PRESIDEN Prabowo Subianto menyatakan hendak menjadikan Bali sebagai “The New Singapore” dan “The New Hong Kong”. Hal itu ia sampaikan dalam satu acara jamuan makan di salah satu restoran di Bali.
Sebagai langkah awal untuk menjadikan Bali sebagaimana Hong Kong dan Singapura, Prabowo akan membangun Bandara Bali Utara di Buleleng. Dengan demikian, Buleleng yang selama ini tidak larut dalam hingar-bingar pariwisata akan dijadikan pusat kawasan pariwisata di Bali.
Akankah janji Prabowo benar-benar direalisasikan? Banyak hal perlu dikuak dan dicermati. Mengingat apa yang disampaikan Prabowo sangat beraroma janji politik berkaitan dengan kontestasi pemilihan gubernur (Pilgub) Bali yang akan segera digelar.
Menguak janji Prabowo menjadikan Bali sebagai Hong Kong Baru dan Singapura Baru juga mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata, khususnya di Bali dan Buleleng. Apakah janji itu bentuk komitmen moral seorang kepala negara? Ataukah sekadar euforia kekuasaan baru yang menawarkan janji manis?
Menjadikan Bali seperti Hong Kong, misalnya, perlu penjelasan lebih lanjut dalam hal apa. Apakah dalam bidang politik dan kebebasan pers, di mana Hong Kong sempat berada dalam ketegangan akibat National Security Law? Apakah akan meniru kondisi ekonomi Hong Kong, di mana sempat terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan perumahan?
Tentu saja tidak. Indonesia tidak boleh berjalan mundur. Jika maksud Prabowo menjadikan Bali sebagai Hong Kong Baru dalam pariwisatanya tentu juga perlu dicermati dengan seksama. Terutama untuk Buleleng yang juga akan menjadi pusat kawasan pariwisata dan bagian dari “The New Hong Kong” itu.
Mendukung sepenuhnya janji Prabowo untuk menjadikan Bali dan Buleleng sebagai Hong Kong Baru tentu sikap yang tergesa-gesa. Menolak mentah-mentah gagasan Presiden baru itu juga bukan langkah bijak. Seolah masyarakat Buleleng tak berhak menikmati kue pariwisata layaknya Badung, Denpasar, dan Gianyar. Sama artinya juga membuat Buleleng tetap terisolasi dari gemerlapnya industri pariwisata.
Janji Prabowo untuk membangun Bandara Bali Utara di Buleleng bukanlah satu-satunya cara untuk menjadikannya pusat kawasan pariwisata. Perenacanaan perlu disiapkan secara komprehensif dan holistik sejak awal.
Bali dan Buleleng perlu belajar banyak dari kawasan pariwisata yang tidak direncanakan dengan baik, seperti Kuta. Begitu pula dengan Ubud, Gianyar yang juga menunjukan perkembangan tak terkendali lantaran mengabaikan perencanaan matang. Bahkan Nusa Dua sebagai kawasan pariwisata yang terencana pun tak luput dari imbas overtourism dari sekelilingnya, seperti Jimbaran, Uluwatu, dan daerah di Kuta Selatan.
Perlu 4 A
Pembangunan satu destinasi wisata selalu akan membawa implikasi positif dan negatif. Positifnya, selalu dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan daerah, dan kesejahteraaan masyarakat. Negatifnya, kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas, dan degradasi budaya.
Menjadikan Buleleng sebagai Hong Kong Baru tidak bisa “sim salabim” dan “adakadabra” dalam hitungan hari, minggu, atau pun bulan. Diperlukan waktu lama bagi Buleleng sebagai pusat kawasan pariwisata sebagaimana di Bali Selatan.
Perlu kecermatan dalam pengembangan pariwisata, terutama yang berkaitan dengan waktu dan investasi. Contoh kasus Ibu Kota Nusantara (IKN) menggambarkan tidak mudahnya membangun satu kawasan baru. Target tahun 2024 IKN sudah difungsikan, meleset. Begitu pula investasi kawasan baru membutuhkan anggaran puluhan hingga ratusan triliun. Adakah investor yang sanggup menggarap Buleleng dengan jumlah sebesar itu?
Paling tidak, diperlukan empat hal dalam pengembangan Buleleng sebagai pusat kawasan pariwisata atau biasa disebut 4 A.
Pertama, Aksesibilitas. Bandara Bali Utara hanya sebagian saja dari aksesibilitas. Jika ingin menjadi pusat kawasan pariwisata tentu diperlukan aksesibilitas jalan, jembatan, dan sebagainya. Selain membutuhkan investasi tinggi, aksesibilitas juga rentan menimbulkan konflik pertanahan.
Kedua, Amenitas. Buleleng memerlukan banyak hotel berbintang 5, restoran, dan akomodasi mewah lain untuk menjadi pusat kawasan wisata. Tentu saja ini akan membawa implikasi serius di bidang lingkungan. Akankah sawah dan lahan produktif berubah jadi bangunan hotel? Apakah tebing dan bukit akan digusur menjadi resort wisata?
Ketiga, Atraksi. Menjadi seperti Hong Kong atau Singapura tentu tidak cukup hanya dengan atraksi wisata yang biasa-biasa saja. Perlu digali segala potensi alam, seni, dan budaya agar dapat menjadi daya tarik wisata. Akankah Buleleng juga menawarkan atraksi wisata kasino sebagaimana Hong Kong dan Singapura?
Keempat, Ancillary atau dukungan kelembagaan. Sejauh mana lembaga-lembaga sosial ekonomi akan dilibatkan dalam pengembangan pariwisata di Buleleng. Apakah BumDes, Pokdarwis, PKK, Karang Taruna, dan berbagai Sekaa akan terlibat dalam pengelolaan pariwisata? Atau justru investor dari luar dan investor asing yang akan mendominasi bisnis pariwisata di Buleleng?
Perlu Komitmen
Menjadikan Bali dan juga Buleleng sebagai Hong Kong Baru perlu komitmen banyak pihak. Komitmen politik sangat diperlukan terkait dengan regulasi di bidang pariwisata, baik berupa peraturan pemerintah, peraturan menteri, maupun peraturan daerah. Bali sendiri telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya. Akankah semua pemangku kepentingan pariwisata di Bali tetap komitmen dengan Peraturan daerah itu ketika menjadi Hong Kong Baru?
Komitmen kementerian dan lembaga, DPR, DPRD, gubernur, dan bupati juga akan sangat menentukan masa depan pariwisata Bali. Selama ini pariwisata Bali dirundung banyak masalah. Namun sepertinya komitmen untuk menyelesaikan masalah belum tampak serius.
Terpenting tentu saja adalah menguak komitmen moral Prabowo untuk menjadikan masyarakat Bali dan Buleleng sejahtera. Meski absurd, komitmen moral ini penting. Dengan demikian bisa dijelaskan indikator dan capaian yang jelas ketika menjadi Hong Kong Baru.
Pilihan konsep pariwisata yang berorientasi Community Based Tourism (CBT) layak dipertimbangkan. Masyarakat Bali, khususnya Buleleng harus diajak bicara ketika hendak membangun Bandara Bali Utara dan menjadikannya Hong Kong Baru dan Singapura Baru.
Jangan sampai kebijakan yang akan menentukan masa depan masyarakat Buleleng itu “ujug-ujug” muncul di tengah kontestasi Pilgub Bali. Jangan pula kebijakan yang “pokoknya” harus dilaksanakan dari pusat kekuasaan, tanpa mendengar suara masyarakat. Jika ini yang terjadi, maka dipastikan “The New Hong Kong” maupun “The New Singapore” hanya sekadar memindahkan masalah di Bali Selatan ke Bali Utara.
Komitmen moral Prabowo tentu sangat ditunggu masyarakat Bali. Tanpa komitmen moral, gagasan “The New Hong Kong” dan “The New Singapore” akan menjadi janji manis dari satu rezim ke rezim berikutnya. [T]
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU