MALAM puncak Dies Natalis Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja-Bali yang ke-32, Kamis malam, 16 Januari 2025, ditutup dengan penampilan Lyla Band sekaligus sebagai guest star malam itu. Lapangan terbuka di kampus tengah Undikhsa, tempat acara malam itu, cukup ramai dipadati Ganesha Muda—sebutan bagi mahasiswa Undiksha. Orang-orang berjubel, lapangan seperti telaga manusia.
Bahkan, nyaris—yang di luar tak bisa masuk sekitar jam 09 malam, dijegal penjaga, “Udah overload,” kata sang penjaga. Tapi selang beberapa lama menunggu, akhirnya para penonton dibolehkan masuk, diberi kesempatan. Pintu masuk segera diserobot terburu-buru para penonton yang sudah tak sabar mau menonton atau sekadar bertemu teman.
Lyla Band memang punya daya tarik meski bisa dikatakan band itu usianya cukup lawas. Lyla Band pernah digawangi oleh Indra Perdanan Sinagar atau Naga (vokalis saat itu). Kemudian yang kini masih bertahan, Fare Adinata (gitar), Dharma (Keyboard), Dennis Riky (bass) dan Amec Jen Aris (drum), memang masih jadi idola.
Konser Lyla Band di Undiksha | Foto: tatkala.co/Son
Lyla Band menata karirnya sejak 2001 di Jakarta. Saat itu namanya Mahameru Band, dan setelah manggung sana-sini, di tahun 2008 band itu dilirik oleh Alfa Records. Dan sejak itulah nama Mahameru diganti menjadi Lyla Band, yang berarti pangeran gelap—dalam sebuah mitologi Persia. Genre musik mereka merupakan pop atau rock alternatif.
Kini, setelah hengkangnya Naga sebagai vokalis dan berpindah ke Ada Band beberapa tahun silam, posisi Naga digantikan oleh Ario Setiawan. Walaupun sempat berganti vokalis, band ini masih memiliki cukup banyak penggemar.
Pada malam Dies Natalis Undiksha itu, Lyla Band membawakan sekitar delapan lagu seperti “Percayakan”, “Mantan Kekasih”, “Gak Romantis”, “Kamu Cantik Kamu Baik” dan “Magic”.
Orang-orang, kebanyakan mahasiswa, berbondong pergi ke Undiksha menonton mereka. Tentu saja mereka bersama teman, atau bersama pacarnya.
Tapi tidak dengan Wawan anak Desain Komunikasi Visual (DKV). Ia datang sendiri. Ia mengaku belum punya pacar. Ia datang lebih dulu dari mereka yang berdesakkan di pintu masuk tadi. Hatinya hanya sekilas untuk konser.
“Belum pengen juga, sih. Ribet!” kata Wawan ketika disinggung soal pacar.
Di tengah riuh para penonton yang bergandengan, vokalis Lyla Band Ario Setiawan menyapa mereka yang berpasangan. Teriak penonton semakin terdengar keras. Lantas Ario terdengar mendoakan dari atas panggung, “Semoga yang jomlo segera punya pasangan,” katanya.
Serentak para penonton bilang amin, dengan kencang. Tapi saya tak tahu, Wawan mengucap amin atau tidak saat itu, yang jelas ia tampaknya bias malam itu secara batin malam itu. Apakah hatinya juga tawar? Ini adalah rahasia Wawan dan hanya Tuhan yang tahu.
Dan ia lebih memilih menepi dari konser itu, seperti enggan ikut nemplok dengan barisan punya pasangan. Lelaki itu pergi ke tuan tato bernama Wahyu Toples, seniman tattoo temporary—yang juga masih temenan sama Wawan.
Wahyu Toples adalah mahasiswa seni paling seni, dia semester 5. Cukup ganteng dan pandai melukis. Berminat?
Wawan (kiri) dan Wahyu Toples (kanan) | Foto: tatkala.co/Son
Dan Wawan memilih tidak menonton konser, menepi ke belakang untuk dirinya ditato petir di tangan bagian kiri. “Biar kuat!” kata Wawan. “Biar serem gambar petir, Bang. Biar ada kekuatan, karena saya suka ngegim,” lanjut lelaki itu sedikit bercanda.
“Biar ada energi tangannya,” saut Wahyu humor saat menato.
Tato yang dibuat oleh Wahyu Toples tentu bukanlah tato betulan, tapi tato bercanda. Namanya Tattoo Temporary, yaitu sejenis tato yang tidak bisa bertahan lama atau dengan periode waktu yang pendek, maksimal dua minggu. Tapi tampak dikulit seperti tato beneran. Intinya, cukuplah untuk bergaya di malam terakhir Dies Natalies.
