SEDIH sekali karena saya hanya bisa mengetahui sedikit info saja mengenai padi lokal yang ditanam penduduk di Kabupaten Pali (Penukal Abab Lematang Hilir). Padahal, melalui pengetahuan tentang pertanian padi lokal itu, kita dapat menelusuri warisan peradaban masyarakat hilir Lematang lebih baik lagi.
Setidaknya, kita bisa tahu bagaimana masyarakat bisa survive dari masa ke masa tanpa perlu tergantung pada produksi migas dan karet. Namun apa daya, waktu berkunjung yang hanya dua hari (efektif satu hari), dan energi yang harus dibagi untuk meliput potensi lainnya, membuat saya terpaksa menunda niat saya untuk memahami seluk beluk pertanian tradisional di kabupaten itu lebih dalam. Lagipula, topik padi lokal adalah bonus yang tidak saya rencanakan sebelumnya. Karena saya tidak mengira di daerah tersebut orang masih menanam padi ladang.
Tak ayal, saya tertakjub manakala melihat ladang-ladang padi terhampar di antara barisan kebun-kebun karet dan pipa-pipa migas milik Pertamina Pendopo saat berkendara menuju Tanah Abang dari arah Modong, terus ke jembatan Payuputat, berbalik lagi menuju desa Pengabuan melalui desa Lunas Jaya. Walaupun perkiraan saya luas keseluruhannya mungkin tidak sampai 15 % dari total areal lahan padi (baik basah dan kering) di Kabupaten Pali, itu sudah cukup membangkitkan perasaan romantik saya.
Bayangan tentang Pulau Sumatra zaman kuno yang juga disebut Pulau Enjelai (Yava Dvipa) dalam episode terawal kitab Ramayana, terbentang di ingatan saya. Sebutan itu mendahului istilah Svarna Dvipa atau Pulau Emas dan juga mendahului sebutan Pulau Andalas yang lebih populer belakangan.
Tak lain tak bukan, yava atau enjelai yang dimaksud itu adalah padi ladang sebagaimana pernah saya uraikan dalam sebuah esai saya, Peta Kuno Yava Dvipa (Bali Post, November 2016). Dasarnya, karena kata enjelai juga digunapakai orang Melayu Kuno untuk menyebut padi sebagaimana disinggung Ulrich Kozok dalam kajian tentang Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah yang ditemukan di Jambi.
Barangkali, karena itu pula, perjumpaan dengan padi ladang terlalu menggugah hati saya. Serupa kisah Sugriva yang terbang dari Sri Lanka untuk mencari Shinta di atas hamparan ladang enjelai, sungai-sungai dan gunung-gunung emas di Sumatra, angan saya pun terbang mencari ‘kemegahan pertanian padi’ yang menghilang di balik pipa-pipa dan sumur-sumur tua migas yang terus berproduksi di kawasan tepi Sungai Lematang Ilir. Di balik kemewahan lapangan golf kota Pendopo, di sela-sela hamparan perkebunan karet dan sawit yang kini menjadi komoditi andalan masyarakat Sumatra Selatan.
Bukan tanpa alasan kiranya, jika saya melamunkan suatu pencapaian pertanian yang megah di kawasan Sungai Lematang bagian hilir ini tempo dulu. Naskah gelumpai terjemahan yang telah saya baca, dibuka dengan gambaran kemakmuran pertanian negeri Kebon Dang atau Kebon Undang Lemah Abang yang telah mengundang orang datang.
Begini bunyinya“mula dikate awal cerito, dalam tahun 1025 (masehi, pen) Kebon Undang dekde benamo urang urip pindah bepindah dekde betentu tani betani dekde pulo tau mereka ado urip gunduk begunduk Kebile ado banyak didapat bemakan…”
Jelas dari petikan itu tergambar faktor apa yang mendorong urbanisasi ke Kebon Undang adalah pertaniannya. Keadaan itu tampaknya tidak berubah sampai Negara Islam Kebon Undang dikatakan runtuh pada tahun 1498 masehi. Sebab pada tahun 1512, naskah mencatat ada panen raya akibat keberhasilan tani bertani di Kebon Undang.
Apatah pula lagi yang dimaksud dengan ‘tani betani’ itu kalau bukan bertanam padi. Mengingat komoditi masa lampau lain seperti damar dan kemenyan tidak lazim disebut komoditi tani betani. Melainkan hasil hutan yang diperdagangkan. Patut pula diduga, sampai trend pertanian masyarakat Sumatra Selatan beralih ke perkebunan karet di awal abad 20 (1902) , padi masih menjadi tanaman pokok utama. Baik padi lebak maupun padi talang atau padi ladang. Setidaknya itu bisa dilihat dari variasi jenis benih padi lokal yang dikenal petani.
