SUARA gemuruh menggelegar, nampak patung Singa Ambara Raja kokoh nan megah berdiri menyapa, kerlap-kerlip cahaya panggung mewarnai setiap sudut pagelaran. Kain putih itu tampak membentang menutup seluruh area masuk panggung pementasan. Iringan gamelan menjadi pelengkap yang sangat pas untuk menemani sebuah kisah Bima Suci. Ini cerita menarik.
“Tekadku sudah sangat bulat untuk pergi ke Alas Candramuka (sebuah hutan yang dihuni raksasa),” ucap Sang Bima, putra Dewi Kunti, berkah dari Bhatara Bayu.
Sepenggal dialog itu bergema dengan tegas di panggung Ruang Terbuka Hijau (RTH) Bung Karno, Sukasada, Buleleng Bali, Kamis malam, 6 Juni 2024.
Kisah ini adalah bagian dari pagelaran seni budaya dan olaharaga dengan tajuk “Tri Hita Karana” karya Sukmawati Soekarnoputri.
Pementasan ini menampilkan sebuah cerita tentang bagaimana kesetiaan seorang murid kepada gurunya, namun sebenarnya hal tersebut yang justru akan menjerumuskan muridnya sendiri.
Werkurdara begitu nama lain Bima, hanya berniat untuk berguru, mendengarkan dan menjalankan segala perintah yang telah diberikan oleh gurunya sendiri yaitu Resi Drona kepadanya, untuk pergi mencari air Tirta Amertha (air kesempurnaan hidup) ke alas candramuka.
Seperti yang dituturkan Merdah dan Tualen (tokoh punakawan dalam pewayangan Bali), dikisahkan Ibu Kunti begitupun pula Panca Pandawa tidak kuasa menghentikan perjalanan Bima menuju alas (hutan) itu. Perintah Resi Drona akan menjadi sebuah petaka bagi Bima sendiri, namun hal itu tidak menyurutkan langkah Bima menuju belantara alas candramuka. Kegigihan dan ketekunan Bima seakan-akan memberikan jalan bagi dirinya.
Penonton dengan seksama menyaksikan wayang kulit “Bima Suci” | Foto: Pande
Di tengah hutan itu terdapat dua sosok raksasa penjaga alas itu. Sang Rukmuka dan Sang Rukmakala begitu namanya. Namun dalam cerita kali ini diceritakan hanya satu raksasa yang menjaga alam itu yaitu Sang Rukmakala.
Dikisahkan manusia hidup di jaman sekarang ini, semakin rakus akan eksploitasi hutan serta lingkungan di sekitarnya. Semakin canggih bahkan semakin “sakti” semenjak teknologi sudah menjadi temannya. Mesin pemotong itu (mesin gergaji rantai) bagaikan menjadi musuh utama bagi seluruh penghuni hutan.
Hutan dibabat habis tak tersisa namun selalu menjadi wacana permasalahan tanpa adanya sistem reboisasi, sama saja akan merusak alam itu sendiri.
“Itu (hutan/alas) di depannya saja hijau, di tengahnya sudah habis tak tersisa,” tegas Delem kepada Sangut (kedua tokoh punakawan pewayangan Bali) saat menemani Sang Rukmakala.
Sang Rukmakala berpergian menuju ke tengah alas candramuka untuk mengawasi segala bentuk tindak kejahatan yang berani mencoba merongrong habis keberadaan hutan itu. Tanpa disengaja ia melihat Bima berjalan di tengah hutan, hingga pertempuran antara Bima dan Rukmakala pun sudah tidak dapat lagi terelakkan.
Riuh angin berhembus tak beraturan, seisi hutan dibuatnya bergemuruh dengan berbagai hewan yang keluar berhamburan saling bersahutan menandakan ketakutan akan situasi yang begitu mencekam. Bima dan Rukmakala sama-sama menunjukkan kesaktiannya dalam pertempuran itu, namun hebatnya pertempuran itu dapat dimenangkan oleh sang Bimasena.
Dari sela penonton tampak pementasan wayang | Foto: Pande
Bhatara Bayu datang di hadapan Bima dengan memberikan sebuah anugerah kepadanya berupa Aji Jalasegara (ilmu bertahan hidup di tengah air), kini ia diminta agar segera kembali pulang dari alas itu.
Sudah berkali-kali Bima diberitahu namun tidak satupun ada yang bisa menghentikan langkahnya namun pesan dari Bhatara Bayu-lah yang hanya bisa meluluhkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan itu.
Singkat cerita setelah kejadian pertempuran itu, secara diam-diam kembali atas perintah dan petunjuk Guru Resi Drona, sang Bimasena diberitahukan untuk menuju ke tengah Samudra untuk mencari Tirta Amertha. Tidak ada habis-habisnya hanya untuk memperdaya dan mencelakai Bima. Namun kembali lagi, jika sudah suatu perintah, apalagi dari seorang guru, itu adalah suatu hal yang paling mulia baginya.
Sepanjang lautan yang tak bertepi, Bima menikmati perjalanan pengembaraannya menuju samudera dengan hati dan niat yang tulus suci. Berkat anugerah Bhatara Bayu, Bima dapat dengan leluasa bertahan di tengah air hingga bertemulah ia dengan seekor naga besar penghuni dasar samudera, penuh dengan bisa mematikan, berwajah seram dengan taring tajam yang bercahaya.
Pertemuan itu menjadi petaka bagi Bima, diceritakan Bima terlibat pertempuran dengan naga yang ganas itu, dalam posisi terlilit Bima menancapkan kuku Pancanaka-nya ke badan naga itu yang kemudian membuat naga tersebut mati, Bima tergeletak lemas akibat bisa mematikan yang disemburkan oleh naga itu. Di depan matanya terlihat sinar cahaya menyala begitu terangnya, hingga di samudera yang sama Bima bertemu dengan seorang Dewa Kerdil.
“Siapakah dirimu wahai dewata, baru pertama kali aku melihat dirimu sepanjang hidupku? Penuh sinar gemerlap terpancar dalam dirimu, sudi kiranya paduka menjelaskan siapa dirimu?” tanya Bima dengan begitu herannya.
Dewa Ruci begitu nama dari dewa kerdil itu, dengan penuh lembut dewa itu berkata kepada Bima.
“Aku sebenarnya adalah dirimu, aku ada karena kamu ada, aku selalu ada di sepanjang hidupmu wahai Bima, masuklah dalam telingaku putra Kunti, kamu akan paham bagaimana hakikat hidup dan akan tahu sujatinya dirimu, kemana arah langkahmu, itu tidak akan terlepas dari nyama papatmu (suadara dalam kandungan menurut masyarakat Bali) getih (darah), lamas (selaput halus), yeh nyom (air ketuban) dan ari-ari (plasenta) itu adalah empat saudara yang menyertaimu sepanjang hidup, jika kamu paham itu, maka kamu akan mengetahui akan dirimu, kamu akan tau pulangmu ke mana, itu adalah ilmu sangkaning paraning dumadi yang tidak lain adalah ilmu manunggalin kaula gusti”.
Cerita itu ditutup dengan gemuruh tepuk tangan penonton yang menyaksikannya. Bagiku pengajaran dari cerita tersebut memang berdasar pada ajaran Tri Hita Karana bagaimana diri kita menjaga alam, menjaga diri sendiri dan berbakti kepada Tuhan guna mendapat jalan yang terbaik atas apa yang akan kita capai.
Di tengah kerumunan penonton itu ada seorang maestro ogoh-ogoh ternama yang terkenal akan karya fenomenalnya. Ia adalah Putu Marmar Herayukti, kerap akrab disapa dengan nama Marmar. Ia seorang penggelut seni ogoh-ogoh dari banjar Gemeh, Denpasar.
Ia terkenal akan beberapa karya ogoh-ogohnya yang penuh dengan pesan-pesan moral kehidupan. Salah satu karyanya adalah “Paksi Ireng”, tentu hal ini akan menjadi menarik apabila mengaitkan kedua cerita ini.
Ternyata Marmar pun dengan senang hati memberikan pendapat kecilnya akan hal itu.
Paksi Ireng apabila diceritakan secara singkat seperti ini: Sekelompok pemuda pergi menyusuri hutan untuk mencari lahan baru untuk mengembangkan pertanian mereka. Meskipun telah menempuh perjalanan puluhan mil, mereka belum menemukan lahan yang cocok.
Marmar (tengah) menghadiri pagelaran seni budaya dan olahraga Tri Hita Karana di RTH Bung Karno | Foto: Pande
Amarah mulai menggeluti beberapa pemuda kala itu, mereka mulai menyalahkan dan memaki tanah yang dianggap tidak bersahabat, meskipun ada satu orang di antara mereka yang mengingatkan bahwa tanah memiliki sifat alamiahnya sendiri.
Ketika matahari mulai terbenam, terdengar suara menggelegar bertanya akan keberadaan mereka, muncul sesosok makhluk raksasa bersayap hitam dengan mata menyala yang bernama Paksi Ireng.
Ia adalah penguasa ruang alam dan waktu dengan tegas mempertanyakan atas dasar apa mereka berani mengutuk dan memaki dirinya sendiri.
Mendengar pernyataan itu, salah satu pemuda akhirnya sadar akan kesalahannya, namun yang lain tetap membiarkan amarah menguasai mereka. Sikap sombong dan merasa paling benar dari para pemuda itu membuat sang Paksi murka dan mengutuk serta mengubah mereka menjadi sekawanan burung gagak, kecuali satu orang yang selamat karena sikap tulus serta rendah hati yang pemuda itu miliki.
Bagi Marmar, dalam kedua cerita sangat relevan. Apalagi menilik dari beberapa masalah yang terjadi di negeri ini. Kedua cerita tersebut sama mengandung arti nilai konservasi terhadap alam sebagaimana masyarakat Bali memiliki pegangan tulus dan ikhlas secara sukarela dalam setiap prosesi beryadnya yang dipersembahkan kepada alam.
“Menghaturkan bebantenan seperti air bersih sebagai Tirta, bunga yang wangi, buah yang segar dan sehat, semua hal tersebut ternyata memiliki nilai konservasi,” tutur Marmar.
Ogoh-ogoh Paksi Ireng karya Marmar Herayukti | Foto: Instagram @marmarherrz
Sebenarnya dalam diri kita sudah menanamkan nilai-nilai dari arti konservasi alam itu sendiri, dari cerita Bima Suci diatas, lebih banyak menekankan konsep Tri Hita Karana bagaimana cara kita menjaga alam dan ketulusan seorang murid kepada Gurunya.
Marmar memandang Bima sebagai murid yang datang dari alam murid dari kehidupan, menceritakan bagaimana manusia melakukan pengurusakan hutan terjadi tanpa orang orang sadari padahal mereka selalu membicarakan serta selalu memperdebatkan bagaimana konservasi itu sendiri tapi lupa akan tindakan apa yang sudah semestinya dilakukan untuk menjaga alam itu.
Dalam konsep yang Marmar angkat, Paksi Ireng menjadi simbol alam yang akan berlaku adil kepada kita apabila segala sesuatu yang kita persembahkan itu berdasar atas ketulusan hati dan kesungguhan raga dalam diri kita sendiri.
Apabila kita beryadnya dengan hati tulus maka sudah dipastikan mencapai suatu keberhasilan yang tentu akan kembali memberikan keuntungan bagi diri kita sendiri.
“Pola pikiran kita harus dibalik, kita yang memerlukan alam, bukan alam yang memerlukan kita,” tambah Marmar ketika ditemui di atas panggung dengan background patung Singa Ambara Raja.
Alam sebenarnya hanya memiliki tugas memberikan segalanya dan tugas nyata dari kita adalah menggunakan serta menjaganya. Alam tidak akan pernah rugi akan hal yang telah diperbuat oleh manusia itu sendiri, apabila kita sudah tidak bisa menjaganya maka sudah dipastikan apa yang telah kita gunakan telah habis sepenuhnya.
Dalam cerita Bima Suci, peranan ketulusan dan bhakti Bima terhadap perintah gurunya serta ketulusan Bima menjaga alam semesta, sekalipun perintah itu berniat busuk dan akan menjerumuskan Bima, namun berkat anugerah semesta yang menghantarkan Bima menuju arti ilmu sangkaning paraning dumadi yang sesungguhnya.
Ogoh-ogoh Paksi Ireng sedang di arak | Foto: Instagram @st.gemehindah
Dalam cerita Paksi Ireng ada pesan, jika kita bertindak ceroboh tanpa didasari atas dasar ketulusan kita berbakti menjaga alam maka yang rugi bukan alam itu sendiri melainkan alam itu akan hidup kembali seperti sediakalanya dan yang paling besar menanggung rugi itu malah manusianya.
Kembali lagi apapun yang terjadi di Bhuana Agung (alam semesta) akan terjadi pula di Bhuana Alit (tubuh manusia), berbagai bentuk nyata dari alam semesta terdapat juga dalam diri manusia itu sendiri. Merawat alam semesta akan sama merawat tubuh kita sendiri. Jangan hanya menjadi wacana yang sering diperdebatkan, mendukung aksi dengan sering peduli lingkungan sekitar namun kadang sering abai dan lupa dengan apa yang sebenarnya telah kita perdebatkan. [T]
Reporter: Pande Putu Jana Wijnyana
Penulis: Pande Putu Jana Wijnyana
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) ditatkala.co.