IA, pemuda tambun dan gondrong itu, memegang dan mengangkat Tualen yang tingginya hampir satu meter. Lalu ia memberi wayang tersebut semacam ruh, sehingga dapat bergerak dan berbicara. Punakawan yang bertubuh hitam pekat itu, bergelagat dan bersuara karikatural-parodikal, pula tampak arif bijaksana. Orang-orang yang menontonnya tak dapat membendung gelak.
Kini, pemuda itu memainkan dua wayang sekaligus. Tangan kanan memegang Tualen, sedangkan yang kiri memainkan Merdah. Tualen dan Merdah berdialog. Kadang mereka menggunakan bahasa Bali, tak jarang bahasa Indonesia, dan di sela-sela itu Merdah bahkan berbahasa Inggris. Sekali lagi, lalu berkali-kali, orang-orang terbahak karena pertunjukan tersebut.
Tapi tak hanya Tualen dan Merdah, Delem dan Sangut juga tak mau kalah. Mereka berdua dimainkan dan diperkenalkan dengan lagak jenaka dan sedikit sombong—pun malas—sebagaimana karakter dua tokoh tersebut.
Ialah Made Georgiana Triwinadi, dalang muda di balik pertunjukan tersebut, Sabtu (9/11/2024) siang itu. Saat itu, Georgia sedang pentas di Subak Spirit Festival 2024 dengan tajuk “Wayang Bercerita”—dengan cerita “Temu Rasa”, semacam judul lakon, sebut saja begitu, yang diangkat sebagai garapan eksperimental, menggabungkan introduksi wayang dengan kisah surat Dewi Sita (atau Sinta) kepada Rama melalui Hanoman.
Georgia menganggap bahwa pesan Sita kepada Rama melalui Hanoman itu bukan sekadar urusan asmara. Pula simbol yang berkaitan dengan relasi (hubungan) antara manusia dan alam yang sangat erat, jalin-jemalin. “Temu Rasa itu menggambarkan alam dan kita; Sita adalah Siti; siti adalah pertiwi [tanah], yang menyampaikan pesan alam kepada kita semua,” Georgia menegaskan.
Made Georgiana Triwinadi saat memainkan Tualen dan Merdah (wayang wong-wongan) di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Sebelum lebih jauh, mengenai kisah surat-menyurat tersebut, kata Georgia, itu satu kisah yang menurutnya jarang dilirik oleh banyak orang. Dalam epos—atau kakawin atau apalah sebutannya—Ramayana, kisah yang terkenal adalah pada saat Hanoman menemui Sita di Taman Ansoka, kera putih itu mendapat bunga emas dari kekasih Rama tersebut. Padahal, selain itu, Sita juga menitipkan surat—untuk Rama—ke Hanoman. “Menurut saya itu menarik untuk dipentaskan,” kata Georgiana.
Pertunjukan wayang tersebut memang berbeda dari biasanya. Bukan saja tanpa kelir, blencong, gamelan gender, dan dipentaskan di tengah sawah di Jatiluwih, pula bentuk wayangnya pun berbeda. Ya, wayang yang dimainkan Georgiana tampak lebih besar, lebih tinggi, dan lebar. “Ini wayang wong-wongan,” terang Georgiana.
Konsep Wayang Bercerita merupakan bentuk eksperimen (praktik) yang berangkat dari sebuah pertanyaan, “Kenapa orang-orang tidak banyak yang tertarik dengan pementasan wayang?” Jawaban yang sering terdengarkan saat mendapat pertanyaan demikian adalah karena tidak tahu atau paham tentang jalan ceritanya, tokoh-tokohnya, pun bahasa yang digunakan.
