Sabtu, 6 April 2024 di Lombok Timur berlangsung diskusi hangat tentang sastra dalam acara bertajuk Mimbar Obituari 2: “Umbu Landu Paranggi, Puisi dan Zaman yang Teramnesia”. Diselenggarakan oleh Kelas Reading Buya Syafii Lombok, ini adalah forum yang didedikasikan untuk mereflleksikan arti Umbu Landu Paranggi bagi perkembangan kehidupan bersastra di Indonesia, tak kecuali artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan puisi di Lombok. Bertempat di kedai kopi Sinergi Kopi di Lombok Timur, diskusi berlangsung seru hingga tengah malam.
Tanggal 6 April 2024, tepat tiga tahun Umbu Landu Paranggi meninggalkan dunia fana ini. Umbu yang di akhir hayatnya beraktifitas di Bali dikenal sebagai guru banyak sastrawan lintas generasi. Banyak yang mengaku berguru pada sosok Umbu baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari era 90-an, salah satu penyair yang digembleng secara langsung oleh Umbu adalah penyair Riki Dhamparan Putra, satu dari penyair yang populer dijuluki Trisula Bali. Lainnya adalah Raudal Tanjung Banua dan Wayan Sunarta.
Mimbar Obituari dibuka dengan prolog yang mengesankan oleh Fatih Kudus Jaelani (FKJ) penyair berdarah campuran Bermi – Sumbawa yang memulai proses berpuisinya setelah berjumpa dengan Penyair Riki Dhamparan pada kira-kira tahun 2007. Tampilnya FKJ itu seakan menandai adanya suatu persambungan yang kongkrit antara Umbu Landu Paranggi dan dunia sastra di NTB, khususnya Lombok Timur. Karena, FKJ merupakan seorang perintis gairah berpuisi di Lombok Timur yang masih konsisten sampai hari ini.
Selaku perisalah pada acara itu ada penyair Abed Ilyas, salah seorang santri yang menonjol dari Komunitas Akar Pohon Mataram yang baru-baru ini meluncurkan buku puisi tipisnya Impasto (diterbitkan Akar Pohon).
Diskusi makin terasa lengkap karena Abed ditemani oleh Irwansyah, salah seorang pegiat intelektual muda belia yang berlatih di Kelas Reading Buya Syafii yang diasuh oleh Riki Dhamparan Putra.
FKJ, Abed, hingga Irwansyah pada hakikatnya merupakan bagian dari “Ranji Kesunyian’ puisi yang di pangkalnya ada Umbu Landu Paranggi. Membuktikan kalau Umbu Landu Paranggi bukan ‘orang asing’ dalam dinamika ekosistem sastra di Lombok Timur.
Kegiatan Obituari untuk Umbu Landu Paranggi yang digelar oleh Komunitas Kelas Reading Buya Syafii membuka mata kita akan wujud dari ketakziman, menghadirkan sebuah kesadaran akan dampak dari peran sosial seorang sastrawan, terlepas dari peran ideologis melalui karya-karyanya, lewat sosok dan teladannya dalam merawat suatu kerja kreatif, mampu menggerakkan laku orang-orang yang tak ia kenal nun jauh di seberang pulau.
Diskusi berlangsung gembira, hangat dan tajam dan mempercakapkan berbagai fenomena terupdate di dunia sastra. Tak kecuali dampak projek literasii bagi masa depan sastra itu. Sangat menarik, karena baik FKJ maupun Abed dan Irwan eksplisit mengemukakan kritik yang senada. Yakni kecemasan pada potensi adanya ancaman “degenerasi” akibat hilangnya “ruang sunyi” dalam fenomena pemasifan dan pendangkalan sastra melalui projek literasi pemerintah itu. Hal yang kemudian dipertegas oleh RDP. Pada titik ini, kita percaya, mengenang Umbu Landu Paranggi menjadi urgen. Oleh karena, menurut kata-kata penyair Riki Dhamparan
“Umbu adalah lambang dari kehidupan sunyi yang terus bertahan”.
Maka pantaslah kita bersepakat bahwa peran Umbu dalam sastra Indonesia memiliki tempat yang sangat spesial, jika kita membayangkan masyarakat sastra Indonesia sebagai sebuah masyaratkat bangsa, maka Umbu adalah salah seorang guru bangsa sebagaimana julukan untuk tokoh-tokoh di balik pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Lombok Timur, 7 April 2024
Wahyu Nusantara Aji, Sarjana di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari sebuah universitas di Kabupaten Lombok Timur. Telah menerbitkan buku kumpulan puisi Tamu Hari Libur. Menetap di Lombok Timur.