Oi adalah daya hidup. Oi datang dari mana-mana. Yang menjadikan kita sama adalah cinta dan semangat membangun organisasi. Itulah yang memacu semangatku berangkat ke Lampung ikut Munas Oi VI di Lampung, 21-23 April 2017.
Dengan sedikit merengek kepada suami karena suami kebetulan juga anggota Oi. Merengek agar ia bisa mendampingi perjalananku. Untung suamiku seorang lelaki yang selalu punya keinginan besar agar istrinya berkembang, di bidang apa pun, apalagi untuk urusan organisasi seni, sosial, dan kemanusiaan.
Suamiku bilang, “Ya”. Eh, aku malah balik bertanya, “Terus, apakah Ayang punya uang untuk bekal dan beli tiket?”
“Ayo kita bergerak. Selalu ada hasil kalau kita mau berusaha,” suamiku membakar semangatku.
Aku minta ijin Ketua BPW untuk mohon bantuan dana ke Bapak Wisnaya, Penasehat BPK Oi Buleleng. Andik, Ketua BPW Oi Bali mengijinkan. “Silahkan, Mbok, lakukan apa yang bisa dilakukan, kita mendukung sepenuhnya,” kata Andik.
Aku pun jalan dan astungkara, Bapak Wisnaya membantu dengan senang hati. Kurang 1 tiket lagi. Aku memutar otak, dan ingat temanku SMA yang kini jadi anggota Dewan. Temanku yang super sibuk itu sedang berada di luar daerah ketika kutelepon. Tapi, saat aku minta bantuan, ia langsung transfer dana ke rekeningku. Terima kasih.
Sebenarnya dana itu sudah cukup untuk berangkat ke Lampung, tapi hanya untuk berangkat saja. Untuk bekal dan lain-lain sama sekali kami tak punya.
Mungkin dilihat saking ngebet-nya aku ingin ikut Munas Oi, suami tak tinggal diam. Ia buka HP, set, set, dan menelepon salah seorang temannya untuk pinjam uang. Pinjam uang? Aku terharu. Sejauh ini aku tahu, suamiku tidak pernah mau ngomong “pinjam uang” kepada siapapun. Tapi kali ini tanpa beban ia melakukannya. Demi aku.
Pertama Naik Pesawat
Akhirnya kami berangkat ke Lampung. Sebenarnya malu juga menceritakan bagian ini. Tapi sebaiknya memang aku ceritakan. Meski agak klise, tapi “pengalaman pertama” untuk hal apa pun memang harus dicatat.
Aku baru pertamakali naik pesawat. Seperti mimpi. Sungguh. Setua ini aku memang beberapa kali melakukan perjalanan keluar daerah, tapi semuanya kulakukan lewat darat. Kalau suami sih, sudah seringkali.
Seperti mimpi. Dengan pemeriksaan yang ketat, dari terminal keberangkatan di Bandara Ngurah Rai akhirnya aku melangkahkan kaki menuju pesawat.
Mesin hidup, dan pesawat jalan perlahan menuju landasan pacu, pesawat ngebut dan cusss, lepas landas. Aku hanya bergumam dalam hati, “Biasa saja, seperti naik mobil…”.
Seperti tahu apa yang aku rasakan, suamiku nyeletuk, “Nanti kalau saat mendarat beda rasanya, buat Ade akan seperti uji nyali.”
Aku diam sambil membayangkan seperti apa. Dan satu jam dua puluh menit pesawat transit di Jakarta dan akan mendarat, terasa copot jantungku, tak sadar mulutku langsung melapalkan Mantram Gayatri. Ternyata benar, saat mendarat sedikit menakutkan. Aku sempat berfikir kalau pesawat ini remnya blong.
Seperti tahu apa yang aku pikirkan, suamiku mengalihkan perhatianku dengan selfi sebelum turun pesawat. Untungnya transit tak terlalu lama. Naik pesawat kedua aku sudah merasa terbiasa dan tertidur hingga tiba di Lampung.
Mulailah Sesi Perkenalan
Di Lampung, kudengar ada orang menyapa Midori, orang Jepang, yang menjadi wakil Denpasar. Ia memang lebih dulu jadi anggota Oi hingga sering menghadiri pertemuan Oi dan konser Babe (Iwan Fals) di seluruh Indonesia. Aku tahu, orang yang menyapa itu anggota Oi dari sapaannya yang khas. Hingga Midori memperkenalkan kami. “Saya Andre dari Bontang,” kata orang itu.
Otakku langsung berputar Bontang, Bontang, o ya Kalimantan Timur. Aku pernah baca Oi Bontang lewat kenalan di dunia maya. Dan aku ingat teman dunia mayaku yang sempat hilang dan ternyata satu BPW dengan Andre. Kami langsung akrab dengan gurauan alakadarnya karena sadar baru kenal.
Aku jadi berharap ketemu teman-teman dunia maya lainnya di Munas itu. Sampailah kami di LPMP Lampung, tempat karantina kami selama 3 hari ke depan. Sungguh tak pernah aku duga mereka semua ramah dan terasa sudah lama kenal. Tak ada rasa sungkan, canggung, dan semua rasa yang tak enak. Semua mengalir begitu saja. Sampai ada seseorang yang rasanya pernah aku lihat tapi di mana…
Aku menikmati keakraban ini sambil otakku menjelajah orang satu ini. Namanya Gus Barong. Orangnya asyik dan lucu. Dan krik..krik..krik… otakku terlintas, “O iya orang ini adalah orang yg berkostum aneh saat Bang Iwan Fals konser Jaga Bumi di Singaraja.”
Aku masih malu untuk menebaknya. Takut salah. Sampai akhirnya suamiku bilang, “Ade lupa sama abang ini?” “Nggak mungkin, Gus Barong yang lupa sama aku,” sahutku menyambar pertanyaan. Gus Barong akhirnya menyahut dan membuatku lega. “Aku nggak lupa, Mbak yang aku lihat super sibuk di konser itu. Memberi aku jatah nasi bungkus setelah aku bantu-bantu kerja.” katanya.
Dan akhirnya kami pun larut dalam cerita-cerita lucu yang pernah mereka alami bersama. Malam pertama ini Gus Barong rela memberikan kamarnya pada aku dan suamiku. Sungguh baik banget. Terima kasih Gus…
Rosana dan Iwan Fals Datang
Pagi mulai disamari panas matahari saat kami harus registrasi.
“Hai, kapan dateng? Waah, wajah baru?” Aku hanya tersenyum sambil tersipu bangga. Bang Ipul orang BPP mengingatku, menyapaku akrab sekali. Aku semakin melambung karena waktu tour Jaga Bumi di Singaraja orang ini tidak seakrab ini. Paling cuma senyum dan tak banyak omong. Tapi aku tahu Bang Ipul orang pintar karena jika ada orang yang membuat isu hoax sama Bang Iwan, dia yang paling dulu meluruskan. Mengklarifikasi dengan uraian-uraian cerdas.
Pukul 11.30 waktu setempat, Ibu Rosana Listanto, istri Bang Iwan Fals, Ketua Umum Oi, bersama Sekjen Bapak Ainu Rofik dan Bang Iwan sendiri tiba di LPMP. Dengan sukacita dan semangat yang kian meletup kami semua merasakan kebahagiaan tiada tara. Oi, Oi, Oi… betapa tak rugi aku berjuang untuk tiba di Lampung.
Saat itu, makan siang belum ditanggung. Aku dan suami menuju warung yang tidak terlalu jauh. Tinggal menyeberang langsung warung nasi. Aku pesan, “Bu, makan, dua orang ya, Bu.” “Nasinya ambil sendiri, Mbak,” kata si penjual nasi. Aku ragu, aku tanya lagi, “Lauknya, Mbak?” “Ya, ambil aja!” Sambil tersenyum si dagang nasi membuka tutup semua lauk. Aku membawa dua piring nasi ke tempat duduk suami yang sudah berbaur dengan peserta dari Jakarta Timur yang juga makan di sana. Mereka langsung akrab dan saling bertukar akun facebook.
Akupun tak ketinggalan memperkenalkan akun facebook. Dan salah seorang dari mereka bilang “Eeeh… sudah berteman”. Aku mengangkat wajahku dan kami saling mengingat. “Saya, Addian Lawula!” “Oww, beda loh di foto facebook dengan kenyataan,” candaku. Sambil makan kami diskusi ringan seputar Oi.
Sore pukul 18.00 WIB jatah makan pertama dari panitia. Kami menuju ruang makan sempat ragu tak enak karena berpikir masak dalam jumlah yang sangat banyak pasti seadanya. Ada lebih kurang 500 orang termasuk panitia yang makan. Tapi ternyata, enak luar biasa. Aku beri semua jempolku untuk tukang masak itu. Selama 3 hari dengan 5 kali jatah makan tak tercela, semua mantap.
Cuma yang susah dicari adalah kopi kesukaanku. Lampung memang terkenal dengan kopinya. Entah kenapa aku tak bisa menikmatinya karena memang tak suka kopi hitam. Aku suka kopi mainstream dengan merek tertentu (tak usahlah kusebutkan).
Tiba Saat Munas
Usai makan, kami dikumpulkan panitia, kemudian diangkut bus Trans Lampung menuju Gedung Keratun di Gubernuran. Munas dimulai. Langsung masuk dengan Sidang Paripurna I. Pembukaan baru bisa dilaksanakan pagi hari karena mengundang Pejabat nomor 1 di Lampung. Sidang pertama ini di pimpin Bang Ipul, Ketua Badan Pekerja Munas sebagai Ketua Sidang Sementara.
Aku buta dengan Munas. Tidak tahu secara detail isi acara dan rangkaiannya. Aku tak pernah ikut acara-acara seperti ini. Paling-paling jadi panitia jika dulu sering diajak suami dalam kegiatan organisasi. Sambil terus berdiskusi dengan suami aku belajar mengerti dan mengambil hal-hal yang bisa aku petik untuk menambah wawasan. Aku belum berani bersuara secara formal. Takut salah karena aku sadar Munas adalah forum tertinggi sebuah organisasi.
Tiba saatnya pemilihan Ketua Sidang Tetap. “Bali… Bali… Bali…!” Aku semangat berkoar dalam suasana gaduh. Sampai semua sepakat memilih Bali karena mungkin terpengaruh koar-koar aku dan suamiku. Dari Buleleng kami berangkat bertiga. Malam sebelum berangkat ke Lampung kami sudah merundingkan merebut Tahta Ketua Sidang Tetap dengan strategi lobi-lobi peserta. Dan sukses. Sidang digenjot tak mengenal waktu. Aku berusaha menikmati sambil bercanda dengan suami agar tidak bosan.
Sampai malam ketiga aku mulai sempoyongan. Suamiku kumat, sarafnya kaku karena AC. Aku tinggalkan sidang setelah selesai sidang komisi, sampai pemilihan Ketua Umum. Karena aku pun mulai bosan dengan usul yang kadang tak masuk akal dan terlalu mengada-ada menurut otakku. Dan aku sudah menyatakan satu suara dengan BPW, arahnya juga sudah pasti memilih Ibu Rosana untuk kembali memimpin kami. Selesai rangkaian sidang, Munas ditutup dengan konser gratis Bang Iwan di Lapangan Gubernuran.
Dari jam 10 pagi kami sudah diangkut ke lapangan walau konser baru mulai jam 3 sore. Aku memanfaatkan waktu ini untuk sekedar mencari cindera mata kenang-kenangan dari Lampung. Berkeliling lapangan aku melihat Kang Ayub Suparman. Dia adalah pimpinan tim panggung Bang Iwan Fals. Orang dekat Bang Iwan Fals yang pertama kali aku kenal saat survey konser Jaga Bumi di Singaraja.
“Kang Ayub, apa kabar,” sapaku.
“Eh, Pande, akhirnya ketemu juga, kemarin cuma komentar di facebook. Berapa orang dari Buleleng?” Akhirnya kami ngobrol akrab sambil cek sound. Tidak enak mengganggu aku melanjutkan keliling lapangan sambil sesekali membuka HP. Dan cring, “Bunda di sini juga? Aku pengen ketemu!” Aku membaca inbox teman facebook lain yang juga ikut Munas. “Yap, kita ketemu di LPMP aja ya,” balasku senang.
Kenangan Berharga
”Yuk, lihat t-shirt Munas,” ajak suami menuju lapak yang dibuka di lapangan.
Di lapak kami ngobrol seakan sudah lama kenal karena mereka, para pedagang itu juga anggota Oi. Aku bersyukur masih banyak orang-orang baik yang aku kenal. Kenapa aku bilang orang baik? Mereka yang aku temui di lapangan ini tidak sungkan-sungkan langsung memberi kami kenang-kenangan karena mungkin merasa cocok dan nyambung dengan obrolan.
Ada yang langsung mentraktir dengan memanggil dagang yang lalu lalang dan tidak basa-basi membayar semua makanan. Jarang bisa bertemu orang-orang tulus seperti itu. Itulah kenangan berharga dalam Munas itu. Sampai konser usai, kami kembali ke Asrama LPMP. Tak ada obrolan antara aku dan suami. Kami berfikir sendiri-sendiri. Walau apa yang kami pikirkan ternyata sama. Ya, tiket untuk balik pulang ke Bali. Karena weekend ditambah libur nasional harga tiket melambung. Kami sadar bekal kami menipis. Sisa uang tak cukup untuk dua tiket.
Setelah merasa lelah memikirkan sendiri akhirnya kami diskusi. Memecahkan masalah ini berdua. Solusi, solusi, solusi, akhirnya kami menunda kepulangan kami 1 hari lagi karna tiket normal keesokan harinya.
Karena sudah harus meninggalkan asrama terpaksa kami mencari Wisma yang tidak terlalu mahal untuk 1 malam lagi. Kebetulan ketemu Kang Acong, Pengurus BPP yang juga pulangnya tertunda sehari, mengantar kami mencari penginapan depan Bandara untuk memudahkan kami berangkat esoknya. Menghabiskan hari terakhir di Lampung dengan istirahat penuh. Bisa kembali pulang bertemu ketiga anakku yang membanggakan. Memberi kesempatan ibunya bahagia dalam organisasi, walau ibunya ini sudah uzur, he he he.
Munas Oi di Lampung, kupikir hanya satu jalan saja yang harus dilalui menuju kebahagiaan, kebahagiaan seorang ibu yang selama ini lebih banyak tinggal di rumah. Di situ aku melihat Ibu Rosana dan Iwan Fals yang selama ini – sebagai selebritis dan tokoh nasional – selalu menunjukkan kepada kami tentang dunia manusia di luar image glamour selebritis di TV.
Mereka menunjukkan kepada kami cara berbagi, cara untuk tetap bersama-sama di tengah perbedaan, cara merawat nilai-nilai kemanusiaan, dan cara merawat alam dan lingkungan. Bukanlah semua itu jalan untuk menuju kebahagiaan?
Jadi, semua perjuangan lengkap dengan pengalaman yang aku lalui dari Bali hingga ke Lampung lalu balik kembali ke Bali, kupikir bukan semata kulakukan karena Oi, karena Iwan Fals, atau karena Ibu Rosana, atau karena teman-teman Oi seluruh Indonesia yang baik hati dan tidak sombong itu. Ibu Rosana dan Iwan Fals tentu saja tak akan mau kami kultuskan, dan kami juga tidak sedang mengkultuskan mereka.
Semua itu kulakukan karena seseorang, termasuk aku yang hanya ibu rumah tangga ini, harus mengejar kebahagiaannya, dengan cara apa pun, lewat apa pun, sampai di mana pun. Terimakasih Tuhan. Terimakasih Oi. Terimakasih suamiku. Terimakasih anak-anakku, untuk pengalaman indah dan berharga ini. Banyak hal yang bisa aku pelajari dan sungguh aku bahagia. (T)