“Petani masih menanam benih lokal seperti Dayang Merindu, Seni, dan Padi Putih untuk jenis padi beras. Atau padi pulut antaranya Padi Lupa Laki.“ kata Pak Martani (53 tahun), petani asal desa Pengabuan. Namun ia mengakui intensitas menanam padi lokal makin turun.
“Umpama istri tua, padi kampung makin ditinggalkan. Karena sekarang petani banyak mencoba benih unggul baru yang dianjurkan pemerintah. Istri baru…” katanya sambil terkekeh.
Ditinggalkan
Di kabupaten Pali sendiri, belum diperoleh data kongkrit seberapa luas padi ladang yang masih ditanam penduduk saat ini. Untuk sawah tadah hujan dan sawah lebak (sawah rawa) terdapat kurang lebih 8459 ha. Bila ditambahkan luasnya dengan program cetak sawah yang dilakukan pemerintah kabupaten baru-baru ini, berarti hanya ada sekitar 10000 ha sawah produktif di wilayah itu. Tidak berbeda jauh dengan luas kebun sawit yang mencapai 8.875 ha pada tahun 2014 lalu.
Bandingkan dengan luas perkebunan karet rakyat yang mencapai 45.868 ha, dengan total produksi 65.313 ton pada 2014. Jika harga karet mencapai rp 7000 setiap kilo gram, berarti dari karet saja, ada pemasukan ekonomi sejumlah Rp 457.191.000.000, 00. Setara dengan separo APBD kabupaten Pali mencapai Rp 704 miliar pada 2015 lalu. Apakah arti produksi padi dibanding jumlah itu?
Tak sulit ditebak, kiranya alasan ini menyebabkan masyarakat makin meninggalkan pertanian padi sebagai mata pencarian. Di desa Tempirai, rawa-rawa sekitar Sungai Penukal yang hingga 1977 merupakan lumbung pertanian penduduk desa itu, kini menjadi lahan tidur. Begitu pula kebanyakan tanah berawa di sepanjang tepi Sungai Lematang, tersia-sia dan penuh semak belukar. Padi sawah penduduk hanya terkonsentrasi di beberapa desa seperti Pengabuan, Tempirai, Modong, dan beberapa desa lain. Sementara padi talang jumlahnya semakin menipis.
Di Desa Pengabuan Kecamatan Abab misalnya, 75% petani menanam padi lebak atau padi sawah. Sisanya menanam padi ladang. Namun karena orientasi lahan kering di wilayah itu terutama ditujukan untuk perkebunan karet, padi ladang pada dasarnya hanya ditanam sebagai tanaman pendamping. Yakni memanfaatkan masa sela, sembari menunggu pohon karet tumbuh dewasa. Setelah karet dewasa, biasanya petani tak menanam padi lagi, karena daun-daunnya menghalangi cahaya matahari.
Selain alasan di atas, menurut Pak Martani (53 tahun), petani asal Pengabuan, masa panen yang hanya efektif sekali dalam setahun, membuat padi ladang bukan pilihan.
“Pada talang berasnya memang enak dan proses menanamnya juga mudah. Yakni mancah (membuka lahan), obin (membersihkan lahan yang sudah ditebangi), kemudian menugal. Namun di sini kebanyakan petani menanam padi sawah dari benih lokal ” katanya.
Nasib padi ladang di desa Pengabuan, mencerminkan pula keadaan umum di wilayah propinsi Sumatra Selatan. Walaupun statistik menunjukkan lahan sawah mengalami peningkatan, namun pertanian padi lahan kering justru sebaliknya. Itu terlihat dari kontribusi padi lahan kering yang jauh lebih kecil dibanding padi sawah. Pada tahun 2015 lalu misalnya, berdasar statistik resmi, produksi padi ladang hanya 141.427 ton. Lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 163.991 ton GKG.
Memang belakangan, di beberapa wilayah seperti Musi Rawas, upaya untuk menghidupkan kembali padi talang kembali digalakkan. Namun tampaknya belum mampu mengejar ketertinggalan padi ladang dibanding varietas unggul yang digalakkan oleh kementrian pertanian. (T)
2017
Baca laporan dari Kabupaten Pali lainnya:
# Seribu Tahun Warisan Budaya Pali (1): Bumi Ayu, Situs Hindu Terbesar di Sumatra
# Seribu Tahun Warisan Budaya Pali (2): Kebon Undang, “Negare” Islam Pertama di Sumatra Selatan