RUANG-RUANG kota berkualitas saat ini semakin jarang tersedia. Hal ini berkebalikan dengan ruang-ruang privat yang dibungkus arsitektur menarik berkualitas yang semakin menjamur. Anomali ini menarik untuk dibahas. Kenapa ruang publik terasa memburuk sementara ruang privat, yang bisa dimasuki dengan megeluarkan sejumlah uang, justru tumbuh di mana-mana?
Kemacetan menjadi keseharian di beberapa jalur kawasan padat di Bali Selatan. Seperti siang itu, saat kami, seorang teman dan saya, mencoba menembus kepadatan lalu-lintas yang merayap menuju daerah Seminyak.
Selain kemacetan, ada hal lain yang menarik perhatian yaitu pemandangan di sepanjang jalur. Bangunan-bangunan semi permanen dengan atap seng lewat silih berganti dengan lahan kosong yang seolah tak terurus padahal mungkin sedang menunggu waktu yang tepat untuk segera dibangun. Beberapa restoran yang tidak terlalu besar bersisian dengan warung-warung temporer, bengkel-bengkel kerajinan besi yang produknya mungkin menyuplai villa-villa yang giat bertumbuh.
Pagar-pagar seng berkarat, dinding tinggi hunian, signboard berbagai jenis dan ukuran merupakan ‘hiasan‘ tersendiri bagi jalur trotoar yang sempit dan lebih banyak dipakai sebagai tempat melintas sepeda motor yang tidak sabaran dibandingkan dimanfaatkan oleh pejalan kaki. Pemandangan sepanjang jalan ini seolah menjadi ‘kulit‘ bagi bangunan permukiman yang ada di baliknya.
Arsitektur di ruang privat | Foto: Gede Maha Putra
Permukiman-permukiman ini nyaris tidak terjangkau oleh transportasi publik, tanpa ruang untuk pejalan kaki dan tidak memiliki ruang terbuka. Akibatnya, semua penghuninya menggantungkan mobilitasnya pada kendaraan pribadi.
Saat-saat jam berangkat dan pulang kerja, dari gang-gang permukiman ini akan muncul ratusan mobil dan sepeda motor masuk ke jalur utama yang sudah padat kendaraan dengan tujuan serupa: menuju tempat bekerja.
Meskipun tampak lebih rapi, sebenarnya, kawasan wisata di Ubud mengalami hal serupa, kemacetan dan pembangunan tiada henti. Bangunan baru terus bermunculan sementara yang lama ada yang mati dan tidak sedikit yang dirombak ulang.
Ini periode yang sangat menarik untuk berpraktek sebagai arsitek dan pembangun di Bali. Investasi sedang jaya. Orang membutuhkan jasa perancang dan pembangun untuk memenuhi kebutuhan ruang usaha dan ruang tinggal.
Lebih dari jaman manapun, Bali kini menjadi battlefield bagi perencanaan kota, dan lebih dari masa manapun sebelumnya kita seolah kehilangan pendekatan perencanaan wilayah yang koheren. Dekade ini, dan, mungkin saja, dekade-dekade di masa depan akan menjadi periode dimana individualisme malampaui komunalisme dalam kehidupan perkotaan.
Seorang kawan dulu, sekitar dua dekade lampau, sempat berceloteh: Bali ini tidak kekurangan arsitek hebat tetapi mengapa kota-kotanya masih kacau? Demikian kurang lebih yang disampaikan, meski tidak sama persis. Sekarang, saya akan mengamini pernyataan ini setelah melihat lansekap perkotaan kita.
Karya-karya arsitektur yang baik, jumlahnya tidak sedikit, apalagi jumlah arsitek terus tumbuh akibat meningkatnya anak-anak muda masuk ke dunia ini.
Arsitektur di ruang privat | Foto: Gede Maha Putra
Bangunan-bangunan karya arsitek yang baik tersebut bisa dijumpai di antara bangunan-bangunan belum selesai, di tengah-tengah sawah, terselip di antara lahan yang terbengkalai atau dikelilingi permukiman temporer. Bangunan-bangunan karya arsitek tersebut memiliki keunggulan estetika di antara bangunan-bangunan yang ada di lingkungan sekitarnya. Memiliki bentuk yang rapi, dengan aplikasi material kelas atas, bukaan-bukaan pintu dan jendela yang penuh perhitungan, dan kualitas lainnya.
Kondisi ini membentuk sesuatu, yang kita istilahkan saja sebagai, obyek tunggal yang indah di tengah lansekap yang kacau. Kekacauan lingkungan sekitar ini adalah produk dari absennya rencana kehidupan komunal kota sementara karya-karya arsitektur adalah wujud dari individualisme.
Bangunan-bangunan mentereng karya arsitek tersebut bukan sekedar hasil dari kreativitas arsitek pembangunnya saja. Ia adalah juga produk politik sekaligus produk ekonomi kapitalistik. Sebagai produk politik, setiap karya harus memenuhi kaidah-kaidah arsitektural yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Jika kita sedikit lebih jeli, kaidah yang dijadikan sebagai rujukan pemberian ijin lebih menitik beratkan pada penampilan estetika bangunan dari tampak luar.
Ini sering dikaitkan dengan semiotika arsitektur tradisional dengan proporsi kepala-badan-kaki bangunan yang seimbang tanpa dijelaskan lebih lanjut mengenai ukuran keseimbangan tadi. Lalu, pengimbuhan ornamen tradisional pada muka bangunan, dan, dalam beberapa kasus, bentuk atap limasan.
Banyak yang melihat ini sebagai upaya penyeragaman bentuk saja. Tolok ukur perijinan yang merupakan produk legislasi ini, dalam prakteknya, tidak menyertakan pertanyaan soal bagaimana bangunan tersebut akan menciptakan nilai rasa ruang bagi lingkungan sekitarnya secara keseluruhan.
Apakah kehadiran karya arsitektur yang ijinnya sedang diusulkan akan mengangkat citra dan fungsi kawasan secara lebih luas? Ataukah akan menciptakan ruang kota yang berkualitas untuk masyarakat umum? Ini soal lain.
Di lain pihak, sebagai produk ekonomi, karya-karya arsitektur terkini dituntut untuk mendatangkan banyak orang untuk berbelanja atau mengonsumsi produk yang ditawarkan entah itu barang atau jasa. Dengan keterbatasan lahan, kadang tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang arsitek di bagian ruang luar. Dari sini, signifikansi desain interior mencuat.
Arsitektur coffee shop | Foto: Gede Maha Putra
Kini kita melihat desain-desain interior yang kualitasnya sangat baik jika dibandingkan dengan beberapa dekade lampau. Kualitas ini nampak semakin bagus jika difoto untuk postingan media sosial. Semakin menarik dan mengundang penasaran, maka akan mendatangkan lebih banyak pengunjung.
Tidak mengherankan jika beberapa tempat komersil di Canggu mensyaratkan kita untuk menunggu, antre, hanya sekedar bisa masuk. Seperti saat saya hendak membeli kopi di sebuah kedai yang sedang viral. Bersama setidaknya belasan orang, saya harus berdiri menunggu ada pengunjung sebelumnya yang meninggalkan tempatnya.
Kondisi interior yang berkualitas ini berkebalikan dengan situasi lansekap urban, sehingga menjadikannya oase di tengah hiruk pikuk di luar.
Setiap arsitek dan interior desainernya sekarang dituntut untuk menghasilkan karya-karya yang unik di tengah upaya ‘penyeragaman‘ yang dilakukan oleh pemerintah melalui produk peraturan perijinan. Sebaran berbagai publikasi arsitektur baik secara online maupun cetak sedikit banyak membantu para perancang untuk mengasah daya kreativitasnya melalui bantuan imajinasi yang dilihatnya.
Saat ini, banyak arsitek yang mengandalkan proses kreatifnya pada media seperti Archdaily, Dezeen, dan yang paling populer adalah Pinterest. Akibatnya, upaya untuk mengasah kreativitas yang seharusnya menghasilkan keunikan tersebut menghasilkan kesamaan pola dan pemikiran.
Upaya-upaya menghasilkan ketidakseragaman berujung pada hasil yang seragam. Lihat saja desain warung kopi dengan beton brut berlantai kerikil dengan tanaman pakis Brasil yang dengan mudah ada di berbagai tempat. Lalu bentuk jendela lengkung yang, mungkin, akarnya ada di periode victorian lalu mengalami berbagai modifikasi hingga kini disebut sebagai Canggu Style. Atau kesamaan dalam hal elemen-elemen interior termasuk jenis furniture di berbagai proyek komersial.
Pemandangan di ruang publik | Foto: Gede Maha Putra
Krisis urbanisme yang sedang kita hadapi ternyata berjalan bergandengan tangan dengan keseragaman pendekatan arsitektural para arsitek.
Apakah kita sudah ada di batas limit arsitektur? Bagaimana arsitek bisa berkontribusi dalam menciptakan urbanisme yang lebih baik dan sehat sekaligus mendobrak limit desain yang terjadi? Kreativitas seperti apa yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik saat posisinya ada diantara klien yang menginginkan keunikan dan pemberi ijin yang berupaya menyamakan wujud?
Saya berpandangan arsitek harus berperan lebih aktif lagi dalam menciptakan lingkungan urban yang lebih baik karena kota-kota kita sedang dalam proses menuju urban region. Jika selama ini arsitek tekun membantu klien dan memenuhi persyaratan perijinan, maka di masa depan bekal ilmu di luar teknis harus diperkaya.
Arsitek, selain menguasai hal teknis-teknologis bangunan dan pengaruhnya terhadap psikis pengguna harus memahami juga pengaruh dari karyanya terhadap penciptaan ruang sosial dan gangguan terhadap lingkungan alamiah yang terjadi. Untuk itu, ada hal hal di luar arsitektur yang harus dipahami antara lain: kapital, pertumbuhan, migrasi/urbanisasi, heterogenitas sosial, linkage dan infrastruktur.
Ledakan akumulasi kapital yang berwujud menjadi investasi di bidang turisme tidak lagi bisa dibendung apalagi ditolak. Alih-alih, pemerintah membuat ancang-ancang untuk semakin meningkatkan jumlah dana yang bisa diinvestasikan di Bali.
Sejauh ini, arsitek dan pembangun menjadi pihak yang ‘diuntungkan‘ dengan kondisi ini. Meski demikian, jika kita tidak memahami cara kerjanya, bisa jadi akan terjadi kekacauan, kompetisi yang tidak sehat antar praktisi arsitektur, perang harga untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan besar, atau hal lainnya. Dengan sifatnya yang selalu ingin menjauhkan gap antara pengeluaran dan pemasukan, besar kemungkinan ini bisa menuju keadaan di mana banyak arsitek kurang berpengalaman mendapat pekerjaan dalam jumlah besar.
Akibatnya, kualitas bangunan dan lingkungan mungkin akan memburuk. Kesadaran tentang cara kerja akumulasi kapital ini harus dimiliki oleh setiap pelaku pembangunan untuk meningkatkan kesadaran akan kemungkinan buruk yang ditimbulkannya.
Kapital besar selalu menimbulkan growth atau pertumbuhan. Ini adalah hal yang sering ditargetkan oleh pemerintah. Selain pendapatan, growth juga berkaitan dengan ruang terbangun dalam bentuk ruang usaha, permukiman, dan ruang pendukung. Pertumbuhan yang tinggi menuntut luas ruang yang terus bertambah.
Saat ini, di satu sisi, growth meningkatkan jumlah orang kaya yang berarti potensial akan lebih banyak yang mampu membayar jasa arsitek professional. Tetapi di sisi lain ia juga dapat menimbulkan spekulasi lahan, menarik kelas menengah ke bawah untuk datang ke daerah-daerah yang punya pertumbuhan tinggi, meningkatkan jumlah kendaraan, dan hal lain yang dapat menimbulkan masalah urban jika tidak ditangani dengan baik.
