ADA berita yang viral dalam dua minggu terakhir ini soal pagar di laut. Berita ini viral di tengah perjalanan dukungan publik sampai 80% terhadap 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo, sebagaimana hasil survey litbang kompas, atas pelaksanaan beberapa program prioritas kampanye pilpres Prabowo .Hal ini tentu menjadi catatan tersendiri bagi perhatian kita terutama penegakan hukum yang masih rendah.
Sebelum berita simpang siur siapa yang memasang pagar di laut perairan Tangerang Banten, tiba-tiba diberitakan dan terbukti sudah terbit sertifikat di atas laut. Membahas tentang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di atas laut dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area pagar laut, terlebih dahulu perlu kita ingatkan bahwa sejatinya Mahkamah Konstitusi telah melarang pemanfaatan ruang dengan status Hak Guna Bangunan di perairan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XI/2013.
Putusan MK tersebut secara tegas melarang adanya pemanfaatan wilayah perairan untuk kepentingan komersial berbasiskan HGB karena pada dasarnya melanggar prinsip perlindungan terhadap lingkungan. Selain itu, kawasan mangrove yang terdampak juga berpotensi kehilangan fungsinya sebagai pelindung ekosistem laut dan mitigasi perubahan iklim.
Bila ibaratkan, lautan kita telah dimanfaatkan oleh oknum-oknum birokrasi dan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Padahal secara yuridis, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalammnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air yang juga mengamanahkan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian “dikuasai negara” di sini adalah termasuk pengertian mengatur dan atau menyelenggarakan, mengelola dan mengawasi, terutama untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan sehingga sumber daya air dapat didayagunakan secara adil dan berkelanjutan. Tidak bisa diterbitkan hak atas tanah di atas laut atau perairan, hal tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 junto Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang – Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 tahun 2021, bahwa hak atas tanah berupa bangunan (HGB) hanya bisa terbit di wilayah pesisir pantai bukan di atas pantai atau laut.
Pemerintah Prabowo perlu bercermin terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku bahwa terkait pemberian Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Adapun yang dapat memilki HGB menurut hukum Indonesia yaitu Undang_Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan peraturan terkait lainnya, hanya WNI, Badan Hukum yang dapat memiliki HGB. Warga Negara Asing (WNA) tidak diperbolehkan memiliki HGB atas tanah di Indonesia kecuali Hak Pakai maupun Hak Sewa serta unit sarusun yang didirikan di atas HGB (perkembangan politik hukum yang masih menjadi debateble).
Dalam konteks hak yang melekat untuk pemegang HGB adalah, pertama, menggunakan dan memanfaatkan tanah sesuai peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannnya. Kedua, mendirikan bangunan di atas tanah yang diberikan HGB sepanjang untuk keperluan pribadi dan atau usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketiga, melakukan perbuatan hukum yang bermaksud melepaskan, mengalihkan dan mengubah penggunaannya serta membebankan dengan hak tanggungan. Selanjutnya, dalam berkaitan jenis tanah yang diberikan meliputi: tanah negara: diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri, tanah hak pengelolaan diberikan dengan pemberian keputusan pemberian hak oleh menteri berdasarkan persetujuan pemegang hak pengelolaan dan tanah hak milik, pemberian hak oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Fenomena munculnya penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di atas perairan laut sebenarnya sudah ada sejak 2022 silam, bahkan dijadikan sebagai “pilot project” waktu itu oleh Presiden Jokowi, di mana masa pemerintahannya dengan membagikan 525 sertifikat HGB kepada warga Kampong Mola, Wakatobi, Sulawesi Tenggara yang tinggal di pesisir pantai Wakatobi. Rumah warga Suku Bajo itu berdiri di atas pesisir pantai dan mendapatkan pengakuan dari negera selama 30 tahun dan dapat diperpanjang lagi. Sedikitnya, di pesisir pantai Wakatobi itu ada 16.000 warga Suku Bajo yang bermukim di atas laut yang kebanyakan membangun rumah di pinggiran pantai.
Berkaitan mencuatnya kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten, dengan pemberian sertifikasi massal berupa HGB di atas perairan laut dan SHM yang diberikan Kementerian ATR BPN RI pada tahun 2023 tersebut kepada salah satu anak perusahaan konglomerasi properti terbesar di Indonesia. Adapun pemegang SHGB wilayah laut yang dipagari itu adalah PT Cahaya Inti Sentosa sebesar 20 bidang dan PT Intan Agung Makmur 234 bidang.
Penerbitan sertipikat HGB di atas laut ini menurut pendapat penulis membuktikan bahwa telah terjadi kegagalan hukum dan para ahli hukum untuk memainkan peranannya dalam proses pembangunan hukum yang berkeadilan sosial dan lahirnya kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan hukum yang tidak menegakkan hukum di laut kita. Bagaimana tidak, memagari laut untuk kepentingan tertentu dan mengakibatkan nelayan tidak bisa melaut merupakan bentuk pelanggaran hukum dan konstitusi apalagi terbukti terbit sertipikat tanah di atas laut, dengan alibi dulu berupa tanah yang kemudian kena abrasi.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (Sekjen KPA), Dewi Kartika, berpendapat penerbitan sertipikat 263 bidang bersertpiikat HGB dan 17 bidang SHM di lokasi disekitar pagar laut Tangerang, Banten, itu menunjukkan adanya akrobatik hukum dan praktik mafia tanah yang melibatkan kantor pertanahan.
Karena ditegaskan Dewi Kartika, bahwa HGB jelas-jelas tidak bisa diterbitkan diatas laut atau perairan, hal tersebut mengacu pada PP 18/2021 jo Permen ATR BPN RI Nomor 18 Tahun 2021 bahwa hak atas tanah berupa bangunan (HGB) hanya bisa diterbitkan di wilayah pesisir pantai, bukan di atas laut. Selain itu, hanya di kawasan pesisir pantai sudah diatur bahwa hanya garis sepadan pantai yang boleh disertipikatkan dengan minimal jarak 100 merter dari titik surut. Artinya apa, pagar atau bangunan di laut jelas merupakan bentuk pelanggaran hukum. (Dewi Kartika, Tempo, Januari 2025).
Berkaitan dengan pemberian sertifikat HGB dikawasan pagar laut, Tanjung Pasir, Kabupaten Tangeran, Banten, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti berpendapat bahwa sertifikat HGB tersebut dianggap illegal karena dasar laut tidak boleh ada kepemilikan atau sertipikat. Selain itu, pembanguan ruang laut harus mendapatkan izin dari KKP. (Sakti Trenggono, Tempo Januari, 2025).
Pandangan Sakti, dia menduga pemagaran laut tersebut bisa jadi bertujuan upaya menaikan tanah sehingga menjadi daratan atau dengan kata lain sebagai upaya reklamasi alami. Berdasarkan pendapat Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, dikatakan kebijakan hukum dalam hal penerbitan sertipikat HGB di atas laut dan SHM di area pagar laut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 junto Undang-Undang 1 Tahun 2014 tentang Pnengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kebijakan tidak menegakan hukum di perairan dan laut telah melampaui kewenangan Kementerian ATR BPN RI. Kebijakan itu juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010, di mana putusan tersebut menganulir konsep hak penguasaan perairan pesisir (HP3) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007.
Dasar penerbitan sertipikat juga mesti diusut tuntas siapa saja pihak-pihak yang terlibat, tidak cukup membongkar pagar lautnya oleh KKP dan Angkatan Laut, serta nelayan tanpa mengusut siapa dalang yang membuat pagar laut tersebut. Secara prinsip, Prof Mahfud MD menyebut SHGB dan SHM yang diterbitkan Kementerian ATR BPN RI itu merupakan pelanggaran hukum. Artinya apa, dari sanalah penegakan hukum bisa dilakukan.
Menurut Prof Mahfud, tidak sulit mengusutnya, karena bukan merupakan delik aduan, tanpa ada laporan pun bisa. Polisi harus turun melakukan penyelidikan. Jika nantinya ditemukan adanya masalah perkara perdata, tentunya bisa disampaikan ke public. Namun, yang terpenting untuk saat ini tetap harus diproses dulu secara hukum. (Mahfud MD, Youtube Mahfud MD Official, Januari 2025)
Kesimpulan yang didapat penulis, dari pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang ATR – BPN RI, Nusron Wahid, menegaskan bahwa penerbitan SHGB di atas laut dan SHM merupakan cacat prosedural dan material. Dari 266 SHGB dan SHM di area Kabupaten Tangerang itu setelah dicocokkan dengan data peta yang ada, telah diketahui berada di luar garis pantai atau tepatnya berada di atas laut. Sehingga, bisa dipastikan tidak bisa disertipikasi dan tidak boleh menjadi properti pribadi. Dengan begitu, SHGB dan SHM yang sudah terbit secara otomatis dicabut tanpa proses pengadilan, dikarenakan sertifikat tersebut rata-rata terbit 2022-20223 atau kurang dari lima tahun. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2021, selama sertifikat tersebut belum berumur lima tahun, maka Kementerian ATR BPN RI memiliki hak mencabutnya atau membatalkan tanpa proses perintah pengadilan. (Nusron Wahid, Tribunnews.com, Januari 2025).
Jelas kiranya bahwa pemakaian hukum penerbitan sertipikat tanah di atas laut jelas dilarang dan melanggar hukum. Artinya negara harus menegakkan hukum, siapa yang melanggar hukum harus dihukum sesuai peraturan perundangan yang berlaku, Negara tidak boleh kalah dengan oligarki yang mau mengangkangi hukum apalagi menguasai laut yang menjadi akses publik yang tidak boleh siapapun menguasainya. Penerbitan Sertipikat Hak Guna Banguanan (SHGB) dan SHM di atas laut adalah tidak sah. Kita tunggu tindakan tegas pemerintah. Semoga. [T]
BACA artikel lain tentang hukum dan kenotarisan dari penulis I MADE PRIA DHARSANA