Oleh karena kesadaran tersebut, sebagai dalang, Georgia berusaha untuk mendekatkan wayang kepada orang-orang yang tidak tahu itu dengan cara menggelar pentas wayang tapi hanya untuk memperkenalkan, menjelaskan, sosoknya saja, mulai dari bentuk, suara, sampai sifat yang melekat dalam diri setiap tokoh pewayangan Bali. Jadilah “Wayang Bercerita”—wayang yang menceritakan sosoknya sendiri, seperti Tualen, Merdah, Delem, dan Sangut yang disinggung di awal tulisan.
Lantas, siapa sebenarnya Made Georgiana Triwinadi ini?
Perjalanan Berkesenian
Pada tahun 2010, media The Hindu menerbitkan sebuah liputan berjudul “The Little Warrior!”. Dalam laporan tersebut, Shailaja Tripathi menulis, “Georgiana Triwinadi yang berusia 11 tahun bukanlah Pawan Putra Hanuman—dewa monyet yang kuat yang dipuja oleh umat Hindu—tetapi ia benar-benar bisa terbang… Mimpi Georgiana, dan lebih dari itu, kecintaannya yang mendalam pada seni, telah memberinya sayap untuk terbang.”
Shailaja menulis kekagumannya setelah ia menonton Georgia—yang saat itu masih berumur 11 tahun—menarikan Baris—yang Shailaja sebut sebagai “tarian prajurit kuno”, salah satu bentuk tarian paling rumit di Pulau Bali—di India empat belas tahun silam.
Pada saat itu, berdasarkan surat terlampir dari Indira Gandhi National Centre for the Arts, New Delhi, tanggal 1 Januari 2010, Bali akan berkolaborasi bersama seniman dari Yogyakarta, Thailand, Kamboja, dan India dengan target menghasilkan 3 fusion dance. Dan di antara seniman Bali yang berangkat, nama Georgiana tercantum di sana. Rombongan seniman Bali itu dipimpin Prof. I Nyoman Sedana, Ph.D, tak lain adalah ayah Georgia sendiri.
Dalam rangka pentas dan diplomasi budaya tersebut, Prof. Sedana mempresentasikan sebuah paper berjudul Indian Diaspora in Balinese Performing Arts. Sedangkan Georgia, selain menari, ia juga mendalang, membawakan dua lakon, yakni Arjuna Tapa dan Sutasoma. Saat itu, ia pentas di 5 kota di timur laut India, yaitu Guwahati, Shillong, Agartala, Imphal, dan Dimapur. Dan puncak pertunjukan kolaborasi tersebut digelar di New Delhi bersama para seniman dari berbagai negara.
Tahun berikutnya, ia tampil sebagai dalang cilik berbahasa Inggris dalam World Nature & Culture Heritage UNESCO di Nusa Dua Bali.
Tapi perlawatan ke India itu jelas bukan awal perjalanan kesenian Georgia. Sebenarnya, bisa dikatakan, ia sudah berkesenian sejak dalam kandungan. Pasalnya, Georgia lahir dari pasangan seniman cum akademisi-cerdik pandai pilih tanding di Bali. Ayahnya adalah guru besar pedalangan di ISI Denpasar. Sedangkan ibunya merupakan seniman tari yang andal.
Namun, meski begitu, seperti yang dituliskan Shailaja Tripathi, waktu menarikan Baris, bukan gerakan mata yang kaku atau postur tubuh yang berat yang membuat Georgia kecil khawatir, melainkan ketegangan bahwa ia mungkin terlihat gemuk dalam kostum tari yang ketat.
“Ibu saya menyimpan botol-botol susu instan di lemari es, dan kapan pun saya merasa lapar, saya meminumnya,” kata Georgia kepada jurnalis The Hindu itu. Saat itu, Georgia sedang duduk dengan nyaman di kursi di luar kamar tamu di gedung baru IGNCA (Indira Gandhi National Centre for the Arts), New Delhi, India.
Tumbuh besar di keluarga seniman akademisi, Georgia menjelma seniman muda yang multitalenta. Ia pandai dalam menari, cakap memainkan gamelan, dan piawai saat mendalang. Tapi belakangan, sebagaimana sang ayah, Georgia tampaknya lebih serius menggeluti dunia pedalangan. Oleh karena itu, selesai di bangku SMP ia melanjutkan pendidikan ke SMK Negeri 3 Sukawati jurusan Pedalangan. Tekadnya menjadi dalang tak dapat dibendung.
Made Georgiana Triwinadi saat memainkan Tualen (wayang wong-wongan) di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Ayah Georgia, I Nyoman Sedana, adalah seorang profesor ternama di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Prof. Sedana lahir dari keluarga penari tradisional di Gianyar dan lulus dari sekolah menengah atas (KOKAR) dan perguruan tinggi (ASTI) Seni Pertunjukan.
Dalam seni pedalangan, Prof. Sedana berguru kepada I Nyoman Sumandhi dan Dalang Sidja. Ia menerima gelar MA dari Brown University dan gelar Ph.D dari University of Georgia, USA. Penelitiannya tentang tradisi boneka di Asia didukung oleh Asian Cultural Council, dan ia mendapat penghargaan Asia Fellow dari Ford Foundation, IIAS di Leiden, National University of Singapore, dan lembaga-lembaga lainnya. Prof. Sedana adalah penulis Performance in Bali (dengan Leon Rubin) dan menjadi seniman tamu di Butler University di Indiana.
“Ya, saya anak nomor dua Prof. I Nyoman Sedana,” ujar Georgia saat dikonfirmasi tatkala.co melalui WhatsAp, Kamis (14/11/2024) malam.
Berkat kiprah dan dedikasinya di bidang ksenian sejak kecil, Georgia mendapat penghargaan seni dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk Kategori Anak dan Remaja yang Berdedikasi terhadap Kebudayaan tahun 2014. Tahun itu, Prof. I Made Bandem juga mendapat Anugerah Tanda Kehormatan Kelas Satyalancana Kebudayaan.
Sebagai dalang, Georgia mempunyai kemampuan berbahasa Bali dan Inggris yang sama-sama baiknya. Kenapa mendalang dalam bahasa Bali dan Inggris? Georgia mengatakan, selain karena tumbuh dan besar di Bali, pula mementaskan wayang di Bali, ia ingin go international. “Karena itu saya juga berbahasa Inggris,” ungkapnya.
Mengenai hal tersebut, tak mengherankan sebenarnya. Sebab, saat berusia tiga bulan, Georgia sudah terbang ke Amerika Serikat saat ayahnya mendapat tugas menyelesaikan pendidikan doktor bidang pedalangan di sana. Ia dan keluarganya tinggal di sana selama empat tahun, sehingga Georgia sudah terbiasa berkomunikasi dengan bahasa manca itu.
Georgia mengenal wayang sama baiknya seperti mengenal dirinya sendiri. Mungkin karena ia lahir dan besar dari keluarga seniman. Tapi barangkali juga oleh sebab ketekunannya. Ia salah satu sarjana ISI Denpasar terbaik di angkatannya waktu itu.
Seniman muda yang menyukai tokoh Kresna dalam kisah “Mahabharata” dan Batara Siwa dalam kisah dewa-dewa itu, kini sedang mengembangkan jenis wayang yang ia sebut wayang wong-wongan. Dan ia bercita-cita membuat animasi pertunjukan wayang.
Pada 2021, bersama I Nyoman Sedana, I Made Sidia, dan I Gusti Made Darma Putra, Georgia menuangkan pikirannya dalam tulisan “Wayang Paramosadham Penawar Covid Lintas Negara” yang dimuat dalam buku antologi Bunga Rampai Kajian Seni Budaya Ragam Perspektif yang diterbitkan oleh Unesa University Press.
Eksperimen Wayang Wong-wongan
Saat ini, Georgia memang terkenal dengan inovasi wayang wong-wongannya. Ya, berawal dari garapan wayang kulit raksasa untuk ujian tugas akhir (TA) seni pedalangan di Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar tahun 2020, wayang wong-wongan kini seolah menjadi nama tengah Georgiana Triwinadi. Setiap kali menyebut wayang wong-wongan, kita akan mengingat nama seniman 26 tahun tersebut.
Benar. Tak seperti wayang Bali pada umumnya, wayang wong-wongan berukuran jauh lebih tinggi dan besar, kisaran 90 cm hingga 2 meter. Itu setinggi orang dewasa.
Wayang wong-wongan adalah hasil eksperimen Georgia sejak beberapa tahun yang lalu. Desain wayang ini, katanya, terinspirasi dari lukisan wayang tradisi Desa Saba, Blahbatuh, Gianyar, bernama wong-wongan. Nama “wong-wongan” diusulkan oleh seniman Gungaji Saba yang diajak Georgia untuk mensketsa polanya sebelum dibentuk menjadi wayang.
“Wayang wong-wongan ini saya garap dengan bahan kedap air, bukan kulit, yakni karpet talang air setelah beberapa kali eksperimen,” terang Georgia dalam sebuah wawancara dengan media lokal Bali.
Pada awalnya, ia memakai metode pencetakan. Wayang standar difoto, diperbesar, lalu dicetak pada bahan serupa spanduk/baliho. Menurutnya, biaya produksi metode cetak ini cukup murah, namun kurang otentik. Kemudian, ia melakukan eksperimen kedua dengan mengikuti cara pembuatan wayang standar yang berbahan kulit.
Tualen (wayang wong-wongan) karya Made Georgiana Triwinadi | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Bedanya ukurannya jauh lebih besar. Itu sangat otentik sebenarnya, tapi biaya produksinya tinggi—karena harga kulit yang mahal,” ujar Georgia.
Eksperimen selanjutnya, Georgia memakai bahan kertas solex yang biasa digunakan sebagai payasan (aksesoris) ogoh-ogoh. Biaya produksinya cukup ramah kantong dan secara kualitas bahan cukup sesuai dengan apa yang ia inginkan. Namun, lambat laun, bahan solex ini akan robek dan rusak, apalagi jika terkena air.
Oleh karena itu ia memilih memakai bahan karpet talang air setelah sekian berganti bahan. Karpet talang air dianggap paling cocok. “Tapi proses pewarnaannya perlu perlakuan khusus. Kami harus mengamplasnya terlebih dulu, baru dicat akrilik dengan campuran lem,” terang Georgia.
Dengan wayang wong-wongannya, Georgia sudah sampai ke Singapura, India, AS, dan Tiongkok. Kata Georgiana, wayang wong-wongan bakal menjadi program prioritas Studio Seni Kamajaya—studio yang didirikan kedua orang tuanya, Prof. Sedana dan Ni Wayan Seniasih, sejak 2006 silam.
Pertunjukan wayang betel, begitu Georgia menyebut pertunjukan wayang yang menggunakan wayang wong-wongan. Wayang betel mengadopsi dan mengembangkan pertunjukan wayang lemah/gedog Bali yang ritualistik ke dalam konteks artistik dan hiburan. Seperti dalang wayang lemah, dalang wayang betel juga terlihat penonton.
Tapi dalam pertunjukan wayang betel, dalang terlibat langsung sebagai bagian atraksi. Sang dalang ikut menari, mendramatisir panggung, sembari memainkan wayang berukuran jumbo—sebagaimana Georgia pentas di Subak Spirit Festival 2024 beberapa hari yang lalu.
Delem dan Sangut (wayang wong-wongan) karya Made Georgiana Triwinadi | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Bentuk pertunjukan wayang telah mengalami transformasi berulang kali seiring pertumbuhan dan perubahan masyarakat pendukungnya, memang. Dari semula pertunjukan bayangan, berkembang menjadi pertunjukan panggung yang bisa ditonton dari sudut mana pun. Dalang dan para pendukung pertunjukan yang semula berada di balik layar (kelir) dalam perkembangannya telah pula menjadi bagian utama dari pertunjukan itu sendiri.
Dan sekarang, perkembangan tersebut bisa melintasi apa pun. Wayang bisa dipadukan dengan pertunjukan teater, bisa pula dipentaskan sebagaimana Georgiana melakukannya. Sebab, kesenian wayang mutakhir tak melulu soal sakralitas, suci, keramat, pakem, atau semacamnya. Kemajuan teknologi telah menjalankan desakralisasi atas benda-benda seni—seperti kata Walter Benjamin dalam esai klasiknya di tahun 1936, yang telah mencermati gejala lenyapnya ‘aura’ karya seni akibat kemungkinan untuk direproduksi secara mekanis sampai tak hingga.
Dalam sebuah artikel berjudul “Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris”, Martin Suryajaya juga menerangkan mengenai hal tersebut. Menurut Martin, sebelum adanya teknologi reproduksi citrawi, setiap benda seni seakan mengandung kesan misterius dan suci seperti pusaka yang dikeramatkan dalam kepercayaan religius dikarenakan fakta bahwa benda itu cuma ada satu dan karenanya unik.
Tapi, kata Martin, berlawanan dengan tafsiran yang lazimnya dijumpai di Indonesia, Walter Benjamin tidak mengartikan hilangnya aura ini sebagai sesuatu yang buruk atau perlu disesali. Justru sebaliknya, ia merayakan itu karena dengan begitulah karya seni bisa diakses oleh masyarakat luas dan dari situ terjadi pensosialan atas pengalaman estetis.
Namun, dalam konteks pertunjukan wayang hari ini, bagi orang-orang yang berpandangan karya seni pada aspek bendawinya, transformasi (desakralisasi, sebut saja begitu) ini jelas menjadi agak problematik. Wayang yang semula merupakan peristiwa yang terkait erat dengan ritus-ritus sosial lambat laun bergeser menjadi sebuah agenda seremonial yang kehadiran bentuknya menjadi lebih penting daripada isinya. Masyarakat makin akrab dengan pertunjukan wayang tapi secara paradoks makin berjarak dengan kisahnya.
Arjuna (wayang wong-wongan) karya Made Georgiana Triwinadi | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Tapi barangkali pertunjukan wayang betel (wong-wongan) tidak demikian. Selain memikirkan bentuk, pula mementingkan isi. Bentuk dan isi ini memang selayaknya menyatu dalam seni pertunjukan. Dengan begitu, pertunjukan wayang jadi tak kalah bersaing dengan budaya massa yang lain, dan kemudian lolos dari ujian masa. Dan itu harus didukung dengan format yang menarik, dan perangkat sosial-budaya yang memadai.
Sebab, mengutip Goenawan Mohamad (GM), sudah lama dunia pewayangan tak digerakkan daya cipta. Kisah Mahabharata dan Ramayana berubah sekadar jadi potongan-potongan melodrama. Cerita-cerita wayang hanya menempatkan para Kurawa dalam pihak yang-jahat-dan-pasti-kalah, dan Pandawa pada posisi sebaliknya. Wayang makin tak berdaya membangun sebuah tragedi.
Kita semua berharap, di tangan seniman muda seperti Georgia ini, pertunjukan wayang bisa keluar dari apa yang dituduhkan GM, bahwa wayang masih berkubang pada cerita yang gampang ditebak atau jadi dunia verbal yang itu-itu-lagi; jadi narasi yang kehilangan hening, yang mengakibatkan klise tumbuh seperti benalu pada karya seni, yang mematikan daya cipta sebab klise adalah hasil yang selalu siap mengikuti formula—gampang karena mengulang. Bagaiman, Bli Georgia?[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole