MALAM jam 21.00 saya tiba di Payakumbuh setelah sebelumnya naik travel dari Padang selama hampir lima jam. Turun dari mobil saya mencari kedai kopi. Nyeruput segelas kopi saset, saya mendengar orang-orang bercengkerama: Membaca kota yang baru pertama saya singgahi. Udara lumayan dingin. Saya berjalan di sepanjang pinggiran pasar. Orang-orang lalu-lalang. Para penjual ramai pembeli.
Tak berapa lama, pantat saya taruh di sebuah trotoar. Seorang ojek onlen menghampiri. Menawari ojek. Saya bingung mau menjawabnya. Intinya, saya mau ke tempat sebuah acara sastra, tapi tidak tau nama tempat dan jalannya. Saya kirim pesan dan telepon ke panitia tapi belum ada respon. Kepada sopir ojek yang saya hadapi, saya tidak yakin dia mengerti acara yang saya maksud. Tapi tiba-tiba dia bertanya, “Abang mau ke tempat siapa?” Maka saya pun menyebut salah satu nama panitia yang asli orang Payakumbuh.
“Iyut.”
“Iyut Fitra? Da Kuyut?”
“Betul. Uda kenal?”
Dia tersenyum. Sebelum menyilakan saya naik ke motor, telepon saya berdering. Koko, salah seorang panitia menanyakan posisi saya, OTW menjemput. Dengan rasa tidak enak, saya membatalkan ajakan ojek. “Santai saja, Bang,” katanya.
Sesampai di lokasi acara, sebuah panggung sastra sedang berlangsung. Ini malam kedua. Saya sengaja datang di hari kedua karena sesuatu hal. Di sekitar panggung, saya bertemu dengan para sastrawan. Heru Joni Putra, Esha Tegar Putra, Frisca Aswarini, Warih Wisatsana, Zen Hae, Marhalim Zaini, Wayan Sunarta, Riki Dhamparan Putra, Mario F. Lawi, M. Aan Mansyur, Hanna Fransisca, Hasan Aspahani. Usai acara, kami ke penginapan, mess Dinas Peternakan.
Sehari berlalu. Malamnya, saya jalan-jalan ke kota. Hasrat makan sate pariaman dan minum segelas telur lunas sudah. Kota Payakumbuh malam hari melek sampai pagi. Para pedagang dan ingar jalanan membuat saya mengerti bahwa Payakumbuh adalah kota persinggahan. Tiga peminta-minta mendekat.
Selesai makan, saat saya menggeretkan sebatang rokok, pengamen datang meniup saluang. Saya sodorkan selembar uang 20 ribu, tapi saya meminta sebuah lagu. Setelahnya, barulah saya bertanya namanya, tempat tinggal, dan tentang tentu tentang Payakumbuh. Ada yang membuat senang ketika ternyata di tengah dia bercerita, dia menyebut nama Kuyut alias Iyut Fitra. Orang yang dia sebut ini adalah ketua paguyuban saluang di Payakumbuh. Orang yang di acara Festival Literasi Payakumbuh, 2018 sebagai direktur.
Saya membaca sekilas Payakumbuh hanya di malam hari, karena acara festival berlangsung dari pagi sampai sore, dilanjutkan sampai dini hari. Mengenal Payakumbuh tentu tidak lama. Kedai kopi kawa penuh pengunjung. Kedai-kedai kuliner di banyak tempat juga dipenuhi pembeli. Mobil-mobil bersliweran.
Di malam selanjutnya, jadwal menjajal kopi kawa bersama teman-teman peserta dan panitia. Sebelum masuk ke kedai, saya sempatkan cari makan. Nemu penjual mie ayam. Tak apalah, yang penting bisa ganjel perut. Penjual mie ayam orang Kebumen, maka kami ngobrol dengan bahasa Jawa ngapak. “Kerja apa di sini, mas?” dia bertanya. Saya jawab bahwa saya sedang menghadiri acara festival literasi.
“Oh, acaranya Iyut?”
“Yap. Sampeyan kenal?”
“Dia yang menguasai sepanjang jalan ini. Parkir dan keamanan. Dia kenal dengan orang dewan dan orang pemerintahan. Dia yang ngurusi program desa. Semua anak muda mengenalnya. Kuyut itu ketua klub bola dan futsal di Payakumbuh.”
Kurang-lebih seperti itu cerita penjual mie ayam. Usai membayar, kami salaman kenceng. Saya menuju kedai kopi kawa. Di meja kayu, saya sempatkan ngobrol dengan Iyut Fitra. Penguasa Payakumbuh ini bercerita panjang tentang Komunitas Intro dan Payakumbuh secara umum setelah saya pancing dengan satu pertanyaan, “Siapa anak-anak muda ini (panitia)?” jawaban pertama adalah anak muda Payakumbuh yang ingin terlibat dalam festival ini. Di satu kesimpulan disebutkan bahwa Komunitas Intro adalah rumah bagi semua anak muda Payakumbuh.
Tiga hari bersinggungan dengan panitia, saya merasakan kerja-kerja anak muda yang cepat dan teratur. Profesional. Dan yang paling penting bagi saya adalah, mereka memanusiakan para peserta, hangat dan menyenangkan. Kumpulan orang-orang dalam kegiatan nonprofit yang kerja-kerjanya rapi dan cepat hanya bisa dilakukan ketika mereka sudah terbiasa bekerja bersama; saling mamahami satu sama lain; dan yang paling penting adalah peran pemimpinnya.
Saya pikir semua itu adalah modal sosial. Modal seperti ini tidak bisa diuangkan, karena saking berharganya, sehingga disela ngobrol dengan Iyut, saya berseloroh, “Aku yakin jika Da Iyut nyaleg, pasti lolos, bahkan tanpa duit.” Iyut pun tertawa. Betapa dahsyatnya Iyut bisa menggerakkan Payakumbuh dengan banyak komunitas yang disusupinya.
Siang sebelumnya, saya ngobrol dengan Aan Mansyur, bertanya tentang festival sastra Makassar yang sudah berlangsung di tahun kedelapan. Festival sastra itu dipenuhi panitia yang professional dalam bekerja. Tim yang sangat solid. Mau bekerja militan. Mendatangkan para sastrawan flamboyan, bisa bekerja sama dengan hotel, penerbit raksasa, katering, desainer dan pekerja panggung, yang semua didapatkan dengan kerja gotong royong.
Ratusan relawan mendaftar di enam bulan sebelum acara, mereka di masing-masing bidang diberikan workshop yang berkaitan dengan kerja-kerja yang akan dikerjakannya. Dahsyatnya, di saat acara berlangsung para audiens yang memenuhi benteng Rotterdam khidmat menyimak para sastrawan membacakan karya sastranya. Bagaimana festival besar itu bisa dilaksanakan dengan lancar dan rapi? Satu hal utama adalah sumber daya manusianya.
Ada hal yang sempat saya dengar, bagaimana Festival Literasi Payakumbuh dan Makassar International Literary Festival berjalan dengan baik, yaitu: Nekat. Saya pun menerjemahkan kata nekat bukan sebagai kerja ngawur, tetapi ketetapan hati yang kuat untuk menyelesaikan tugas sebaik-baiknya. Dan Festival Literasi Payakumbuh, meskipun baru pertama kali, patut diapresiasi. Serangkaian acara bergizi cukup menyegarkan, apalagi sastrawan generasi terkini mendapatkan porsi besar di dalamnya. (T)