Pemandangan di ruang publik | Foto: Gede Maha Putra
Kecepatan growth ini seringkali tidak sejalan dengan Upaya antisipasi oleh pemerintah dalam menyiapkan infrastruktur dan perencanaan wilayah sehingga memunculkan ruang-ruang terbangun yang tidak terencana.
Ruang-ruang terbangun tersebut dihuni oleh kaum migran atau kelompok yang datang ke wilayah yang memiliki pertumbuhan tinggi. Migrasi ini, seperti juga kapital, tidak bisa ditahan karena iya berkelindan dengan masuknya kapital yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan. Investasi membutuhkan pekerja, pekerja memiliki kebutuhan primer hingga tersier, kebutuhan ini mensyaratkan ruang-ruang tempatnya disediakan.
Kita tidak memiliki hak serta kemampuan untuk mengendalikan jumlah orang yang datang. Yang dapat dilakukan adalah mendorong terjadinya ruang-ruang positif yang akan dihuni oleh kelompok pendatang ini.
Lingkungan kita sekarang sudah sangat heterogen. Orang dengan berbagai profil menghuni bidang kawasan yang sama. Jika ini tidak mampu dikelola maka bisa menimbulkan potensi persoalan sosial. Tempat-tempat untuk mereka saling berinteraksi dan mengenal satu sama lain sudah tidak ada akibat harga dan spekulasi lahan yang semakin tinggi. Ada ancaman kriminalitas yang menganga.
Infrastruktur menjadi salah satu kunci. Ketersediaan, kualitas, dan performanya sangat penting untuk menciptakan kota yang dapat bekerja dengan baik. Pekerjaan-pekerjaan ini sudah lama menjadi fokus dan pekerjaan rumah yang serius bagi pemerintah.
Arsitek memang tidak berkaitan langsung dengan hal-hal sosial di atas. Akan tetapi, setiap tindakan arsitek dalam mewujudkan karyanya akan berpengaruh terhadapnya.
Untuk itu, peranan para perencana dan perancang ruang ini perlu diperluas menjadi advokat bagi ruang-ruang kota yang lebih berkualitas. Lebih dari sekedar melayani kebutuhan dan permintaan klien serta memenuhi persyaratan ijin bangunan, arsitek mesti mempu mengomunikasikan kepada klien mengenai apa yang bisa terjadi jika bangunan didirikan di sebuah tempat.
Pemandangan di ruang publik | Foto: Gede Maha Putra
Kepekaan sosial serta kepedulian terhadap lingkungan juga bisa disampaikan kepada pemerintah. Ini bisa terjadi saat perencana memiliki kemampuan yang melampaui persoalan teknis dan teknologis yang serba terukur. Jika ini bisa dilakukan, maka arsitek bisa saja menghasilkan karya-karya baru inovatif yang meberi sumbangan bagi terwujudnya lingkungan perkotaan yang lebih baik.
Karya-karya baru, fresh, yang lahir dari kesadaran tentang hal yang lebih luas melampaui obyek tunggal arsitektural, juga bisa menjadi pendobrak bagi limit arsitektur yang terjadi saat ini. Jika ini terwujud, maka ada harapan bahwa kita akan memiliki kreativitas arsitektur yang mendukung terwujudnya ruang-ruang sosial berkualitas di abad urban ini.
Arsitek Y.B. Mangunwijaya dalam bukunya Wastu Citra sempat melontarkan ide agar Ilmu Arsitektur tidak ditempatkan di Fakultas Teknik tetapi Sosial Humaniora. Menurutnya, arsitek memiliki tanggung jawab lebih besar dalam hal menciptakan ruang kota yang humanis sebagai pelayan Masyarakat secara umum melampaui sekedar keindahan wujud fisik yang hanya melayani pemilik rumah saja.
Waktu pertama membaca bukunya tersebut lebih dari dua dekade lampau, saya merasa kurang setuju. Masuk di bidang humaniora rasanya kalah keren dibanding dengan bidang keteknikan. Sekarang, pandangan saya berubah seratus delapan puluh derajat. Sepertinya beliau memang benar. [T]
- BACA artikel tentangARSITEKTURatau artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA