PASAR Intaran di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Minggu 21 April 2024, sudah memasuki minggu ke-9. Pasar yang digelar saban minggu itu selalu ramai didatangi pengusaha kreatif dan pengunjung yang tak kalah kreatif.
Di tengah-tengah keramaian yang kreatif itu selalu ada sosok istimewa di dalamnya. Ia adalah Ketut Buderasih, seorang nenek yang usianya 81 tahun.
Pada Minggu di Hari Kartini ini saya secara khusus bercerita tentang Nini Buderasih. Nini adalah panggilan sayang dan akrab untuk nenek di Bali,
Sejak pagi hari, di Pasar Intaran, beberapa pedagang dan pengunjung terlihat lalu lalang di pasar. Tak terkecuali Ketut Buderasih. Ia memang perempuan perkasa meski usianya sudah tergolong senja.
Nini sangat lincah. Di Pasar Intaran, Nini juga ikut berjualan, dan ia tak kalah dengan para penjual lain yang usianya lebih muda. Ia tetap tampak kreatif.
Nini nampak begitu sigap menurunkan peralatan dan bahan dagangannya dari mobil serta menatanya di meja untuk digunakannya membuat jajanan tradisonal Bali.
Dengan berbalutkan kebaya serta kain kamben dan senteng, Nini terlihat sangat anggun, terlebih dengan senyumannya yang ramah.
Beberapa perempuan berbaju zumba kala itu nampak menghampirinya, dari kejauhan saya melihat Nini sangat telaten dalam menyiapkan dagangannya, dan sesekali bertegur sapa dengan para pengunjung, sambil menyajikan jajanan tradisonal Bali yang telah dibuatnya.
Di lapaknya nampak kue dadar, loloh hingga sayur. 3 biji kue dadar dijualnya dengan nilai 1 neem, sementara 1 botol loloh dan sayur senilai 1/2 neem. Satu neem sendiri senilai Rp. 10.000.
Nini sendiri dulunya adalah istri dari seorang tokoh di Desa Tamblang, Nyoman Budiarta. Saya memanggilnya Wayah Nyoman. Wayah Nyoman pernah duduk sebagai Perbekel Desa Tamblang dan Anggota DPRD Buleleng. Di Pasar Intaran nampak Wayah Nyoman selalu setia menemani Nini.
Nini Ketut memiliki lima orang anak, dan paling bungsu adalah Gede Kresna yang juga sebagai inisator Pasar Intaran serta pemilik Studio Arsitek Rumah Intaran.
Gede Kresna menuturkan, Nini begitu suka membaca.
“Ibu saya masih bisa baca tanpa kacamata, berbeda dengan saya yang selalu harus ditemani oleh kacamata,” ucapnya.
Beberapa buku koleksinya telah Nini selesaikan, seperti Novel Tetralogi Pulau Buru karya Pramudya Ananta Toer dan Novel Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma. Dan saya melihat juga, di sela-sela aktifitasnya Nini nampak membaca Buku Lolohin Malu karya Made Adnyana Ole yang dibelinya dari Ampik Buku.
Bagi saya, Nini adalah sosok Kartini saat ini. Semangatnya dalam menginspirasi anak muda patut diteladani, bahkan dia berseloroh bahwa usia bukanlah halangan untuk berusaha. Terlebih terucap keinginannya untuk terus memberikan dukungan kepada anak muda yang sedang belajar membangun usaha di Pasar Intaran untuk tetap semangat.
“Nini hadir untuk memberi semangat, jika sudah ada anak-anak yang muncul dengan usaha-usahanya, perlahan Nini akan menjadi penonton saja di Pasar Intaran,” kata Gede Kresna. [T]