Catatan ini ditulis ketika Putu Wijaya mementaskan monolog Burung Merak di Open Stage Lovina, Buleleng, Bali, Rabu 25 November 2009, malam. Monolog itu dipentaskan untuk memperingati 100 hari meninggalnya Si Burung Merak Rendra. Catatan ini bisa dijadikan pemercik api semangat untuk para pemonolog yang akan meramaikan Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya, Maret hingga Desember 2017.
*
SETIDAKNYA terdapat dua pokok pikiran WS Rendra, si Burung Merak, yang seharusnya bisa dijadikan landasan untuk memperbaiki bangsa ini. Yakni, “Mempertimbangkan Tradisi” dan “Gagah dalam Kemiskinan”.
Jika harus ditambah lagi, maka sederet pemikiran lain dari Rendra bisa secara terus-menerus dihidupkan dalam setiap diri orang Indonesia. Bukan hanya untuk sekadar diingat sebagai baris puisi yang indah, namun juga dikenang sebagai peretas jalan menuju masa depan yang lebih gemilang. Antara lain, “Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-kata” dan “Kemarin dan Esok adalah Hari Ini, Bencana dan Keberuntungan Sama Saja”.
Pemikiran Rendra bisa jadi sebuah dongeng bagi anak-anak, justru karena kata-katanya mengandung daya sihir yang tak pernah lapuk. Bisa jadi juga sederet falsafah yang membuat orang secara terus-menerus berpikir tentang hidup. Atau bisa hanya sekadar tutur tak luntur, puisi bagus yang membuat seseorang jadi sekadar menggeser posisi hidupnya atau bisa menjungkirbalikkan seluruh hidup.
Dongeng, falsafah hidup, tutur, atau puisi-puisi bagus dari Rendra itu dilontarkan kembali dalam bentuk monolog oleh Putu Wijaya untuk memperingati 100 hari meninggalnya Rendra di Open Stage Lovina, Rabu (25/11/2009) malam.
Lebih dari seratus orang dari kalangan seniman, mahasiswa, pejabat dan orang biasa, menonton monolog yang diberi judul “Burung Merak” itu dengan tekun. Bahkan ketika Putu Wijaya mengajak penonton membuat yel, berteriak dan bernyanyi, maka dengan suka cita semua penonton mengikutinya. Melontarkan kembali pemikiran seseorang yang pernah hidup secara nyata dan terkenal dalam bentuk pementasan di atas panggung boleh jadi merupakan satu terobosan baru dalam monolog Putu Wijaya.
Sebelumnya, Putu memang kerap memperkenalkan berbagai tokoh dalam monolognya, semisal Merdeka dan Zetan. Namun, tokoh itu hanya rekaan, meski — seperti juga Rendra — tokoh-tokoh rekaan itu memiliki pemikiran yang ajaib dan kadang mengejutkan secara logika dan nalar. Lebih Dikenal Di tangan Putu Wijaya, pemikiran dari tokoh nyata semacam Rendra atau pemikiran dari tokoh rekaan semacam Zetan, sama mudahnya untuk diolah jadi monolog yang memukau.
Dalam “Burung Merak”, Putu memulai dengan kisah perjumpaan dirinya dengan Rendra yang meninggal dunia seratus hari sebelumnya. Putu kemudian mencomot, mengurai, mempertanyakan, menganalisa dan menyimpulkan kembali deretan pikiran Rendra yang oleh sebagian orang memang diingat sebagai sebuah landasan, tapi oleh sebagian besar yang lain pikiran itu diabaikan bahkan tak diketahui sama sekali.
Untuk penonton di Singaraja, monolog Putu Wijaya memperkenalkan lebih dari dua hal dalam sekaligus: akting dan ketokohan Putu serta pemikiran dan ketokohan Rendra. Secara emosional, di Bali Utara, Putu Wijaya jauh lebih dikenal ketimbang Rendra. Tentu karena Putu pernah tinggal, bergaul secara kreatif maupun secara sembarangan, di Kota Singaraja pada saat ia masih SMA.
Bahkan orang yang menyiapkan pementasan Putu di Singaraja notabene adalah teman dan kerabatnya, seperti Ketut Englan yang menjadi pemilik Open Stage Lovina sekaligus pengelola Yayasan Budaya Denbukit, Hardika dan Gede Dharma, serta Mang Jung yang dikenal sebagai ponakan Putu.
Di mata penonton yang lebih mengenal Putu ketimbang Rendra, bisa jadi Rendra dianggap tokoh rekaan dalam lakon baru. Rendra bisa saja dianggap sama dengan tokoh ciptaan Putu yang lain seperti Merdeka, Maya atau Zetan.
Ketika Putu mencomot pemikiran Rendra tentang tradisi yang seperti kasur tua lapuk, hal itu seperti sebuah pemikiran yang baru saja diciptakan. Maka, monolog “Burung Merak” di Singaraja punya semangat dan makna yang berbeda dengan ketika ia pentas di Yogyakarta, Bandung atau Jakarta. Di kota besar itu, di mana penonton mengenal Rendra dan Putu dengan kadar yang seimbang, maka monolog Putu bisa menjadi semacam pengingat kembali kecemerlangan kata-kata Rendra.
Di Singaraja, Putu lebih bermakna sebagai penyambung lidah Rendra. Melalui Putu, Rendra yang sebelumnya hanya dikenal melalui puisi-puisinya, kini bisa dikenal secara lebih dalam, termasuk “penderitaannya” sebagai sastrawan di negeri yang tak terlalu menghargai sastra.
Selain “Burung Merak”, di Singaraja Putu juga mementaskan monolog “Zetan” dan “Perkutut”. Dua monolog ini sebenarnya sudah beberapa kali dipentaskan di sejumlah tempat di Singaraja, namun penonton tetap saja seperti mendapatkan hal baru dari pementasan Putu, meski seniman yang lahir di Tabanan itu kini sudah menunjukkan ketidakkuasaannya melawan umur yang terus bertambah. (T)
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Bali Post 29 November 2009
Ketut Englan (budayawan dan tokoh pariwisata) dan Gede Dharna (sastrawan dan veteran) yang disebutkan dalam tulisan ini adalah pecinta tetaer di Buleleng, yang kini sudah berpulang. Semoga beliau berbahagia di surga.