para anjing.
Kini tulisan itu telah kuhanyutkan bersama abu kedua orang tuaku. Aku hanya berharap, Dewa laut turut mengirimi kotak dan tulisan-tulisanku di dalamnya. Selama 24 tahun aku menyimpan dendam namun tak pernah kusampaikan.
Satu hal yang tak akan kulupakan adalah kisah kematian ayahku yang mati karena diserbu oleh masyarakat karena dugaan sebagai pengedar narkoba dan telah berselingkuh dengan salah satu istri warga di tempatnya tinggal. Terlebih, hutang menumpuk yang tak mampu dibayarnya. Sial, Kota benar-benar telah menyihirnya. (T)