1 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Seribu Tahun Warisan Budaya Pali (1): Bumi Ayu, Situs Hindu Terbesar di Sumatra

Riki Dhamparan PutrabyRiki Dhamparan Putra
February 2, 2018
inKhas

Foto-foto: Riki Dhamparan Putra

387
SHARES

KABUPATEN Pali (Penukal Abab Lematang Ilir), Sumsel, baru berusia tiga tahun pada bulan April 2017 mendatang. Namun warisan fisik peradabannya terungkap sudah berusia lebih dari seribu dua ratus lima belas tahun. Perkiraan ini berdasarkan hasil penelitian para ahli purbakala terhadap situs-situs budaya abad 9-12 masehi yang ditemukan di “Bumi Serepat Serasan” ini.

Yang paling populer tentulah situs percandian Bumi Ayu seluas 110 ha yang berada di Desa Bumi Ayu, Kecamatan Tanah Abang, sebelah barat sungai Lematang, Kabupaten Pali. Kurang lebih lima jam dari kota Palembang, saat ini jalan menuju kawasan kompleks percandian Bumi Ayu boleh dikata sudah mulus. Baik melalui Simpang Belimbing, maupun jalan pintas melalui Cambai dan Modong hulu di perbatasan Kabupaten Muara Enim dan Pali.

Terdapat paling tidak sepuluh gugusan candi berupa bangunan bata yang sudah rusak di atas area seluas 7 ha yang sudah dibebaskan. Empat di antaranya, yakni Candi 1,2,3, dan 8 telah dipugar walaupun hanya bagian kakinya yang dapat direkonstruksi. Masing-masing tampaknya dibangun dari periode yang berbeda-beda.

Candi Bumi Ayu, Komplek Candi 3

Menurut dugaan dari Pusat Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi Nasional Palembang, situs ini berkembang terutama pada abad 10-13 dan menjadi central place dari sebuah peradaban Hindu Sumatra kira-kira dua ratus tahun setelah Sriwijaya membangun pusat wanua–nya di Palembang.

Pengujian karbon yang dilakukan Pulitbang Arkenas terhadap sampel arang yang ditemukan pada kompleks percandian itu pada 2007, menghasilkan angka tahun 1110-1330 masehi. Hal ini berarti, Candi Bumi Ayu eksis bersamaan dengan periode akhir kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang kabarnya pernah menjadi kerajaan terkuat di Asia Tenggara kala itu.

Pemetaan awal pada 1991 memastikan bahwa situs Candi Bumi Ayu dikelilingi oleh sungai-sungai, sungai Piabung, sungai Tebat Jambu, sungai Tebat Tholib, Sungai Tebat Siku dan Sungai Tebat Panjang yang masuk ke Sungai Batanghari Siku untuk kemudian menuju aliran Sungai Musi melalui Sungai Lematang.

Posisi geografisnya yang berada di lintas tengah jalur transportasi budaya dan perdagangan antara kawasan hulu dan hilir kala itu, rupanya mendorong kemajuan kawasan ini di masa lampau. Tak hanya kompleks percandian Bumi Ayu, temuan situs-situs hunian di Babat dan Modong di hilir Lematang makin meyakinkan fakta historis itu.

Bila diasumsikan kawasan hulu dan hilir Sumsel berada dalam kontrol kekuatan politik yang berbeda-beda dan masing-masing bersifat otonom, patut pula diduga kawasan Bumi Ayu merupakan sebuah inland port yang otonom pula. Sebuah ‘mandala perbatasan’ yang dibangun dengan sebuah konsep perbatasan yang canggih untuk memanfaatkan arus pertukaran ekonomi, antara kawasan-kawasan hulu dan hilir.

Apakah posisi dan peran ekonomi yang strategis itu memberi dampak pula bagi adanya kekuatan politik dan agama yang otonom di kawasan ini di masa lalu, masih menjadi pertanyaan para peneliti sampai saat ini. Namun demikian hasil-hasil pengkajian terhadap tinggalan fisik yang ada, menampilkan kekhasan kawasan Bumi Ayu sebagai kawasan budaya Hindu terbesar pada abad-abad yang tercitra sebagai era politik dan agama Budha di Pulau Sumatra.

Peneliti dari Balai Arkeologi Palembang, Sondang M Siregar, memaparkan kawasan percandian Bumi Ayu merupakan bukti adanya kejayaan Hindu di Sumatra yang berlangsung pada abad ke 9 masehi. Kawasan itu, kata dia, dibangun sebagai sarana peribadatan umat Hindu yang terlihat dari prasasti dan estetika arca-arcanya.

Di tepi sungai Lematang, ditemukan prasasti emas (suwarnapattra) yang diperkirakan berasal dari abad 10-12 masehi. Prasasti yang ditulis pada kedua sisinya itu berisi konsep-konsep ajaran agama Hindu seperti terlihat pada pemakaian kata-kata prthwi, pageni, akasa, bayu, apah yang merupakan unsur-unsur tubuh manusia. Profil Candi 1 yang berbentuk bujur sangkar, hiasan pelipit kumuda, dan padma lazim ditemukan pada profil candi-candi tua di Jawa Tengah dari abad ke 9 – 10 masehi, di antaranya candi Badut.

Peneliti dari Balai Arkeologi Palembang, Sondang M Siregar

Selain itu, aspek agama Hindu juga tercermin dari arca-arca yang terdapat dalam kompleks candi Bumi Ayu seperti arca Siwa Mahadewa, Agastya, Nandi, dan arca Sthamba yang terdapat dalam Candi 1 yang diduga merupakan bangunan pemujaan yang pertama didirikan di antara seluruh kompleks itu.

Walaupun demikian, kata Sondang pula, secara umum seni arca Bumi Ayu memperlihatkan akulturasi antara seni arca lokal dan seni arca Hindu. Ia mencontohkan salah satu arca unik yang ditemukan di kompleks Candi 1, sebuah arca singa menarik roda kereta. Penggambaran arca yang seperti itu, katanya, belum pernah ditemukan di daerah lain di Indonesia.

Di Sarnath, bekas ibukota kerajaan Acoka India Selatan, terdapat arca singa yang agak mirip, yang berdiri di atas piring pipih bergambar roda kereta yang mengilustrasikan penghormatan kepada Budha Gautama sebagai singa pengajar rohani yang dihormati di empat penjuru dunia. Namun penggambaran roda kereta juga ditemukan pada candi Hindu Tantris di Orissa, India Utara yang didirikan pada rentang abad 13-14 masehi.

 

Singa Pali Singa Akulturasi

Pada arca candi Bumi Ayu 1 tampaknya dua latar belakang keagamaan mengalami akulturasi melalui kerja seni. Menurut Sondang, roda kereta yang ditarik oleh singa melambangkan ajaran agama Hindu yang senantiasa bergerak atau berputar untuk dijalankan penganutnya. Sementara singa melambangkan penuntunnya yang cemerlang seperti Budha.

Penggambaran arca singa lain yang ditemukan di kompleks candi Bumi Ayu sangat khas dan tidak pernah ditemukan pada candi-candi lain di Indonesia. Ini misalnya tampak pada arca singa-gajah yang saling mendukung, singa yang menggenggam ular di tangannya dan singa yang tapakannya dihiasi kura-kura.

Kajian atas arca-arca ini makin memperkuat keunikan tampilan situs Bumi Ayu beserta koleksi yang terdapat di dalamnya. Baik dari segi rancang bangun, hiasan, maupun segi-segi non bangunan.

Dari segi prosesi ritual, para peneliti menemukan figur-figur yang tidak teridentifikasi dan digambarkan dalam karakter yang berbeda dengan figur-figur di candi Hindu lain di Pulau Jawa. Contohnya adalah pengiring Siwa yang berbeda dengan yang terdapat di arca candi-candi Jawa Tengah. Pengiring Siwa di Candi Bumi Ayu (Candi 1) bukan arca Ganesa dan Durga Mahesasuramardhini sebagaimana di Jawa Tengah, melainkan dua figur yang belum teridentifikasi.

Keragaman gaya dan bentuk pada ornamen hiasan di candi Bumi Ayu memberi tanda adanya keragaman kreatifitas seni berlatar belakang Hindu di Sumatra kala itu. Secara umum, hiasan yang terdapat di kompleks candi Bumi Ayu adalah kemuncak, menara hias, simbar dan bingkai. Kemuncak tidak terdapat dalam rancang bangun candi-candi Budha di Sumatra yang menggunakan stupa. Namun kemuncak pada candi-candi di Bumi Ayu, selain memperlihatkan kesamaan gaya dasar dengan candi-candi Hindu Mataram Kuno, sekaligus memperlihatkan penempatan dan fungsi arsitektural yang berbeda dengan candi-candi Hindu di Pulau Jawa.

Atas dasar itu, para peneliti berasumsi, wawasan dan praktek Hindu di candi Bumi Ayu lebih bebas dan lebih beragam dibanding di tempat lain.

Tempat penyimpanan koleksi candi

Sayangnya, kata Sondang, referensi untuk membuat kesimpulan semacam itu masih terbatas. Pengkajian terhadap situs Bumi Ayu dan juga situs-situs dari masa yang sama, yang terdapat di kawasan hilir sungai Lematang, semasa selama ini masih terkendala oleh banyak hal. Salah satunya adalah dukungan dana yang terbatas dan partisipasi yang masih kurang, baik dari pemerintah daerah maupun dari masyarakat.

Ia mengakui, belum banyak yang diketahui perihal keberadaan situs-situs yang tersebar di tepi sungai Lematang hilir hingga hari ini. Dari 110 ha luas kawasan cagar budaya itu, baru 7 ha saja yang telah dibebaskan dan kini dijadikan taman wisata. Kadang proses pembebasan terkendala akibat situs berada di kebun milik masyarakat.

Padahal, kekayaan warisan budaya yang terpendam di wilayah ini adalah harta terbesar masyarakat yang tak akan habis dan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan pemasukan ekonomi – misalnya melalui pariwisata budaya. Namun katanya, proses pengelolaan cagar budaya dan proses perawatannya haruslah seimbang dan bersandar pada kriteria yang telah ditetapkan melalui Undang-Undang Cagar Budaya no 11 tahun 2010.

Pada satu sisi, Sondang menilai, upaya pemerintah Kabupaten Pali saat ini yang membangun jalan untuk memudahkan orang berkunjung ke situs Bumi Ayu, cukup menggembirakan. Namun ia juga mengeluhkan belum terlihatnya aspek edukasi dari proses turisme yang berlangsung.

Ia mencontohkan, kompleks Candi Bumi Ayu dikonsep dalam bentuk taman, sehingga kawasan itu dijadikan ajang rekreasi oleh warga sekitar. Sayangnya, pihak pengelola tidak menyediakan buku panduan atau semacam brosur yang dapat membantu pengunjung memahami apa yang terdapat dalam candi-candi itu. Akibatnya, rekreasi ke Candi Bumi Ayu seolah tidak berbeda dengan rekreasi ke taman-taman wisata yang bukan cagar budaya.

 

Perlu Museum Di Bumi Ayu

Hal lain yang menurutnya mendesak untuk dilakukan adalah memikirkan ruang penempatan yang memadai, bagi koleksi milik Candi Bumi Ayu yang selama ini terkesan alakadar. Kepingan artefak dan arca-arca yang telah ditemukan, saat ini dibiarkan berada pada sebuah balai terbuka di Candi 3. Hingga rawan untuk rusak dan dicuri. Padahal artefak itu bernilai tinggi dan masih sedikit yang telah dikaji peneliti.

Ia berharap, pemerintah (baik pemerintah propinsi dan kabupaten) mulai memikirkan hal ini. Seperti misalnya, memikirkan untuk membuat museum di Bumi Ayu, sehingga koleksi-koleksi di candi itu tidak perlu dibawa ke museum di Palembang.

Pendek kata, kekayaan warisan budaya di Bumi Ayu, katanya, akan lebih bermanfaat bagi warga sekitar bila tetap berada di wilayah itu dengan perawatan yang memadai. Untuk mencapai hal itu, perlu ada koordinasi yang lebih intens antara pihak suaka, pengelola, pemerintah dan masyarakat sekitar. Itulah yang selama ini dirasa masih kurang.

Bukan tanpa alasan kiranya, keluhan perempuan peneliti dari Balar Palembang ini. Pada satu sisi, ia melihat pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Pali khususnya, telah menjadikan situs Bumi Ayu sebagai kebanggaan. Sementara pada sisi lain, usaha untuk meningkatkan perawatan atas cagar budaya itu tidak menunjukkann peningkatan yang berarti. Ia berharap, ke depan koordinasi yang lebih intens antara pihak suaka, pengelola, pemerintah dan masyarakat sekitar dapat berlangsung lebih intens demi meningkatkan nilai guna warisan-warisan budaya yang ada di kawasan hilir Sungai Lematang. (T)

Tanah Abang Pali, Januari 2017

Baca juga:

Seribu Tahun Warisan Budaya Pali (2): Kebon Undang, “Negare” Islam Pertama di Sumatra Selatan

Tags: cagar budayacandihinduKabupaten PaliPariwisatasitusSumatra
Previous Post

Pilkada Tak Cuma Jakarta, Bung! – Jangan-jangan Kita Tak Tahu Calon Bupati Sendiri…

Next Post

Seribu Tahun Warisan Budaya Pali (2): Kebon Undang, “Negare” Islam Pertama di Sumatra Selatan

Riki Dhamparan Putra

Riki Dhamparan Putra

Lahir di Padang, pernah tinggal di Bali, kini di Jakarta. Dikenal sebagai sastrawan petualang yang banyak penggemar

Next Post

Seribu Tahun Warisan Budaya Pali (2): Kebon Undang, “Negare” Islam Pertama di Sumatra Selatan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co