DISKUSI atau Ulas Buku “Representasi Ideologi Sastra Lekra” karya I Wayan Artika, setidaknya telah memperkenalkan sastrawan-sastrawan Lekra dahulu, di mana karya-karya mereka memiliki muatan perjuangan atau perlawanan rakyat, terutama buruh melalui puisi dan cerpen.
Para peserta diskusi, yang kebanyakan mahasiswa itu, setidakna mengetahui adanya pergulatan ideologi dalam karya-pengarang puisi dan cerpen, terutama ideologi yang berkaitan dengan sejarah politik dan kebangsaan di masa lalu. Dengan begitu, generasi masa kini bisa terbebaskan dari tuduhan sebagai ahistoris, melainkan generasi ang punya keingintahuan besar tentang sejarah, setidaknya melalui karya-karya sastra,
Diskusi itu sendiri menghadirkan pembicara sosiolog Prof. Dr. Luh Sendratari, M.Hum. dan dosen sejarah Prof. I Made Pageh, M.Hum. Diadakan Rabu, 23 September 2024 di Gedung Auditorium SMA Lab Undiksha.
Acara itu diselenggarakan berkaitan dengan Festival Literasi Akar Rumput 2024 ang digelar Komunitas Desa Belajar Bali berkolaborasi dengan Clio Club dan Komunitas Literasi Bali Utara.
Peserta yang kebanyakan mahasiswa dalam acara Diskusi Buku “Representasi Ideologi Sastra Lekra” | Foto; tatkala.co/Son
Bolehlah—untuk sementara waktu—kita tidak khawatir bahwa sejarah akan diabaikan oleh generasi masa kini. Peserta tampak antusias mengikuti diskusi itu, meski barangkali mereka tak sepenuhnya paham tentang apa yang dibahas dalam diskusi itu.
Sebelum sore benar-benar dirundung gelap, Rabu 23 Oktober itu, para peserta mulai berdatangan—mengisi registrasi dan mengambil buku yang akan didiskusikan itu secara cuma-cuma.
Sambil memegang buku yang akan didiskusikan, mereka memilih tempat duduknya sendiri-sendiri di dalam gedung.
Ricky Abdulah (20), mahasiswa semester 5 dari prodi Manajemen itu, misalnya. Sejak pukul 05.35 WITA—ia datang. Dengan memperlihatkan wajah gembiranya saat bertemu teman lama juga bertemu tema baru di sana. Tegur sapa.
“Buku dan diskusi ini, telah membuka pemahaman saya tentang perlawanan yang terjadi di kalangan bawah melalui karya-karya sastra,” kata Ricky, memberi terstimoni.
Ricky berusaha menjelaskan tentang apa yang sempat ia baca dalam buku itu, karena setidaknya beberapa halaman telah ia baca, meski belum tuntas.
Untuk menenggelaminya lebih dalam, ia kemudian duduk dengan santai di kursi belakang—lalu menyimak diskusi dari dua profesor kawakan Undiksha yang kemudian dimulai.
I Wayan Artika, dalam bukunya yang dibedah: Representasi Ideologi dalam Sastra Lekra (Pustaka Larasan, 2024) itu merupakan buah hasil dari disertasinya. Artika adalah dosen di Fakultas Bahasa dan Seni, Undiksha, dan sudah banyak menerbitkan buku-buku sastra dan pengajaran sastra.
I Wayan Artika (kiri) | Foto: tatkala.co/Son
Sejak tahun 2013, ia telah dengan mantapnya mengumpulkan data-data terkait Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dari tahun 1950-1965. Yang kemudian diujikannya tahun 2014 sebagai syarat doktoral akademiknya.
Di sini, selain karena data-datanya sangat lengkap, buku itu juga mendapat pujian lebih dari Prof. Sendratari tentang bagaimana penulisnya itu telah membuat pemahaman yang menggairahkan terkait Lekra, banyak mengeksplor ketertindasan sebagai musuhnya. Orang-orang bisa paham terkait Lekra, dan ideologis yang melatar belakanginya. Marxis.
Lembaga Kebudayaan Rakyat, atau dikenal Lekra itu, adalah bagian dari sejarah penting bangsa ini. Memuat perjuangan kelas rakyat—dengan background sosial buruh, atau petani. namun tragedi 1965 menjadikan sastra Lekra tak lagi banyak dibahas bahkan—mencoba ditutup-tutupi oleh rezim Orba (Orde Baru) pada masanya. Atau mungkin sampai sekarang melalui TAP MPR No.XVIII/98?
Dari sanalah, bagaimana Prof. Sendratari menilai, bahwa Lekra menjadi bagian terpenting untuk terus dibahas di republik ini walaupun telah lampau itu. Karena memiliki spirit perjuangan dari setiap karya dalam hal ini sastra, harus tetap dihidupkan dalam kreatifitas yang lain.
“Karya ini mengajarkan kita, betapa pentingnya berpikir seimbang. Betapa pentingnya kita memahami hitam-putih itu, dalam artian lebih proporsional. Betapa pentingnya kita punya pemahaman tidak mudah mendikreditkan sesuatu,” kata Prof Sendratari.
Guru Besar yang memiliki konsen pada Bidang Kajian Gender dan Gerakan feminis itu juga menegaskan spirit pembelaan terhadap mereka yang tertindas, sebagaimana yang digaungkan oleh para seniman Lekra, itulah—yang seharusnya dipegang oleh seorang intelektual.
Mau bagaimanapun, katanya lagi, penindasan itu adalah dehumanisasi. “Jiwa Lekra yang mana yang kita mesti terapkan? Tentu, jiwa Lekra, yang berpihak kepada mereka-mereka yang terpinggirkan!” kata Prof Sendratari dengan mantap.
Sejauh diskusi berlangsung, Diwan Ghautsi Ibrahim (20), Prodi Pendikan Sejarah itu menyimak dengan paten. Tak sedikitpun ia tak fokus. Ia menyimak dengan baik untuk menghilangkan rasa penasarannya, karena barangkali ia baru saja semester 1 (satu).
“Kaget! Karena hal ini adalah hal baru yang aku ketahui bahwa, ada sebuah sastra yang berhaluan kiri dan sempat hilang,” kata Diwan.
Diwan juga mengatakan bahwa dirinya mulai tersadarkan kalau yang kiri-kiri itu—katanya memberi jeda—tak harus meledak-ledak, merusak atau berbuat anarkis, tetapi juga bisa melalui seni. Seperti sastra Lekra contohnya. Tapi Diwan, apa itu Kiri dan Anarkis? Hehe
O, iya, di dalam diskusi, ruangan yang digunakan kurang menyenangkan. Terutama pengeras suara yang kacau, menjadikan materi menjadi setengah-setengah terdengar dan terserap oleh peserta saat diskusi berlangsung. Semoga selanjutnya, diskusi semacam ini bisa dipikirkan ulang tentang tempat dan setting panggungnya. Sebab bukunya bagus sekali.
Mahasiswa membaca buku dalam acara Diskusi Buku “Representasi Ideologi Sastra Lekra” | Foto; tatkala.co/Son
Sampai di sini, bagaimana cara berpikir Lekra-yang kritis itu nyaris semua sepakat untuk ditebar. Bila perlu diterorkan kepada mereka yang merasa tertindas hidupnya. Lebih-lebih terkait buku karya I Wayan Artika berjudul Representasi Ideologi Dalam Sastra Lekra ini, dapat menjadi rujukkan mahasiswa menjadi sumber skripsi. Datanya sangat lengkap.
Tapi apakah penulisnya sendiri, atau dosen pembicara dalam diskusi itu sendiri akan mampu “meneror” mahasiswanya menjadi mahasiswa yang kritis dan peduli terhadap penindasan dan ketimpangan sosial, di zaman tiktok ini?
Jangan lupa skripsian, Semeton. Biar cepet wisudah… Lesgooo…. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole