“ALIH wahana teks lama ke film itu adalah proses yang pelik,” ucap lelaki bercelana jeans itu di suatu siang yang gerah di kawasan Museum Buleleng. Di depan ia duduk, orang-orang mendengarnya dengan serius. Dan udara tetap saja panas meski di tempat tersebut pohon-pohon cukup sering mengirim angin.
Lelaki itu membenarkan letak duduknya yang melorot, jauh punggung dari sandaran. Ia diam sebentar sebelum melanjutkan perkataannya. “Kenapa pelik? Karena melibatkan banyak orang—melibatkan banyak kepentingan yang berbeda-beda,” tuturnya.
Benar. Dalam proses produksi film, entah itu hasil alih wahana atau tidak, tentu saja sutradara bukan satu-satunya pihak yang memiliki kepentingan, tapi di sana juga ada produser, sponsor, dan masih banyak lagi. Hal tersebut menjadi pelik kalau antarkepentingan tidak terkoneksi satu sama lain. “Belum lagi kalau berbicara soal perhitungan ekonomi, dll,” kata lelaki itu, tegas.
Ialah Putu Kusuma Wijaya, sutradara film kawakan dari Singaraja, Bali. Siang itu, Putu Kusuma sedang didaulat menjadi narasumber diskusi yang bertajuk “Alih Wahana Teks Lama ke Film”—salah satu mata program Singaraja Literary Festival (SLF) 2024—bersama Made Suarbawa dan Olin Monteiro—mereka bertiga sama-sama didapuk menjadi narasumber, Jumat (23/8/2024).
Suasana panel diskusi “Alih Wahana Teks Lama ke Film” di Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Dalam panel tersebut, Putu maupun Made dan Olin, menyampaikan sikap mereka tentang bagaimana alih wahana dari teks lama ke film bekerja. Apa yang harus ada, dipertahankan, dimodifikasi, dan dipertanyakan kembali.
Putu menjadi yang pertama untuk menyampaikan pendapatnya. Menurutnya, ekranisasi merupakan proses pekerjaan yang panjang, selain melibatkan banyak orang. “Banyak pertimbangan yang harus kita lakukan saat mengalihwahanakan, katakanlah, sastra ke film,” ujar penggagas Rumah Film Sang Karsa itu.
Salah satu pertimbangan yang dimaksud adalah interpretasi sutradara atau penulis naskah yang tidak jauh melenceng atau membelokkan, mematahkan, segala sesuatu yang terkandung dalam teks yang dialihwahanakan. Maka dari itulah si pengalihwahana (dalam hal ini sutradara atau penulis skenario) harus memiliki respek terhadap teks yang hendak diekranisasi.
Pada 2024, Putu meluncurkan karya mutakhirnya, sebuah film panjang hasil alih wahana dari teks lama berjudul “Jayaprana Layonsari”. Dalam panel diskusi siang itu Putu menyampaikan, meskipun teks Jayaprana Layonsari ditulis oleh entah siapa, ia tetap menaruh rasa hormat terhadap keorisinalan teks tersebut. Meskipun sikap itu—kesetiaan terhadap kisah aslinya tanpa menambahkan bumbu atau gimmick berlebihan untuk sekadar penyegar—membuat alur cerita terasa lambat bahkan cenderung datar hingga klimaks.
Putu Kusuma Wijaya saat menjadi narasumber di panel diskusi “Alih Wahana Teks Lama ke Film” di Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Tapi Jayaprana Layonsari juga tidak sepenuhnya mengikuti alur dalam teks.Film ini, sebagaimana disampaikan Putu, tidak terjebak pada stereotip siapa yang baik dan siapa yang jahat—negatif melawan positif. Lebih dari itu, ia lebih suka menampilkan tokoh-tokohnya apa adanya.
“Saya melihat, kisah asli Jayaprana Layonsari itu sangat hitam-putih. Maka saya sedikit merubahnya menjadi kisah yang bahkan tak memiliki warna,” kata Putu.
Perkataan Putu disambut oleh Olin Monteiro dengan penegasan bahwa dalam proses ekranisasi memang harus ada yang dikorbankan. Olin sendiri sudah lama terlibat dalam proses pembuatan film, khususnya dokumenter. Selain sebagai aktivis perempuan, ia juga seorang produser yang andal.
“Mau tidak mau, tidak semua alur atau cerita atau tokoh dalam, misalnya, teks lama (lontar), atau novel, cerpen, dapat langsung dialihwahanakan. Sebagai sutradara atau penulis naskah skenario juga penting memberikan konteks,” kata perempuan pendiri Koalisi Perempuan Indonesia itu.
Olin menyebutkan salah satu contoh film hasil alih wahana dari novel yang tak sepenuhnya sama persis dengan teks asalnya adalah drama “Gadis Kretek” (2023). Serial web Indonesia yang ditayangkan di Netflix ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Ratih Kumala. Tak hanya itu, Olin juga menyebut “Bumi Manusia” (2019).
“Jadi, dalam konteks alih wahana, sutradara itu memiliki kebebasan interpretasi atas teks asal. Pula, seperti kata Bli Putu tadi, memiliki kepentingan yang barangkali tidak dimiliki oleh pembuat teks yang hendak dialihwahanakan. Tetapi, kembali mengutip kata Bli Putu, interpretasi itu tetap harus respek, tidak jauh dari apa yang dimaksud dalam teks,” terang Olin, produser Payung Hitam Keadilan (2011) dan tim peneliti film dokumenter Perempuan Tana Humba (2019) itu.
Olin Monteiro saat menjadi narasumber di panel diskusi “Alih Wahana Teks Lama ke Film” di Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Terlepas dari Putu dan Olin, Made Surbawa, yang akrab dipanggil Birus, memberi sesuatu yang lain. Sutradara film pendek dari Jembrana sekaligus dedengkot Minikino itu berpendapat bahwa dalam proses ekranisasi akses pengetahuan itu juga penting. “Bagaimana melakukan alih wahana kalau kita tidak bisa baca lontar, misalnya?” Birus menegaskan.
Lontar, katakanlah teks lama, tentu tidak semua orang dapat mengakses pengetahuan di dalamnya. Bukan karena tidak boleh, tapi karena keterbatasan pengetahuan akan aksara, bahasa, dan sastranya—pula ada batasan-batasan intelektual dan kultural yang membentenginya, ruang sakral yang terbangun dalam masyarakat awam ketika berbicara lontar.
Tetapi, seperti Putu dan Olin, Birus juga sepakat bahwa ekranisasi tidak bisa dilepaskan dari interpretasi dan eksperimentasi. Itu merupakan kata kunci penting dalam karya film, katanya.
“Penulis, produser, dan sutradara memiliki motif masing-masing, isi kepala masing-masing. Mereka akan menginterpretasikan berdasarkan motif dasar dan bereksperimen untuk mencapai tujuan artistik dan mungkin juga tujuan ekonomi,” lanjut Birus.
Menurut Birus, ketika teks lama diseret dan dicemplungkan dalam wahana yang baru, dia akan lahir menjadi ‘teks baru’ dalam konteks ruang dan waktu di mana dia diciptakan ulang—yang tentu saja juga tidak bisa dilepaskan dari subteks yang ditanamkan oleh orang-orang yang ada di belakang layar.
Made Suarbawa saat menjadi narasumber di panel diskusi “Alih Wahana Teks Lama ke Film” di Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Namun, kebebasan interpretasi juga tak sepenuhnya melegakan, ia bisa jadi jebakan kalau tidak digarap dengan serius. Ekranisasi, katakanlah berhasil bergantung pada usaha untuk “menjadi” utuh. Keutuhan dimaksud adalah usaha semaksimal, sebagus, dan sebaik mungkin, segala hal yang berkaitan dengan audio-visual (filmisasi), mampu dan tepat untuk menembus ruang pemaknaan dari teks asli itu sendiri. Dan ketika tidak mampu menghadirkan ketepatan penafsiran pemaknaan itu, barulah disebut kurang tepat. Bahkan bisa disebut gagal atau merusak—dan ini yang banyak terjadi dalam sinema Indonesia.
Sampai di sini, lalu apa motif menggali-gali naskah lama dan membicarakannya? Dengan gagah Birus berkata bahwa ini adalah upaya mewarisi “warisan” leluhur yang luhur, yang harus dilestarikan agar tetap lestari.
“Dengan menggali ke belakang, bukan berarti kita ingin terkubur. Sambil kita menulis naskah film baru yang kita cita-citakan, dalam penggalian ini kita dapat menemukan kembali nilai-nilai berharga tentang kebijaksanaan, budaya, dan identitas kolektif—dan nilai-nilai estetika yang dapat kita rekonstruksi dalam eksperimentasi media baru,” terang Birus. Dan itu salah tujuan dari Singaraja Literary Festival, untuk mengapresiasi dan mengaktivasi wawasan kesusastraan dalam berbagai bentuk alih wahana karya yang bersumber dari lontar di Gedong Kirtya.
Sungguh, betapa sangat menyenangkan jika khazanah-khazanah dalam teks lama (lontar) dapat diadaptasi menjadi film atau animasi. Prasi-prasi dalam lontar dapat bergerak dan berbicara sendiri. Atau relief-relief yang menempel di dinding-dinding candi dapat hidup meski dalam bentuk animasi.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024