Alat yang digunakan oleh Wahyu untuk mentato adalah suntikan dengan jarum yang sudah ditumpulkan. Untuk tinta, ia menggunakan bahan dari semir rambut warna hitam merek Tanco yang sudah dilarutkan hingga menjadi kental.
Tanpa komat-kamit membaca mantra, petir segera digambar oleh Wahyu di tangan Wawan. Dengan hati-hati takut menyambar semir keluar pola, ia cukup detail menggambar gelap terang di ujung petir—yang bentuknya seperti akar itu. Tak membutuhkan waktu satu hari, 45 menit tato petir meledak keren di tangan klien.
Wahyu tersenyum, lantas ia pergi entah ke mana dengan tato itu setelah mengeringkannya beberapa menit di stand Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Selamat berkelana Tuan Wawan. Semoga segera dapat gebetan hehe..
Tantangan Menato Perempuan di Daerah Teritorial—Dada
Dalam dunia pertatoan sejak tanggal 10 Januari, Wahyu Toples tak sendiri dalam menggurat cerita dikulit orang lain melalui gambar. Ada Bayu Ariada dan Suta Nugraha. Mereka satu pertapaan, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha.
Mahasiswa pamer tato | Foto: tatkala.co/Son
Malam itu, di tempat stand yang berbeda. Bayu dan Suta Nugraha tandem membuka jasa tattoo temporary untuk fakultasnya. Sejak siang ia melayani para pengunjung yang datang meminta ditato. Tak lama sebelum konser akan dimulai, Ira Kartika (19) dari program studi Ilmu Hukum Undiksha itu datang menemui Bayu bersama temannya.
Perempuan itu meminta ditato gambar ular kecil di tangan kirinya dan salib kecil di tangan kanan.
Setelah jadi, ia juga meminta digambarkan kelelawar karena senang keluar malam, katanya. “Saya sejak SMA suka banget gambar-gambar di tangan pake pulpen. Pengen nato sih sebenarnya, tapi nggak dibolehin sama mamah. Nanti saja kalo sudah menikah mungkin dibolehin hehe..” lanjut Ira Kartika.
Sementara Nining—temannya memilih digambarkan laba-laba, “Karena lucu aja sih kak,” kata Nining tersenyum tipis.
Setelah beberapa hari menjadi tukang tato, Suta Nugraha mengalami culture shock alias sok budaya. Katanya, pernah di hari apa begitu, ia dipinta menato perempuan di bagian dada sekitar dua centi meter dari daerah teritorial perempuan. Karena Suta lelaki sopan tapi sedikit amatiran, tangannya bergetar takut salah sentuh.
“Apalagi di tongkrongi pacarnya, saya jadi gak enak. Tapi, itu rasanya, ya, saya berprilaku profesional saja walaupun dengan waktu yang lama karena tanpa tumpuan,” kata Suta Nugraha saat cerita.
Proses menato | Foto: tatkala.co/Son
Tentu, hal sama dirasakan pula oleh Bayu, sikap profesional sebagai seniman muda mulai dipupuknya sejak itu. Dalam satu hari, bisa lima orang ditato bahkan bisa lebih, ya, perempuan dan laki-laki tentu saja. Sekali tato harganya 10 ribu, jika rumit si kline minta digambar—harga bisa dinaikan menjadi 20 ribu.
Macam-macam gambar yang sudah dibuat oleh mereka, terakhir, Bayu menggambar Visca Barca di dada perempuan berkulit putih. Sementara yang lain, lebih dekat lagi beberapa centi, meminta dirinya menggambarkan kupu-kupu kecil di sana.
Pengalaman ini menjadikan jam terbang psikologis mereka dalam menghadapi situasi yang sulit, karena, tergelincir tangan sedikit atau kedipan nakal—bisa menjerumuskan mereka kedalam tuduhan tindakan tak senonoh. Tapi itu dilaluinya dengan profesional. Tak ada masalah selama beberapa hari menato pacar orang.
“Senimannya sendiri sudah punya pacar?” tanya saya.
“Belumm, Bang,” kata Suta. “Tapi setidaknya, karya kami ada di tubuh mereka,” lanjut lelaki itu gagah.
Kemudian, lagu Lyla berjudul “Magic” terdengar bersamaan dengan petasan menyala…
Semua yang kau lakukan is magic
Semua yang kau berikan is magic…[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole