DI Desa Penatahan, Kecamatan Panebel, Tabanan, udara cukup panas saat siang. Di pematang sawah tumbuh gulma. Harta di sawah-sawah sudah dipanen. Tetapi beberapa petak jagung dan cabai juga terlihat masih berbuah, barangkali baru setengah dipanen, jadi tak seragam terlihat. Tapi pemandangan sawah benar-benar terbuka luas indah dari Balai Subak Penatahan walaupun sudah terlihat mengering kuning.
Di sana, di Balai Subak Penatahan itu, dalam acara Aktivasi Subak Spirit Catur Angga Batukaru—dengan tema “Gamsen (Gamelan dan Seni) Desa Penatahan”—pada Minggu, 8 Desember 2024 siang, dipenuhi seni pertunjukkan tradisional dan warga yang antusias melakukan parade okokan budaya mereka.
Kelompok Yowana Penatahan sedang memainkan gamelan semar pagulingan acara Aktivasi Subak Spirit Catur Angga Batukaru | Foto: tatkala.co/Rusdy
Sebelum penampilan akan dilakukan, suara gamelan dari sanggar Yowana menyambut mereka yang hadir dengan tabuh semar pegulingan, yaitu sebuah gamelan yang dekat hubungannya dengan gambuh. Yang juga merupakan perpaduan gamelan gambuh dan legong. Gamelan ini merupakan gamelan rekreasi untuk istana raja-raja zaman dahulu dan biasanya dimainkan pada waktu raja-raja akan keperaduan.
Semar pagulingan memiliki laras pelog 7 nada, terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada lain. Dan gamelan semar pagulingan adalah salah satu jenis gamelan Bali kuno yang berasal kira-kira sekitar abad 17.
Antusiasme masyarakat Penatahan dalam acara Aktivasi Subak Spirit Catur Angga Batukaru | Foto: tatkala.co/Rusdy
Banyak potensi di Desa Penatahan. Dan salah satunya adalah kesenian okokan. Di sana, orang-orang memperkenalkan okokan para petani dengan cara parade atau pawai, kemudian mempertunjukkan gamelan atau tetabuhan dan tarian-tarian oleh para seniman muda di desa tersebut.
Menurut Nengah Suartika, Perbekel Penatahan, dengan adanya program semacam ini, kearifan lokal di desanya bisa kembali diperlihatkan, itu menambah usaha pelestarian.
“Selain ada okokan khas desa kami, kami juga memilki silat khas desa kami, yaitu silat Tingklung. Tapi ada juga tarian sanghyang sampat, namun itu sakral. Jadi kami di sini hanya menampilkan beberapa kesenian sebagai bentuk pertunjukkan saja, salah satunya okokan, gamelan, dan beberapa tarian,” kata Suartika.
Parade okokan masyarakat Penatahan di acara Aktivasi Subak Spirit Catur Angga Batukaru | Foto: tatkala.co/Rusdy
Tak hanya bunyi gamelan yang sudah ditabuh, penonton yang hadir juga disuguhkan dengan tarian Manuk Rawa, tari tradisional Bali yang menggambarkan perilaku seekor manuk—yang dalam bahasa Indonesia berarti burung—saat bermain di air atau di daerah rawa. Kisah ini diambil dari cerita Warna Parwa dari epos Mahabarata.
Tak hanya itu, para penonton juga disuguhkan tari lain yang tak kalah energiknya, yang berasal dari Sanggar Penatahan, yaitu Tari Gopala. Tarian itu menceritakkan tingkah laku sekelompok penggembala tapi di suatu lading atau tempat penggemebalan. Kata gopala sendiri diambil dari bahasa Kawi/Jawa kuno yang berarti penggembala sapi.
Setelah pertunjukkan tari itu selesai, di luar Balai Subak, sepanjang jalan memotong sawah, berbaris masyarakat berdandan sebagai petani. Ya, tentu, mereka memang petani, dan sedang melakukan parade okokan. Gamelan ditabuh kemudian mengiringi mereka.
Tari Manuk Rawa oleh Sekaa Yowana Penatahan di acara Aktivasi Subak Spirit Catur Angga Batukaru | Foto: tatkala.co/Rusdy
Di sana, ada anak-anak mengikuti para orang tuanya. Jalanan menjadi ramai. Asyik. Beberapa petani yang melakukan parade okokan itu, nyambi membawa hasil panen dan alat-alat pertanian—untuk menunjukkan mereka sebagai petani. Desa Penatahan itu sendiri 70 persen di antara mereka adalah memang petani, dan tentu, mereka bangga.
Sementara okokan pada mereka, adalah alat musik tradisional yang kenamaannya berasal dari bunyi yang dihasilkannya, yaitu klok klok klok. Okokan terbuat dari kayu—yang biasanya digantungkan di leher hewan seperti sapi atau kerbau.
Tari Gopal oleh Sekaa Yowana Penatahan di acara Aktivasi Subak Spirit Catur Angga Batukaru | Foto: tatkala.co/Rusdy
Okokan ini diperkirakkan sudah ada sejak tahun 1960 ketika terjadinya wabah penyakit yang menyerang anak-anak dan orang dewasa. Nah, konon, masyarakat Penatahan percaya, dengan membunyikkan okokan ini keliling desa—yang dikenal dengan istilah ngrebeg—diyakini dapat mengusir wabah tersebut.[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto