WAJAH kawasan Pelabuhan Tua Buleleng pagi itu tampak berbeda, tak seperti hari-hari biasanya. Setelah pada malam harinya sebagian besar Kota Singaraja diguyur hujan deras, di antara becek tanah yang masih menggenang, tenda-tenda berwarna merah telah terpasang apik, lengkap dengan meja dan kursinya.
Di atas meja-meja itu pula, sembako-sembako itu ditata dengan rapi. Di antaranya ada beras, minyak, cabai, bawang, buah-buahan, serta jajanan lain khas dari Buleleng.
Meskipun pada dasarnya kawasan Pelabuhan Tua Buleleng sebenarnya bukan pasar, tapi pagi itu mendadak menjadi pasar. Tetapi, jika monumen Yudha Mandalatama yang menjadi ikon kawasan tersebut dibangun untuk mengenang jasa perjuangan laskar Buleleng dalam merebut kemerdekaan Indonesia, maka apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng pagi itu barangkali adalah sebuah bentuk perjuangan lain dalam usaha mempertahankan kesejahteraan pangan masyarakat Buleleng di tengah-tengah harga sembako yang mulai melambung tak terkendali.
Ya, pagi itu, di kawasan Pelabuhan Tua Buleleng, Pemerintah Kabupaten Buleleng bekerja sama dengan pelaku UMKM di wilayah tersebut, mengadakan kegiatan “Gelar Pangan Lokal dan Gerakan Pangan Murah”.
Kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemkab Buleleng untuk membantu masyarakat yang tengah menghadapi kenaikan harga sembako, khususnya di Buleleng, Bali. Benar, kegiatan tersebut memang menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat dengan harga yang terbilang cukup jauh dibandingkan dengan harga pasar pada umumnya.
Salah satu warga yang hadir pagi itu adalah Gede Aryana. Lelaki paruh baya asal Kelurahan Kampung Anyar, Kecamatan Buleleng, itu, mengaku bahwa kehadiran kegiatan Gerakan Pangan Murah itu sangat membantu dirinya.
Masyarakat berbelanja di Gelar Pangan Lokal dan Gerakan Pangan Murah di kawasan Pelabuhan Tua Buleleng | Foto: Yudi Setiawan
“Sebagai masyarakat tidak mampu, saya merasa tertolong dengan adanya kegiatan ini,” jelasnya kepada tatkala.co, Kamis (7/03/2024) pagi.
Dengan menenteng dua kantong belanja berisi beras 5 kg di tangan kiri dan kanannya, Aryana mengaku bahwa harga sembako yang ditawarkan pada kegiatan tersebut terbilang sangat murah dibandingkan dengan harga pasar.
“Kalau di pasar, beras yang lima kg itu bisa sampai harga tujuh puluhan. Sedangkan di sini, untuk yang lima kg hanya sekitar lima puluhan. Makanya saya beli dua,” jelasnya sembari tertawa.
Aryana berharap, kegiatan-kegiatan yang membantu masyarakat seperti Gerakan Pangan Murah ini bisa berkelanjutan. Sebab, di tengah-tengah ekonomi yang semakin sulit dan harga sembako yang naik drastis, mengadakan kegiatan Gerakan Pangan Murah merupakan solusi yang tepat untuk masyarakat sepertinya, katanya.
Sementara aparatur negara sedang sibuk mengatur kendaraan yang mulai berdatangan di kawasan tersebut, di bawah rintik hujan dan debur ombak yang terus bertabrakan, beberapa masyarakat yang lain mulai berdatangan, lengkap dengan kantong belanjaanya.
Seperti Ketut Yunerti, misalnya. Perempuan dengan setelan baju jas hujan—pagi itu gerimis belum juga reda—itu mengaku sangat antusias dengan kegiatan tersebut. Bersama dengan suaminya, Made Yasa, dirinya merasa bersyukur dengan adanya kegiatan Gerakan Pangan Murah tersebut.
“Saya jauh-jauh ke sini dari Banyuning, memang mau belanja kebutuhan dapur. Mumpung harganya murah,” katanya. Sesaat setelah memberi jeda, ia menambahkan, “Kalau beli di warung atau di pasar, harganya mahal, lumayan, ada uang lebih untuk bapak beli rokok.” Lalu ia tertawa sembari mencolek pinggang suaminya.
Benar, secara nasional, harga kebutuhan pokok menjelang hari raya Kuningan dan bulan Ramadan sedang naik-naiknya. Di semua sektor kebutuhan pangan, seperti beras, minyak, cabai, dan lain-lain, mengalami kenaikan harga yang sangat signifikan. Maka tak heran, kegiatan-kegiatan yang berupa penurunan harga sembako seperti kegiatan Gerakan Pangan Murah tersebut sangat diminati oleh masyarakat.
Kenaikan harga sembako secara nasional tersebut tidak hanya berdampak kepada masyarakat saja, tapi pelaku UMKM juga merasakan dampak dari kenaikan harga tersebut. Seperti Agus, misalnya. Sebagai kepala gudang CV. Resvila Singaraja—distributor minyak goreng di Singaraja—ia mengaku bahwa stok minyak di gudangnya mengalami kemacetan dalam hal pemasaran.
Interaksi antara pedagang dan pembeli di Gelar Pangan Lokal dan Gerakan Pangan Murah di kawasan Pelabuhan Tua Buleleng | Foto: Yudi Setiawan
“Di toko-toko tempat kami mengirim barang masih penuh, jadinya barang di gudang tidak keluar dengan lancar,” katanya.
Menurutnya, hal tersebut terjadi karena saat ini masyarakat mulai membatasi pembelian minyak goreng di warung-warung maupun di toko kelontong akibat dari kenaikan harga sembako tersebut. Ya, hal itu yang menyebabkan Agus, sebagai pelaku UMKM, merasakan seperti apa yang dirasakan masyarakat pada umumnya.
“Karena kami juga merasakan dampaknya, jadinya kami ingin ikut berpartisipasi di acara ini,” katanya. Menurutnya, pihaknya sering terlibat dengan kegiatan-kegiatan serupa. “Kalau ada kegiatan pasar murah, biasanya kami selalu dihubungi oleh dinas untuk ikut join ke dalam kegiatannya,” ucapnya.
Selain itu, Ketut Lihadnyana, selaku PJ Bupati Buleleng, juga turut hadir dalam kegiatan Gelar Pangan Lokal dan Gerakan Pangan Murah tersebut. Beserta jajarannya, Lihadnyana mengatakan bahwa kegiatan tersebut akan terus dilanjutkan.
Lihadnyana juga mengatakan, oleh sebab menjelang hari raya Kuningan dan Nyepi, serta bulan Puasa, pihaknya akan terus berupaya mengadakan kegiatan Gerakan Pangan Murah di Buleleng. “Saya nanti minta, kegiatan seperti ini bisa dilakukan setiap minggu,” katanya.
Selama memantau kegiatan tersebut, ia mengatakan bahwa harga kebutuhan sembako yang dijual di kegiatan pagi itu, sebagian besar harganya sudah mulai turun.
“Kalau beras, bawang merah, dan minyak goreng, ada kecenderungan harganya turun. Namun, yang perlu menjadi perhatian kita adalah cabai merah besar. Harganya masih belum stabil, karena hanya bisa ditanam di daerah-daerah dataran tinggi,” jelasnya.
Mengenai hal tersebut, ia menjelaskan bahwa perlunya ada semacam terobosan adopsi teknologi yang bisa memproduksi cabai merah besar pada saat musim hujan. Sehingga, ia berharap, ke depannya musim hujan maupun musim kemarau tidak menjadi penghalang produksi cabai merah besar di Buleleng.
“Maka, dengan begitu, pemerintah daerah berusaha melakukan upaya-upaya untuk mengatasi kenaikan harga cabai merah besar tersebut. Seperti, kemarin, kami telah menanam cabai serentak, sehingga kenaikan harga cabai ke depannya tidak berulang,” tegasnya.
Benar. Di mana pun dan kapan pun, jika harga sembako mengalami kenaikan, kegiatan-kegiatan pasar murah seperti yang dilakukan oleh Pemkab Buleleng itu akan terus diterima dengan senang hati oleh masyarakat.
Buktinya, meski gerimis masih terus mengguyur dengan manja, kawasan Pelabuhan Tua Buleleng itu masih sibuk menghadapi riuh orang-orang berbelanja sampai pada siang hari. Satu pergi, satu datang. Begitu seterusnya. Dan tentu masih dengan senyum yang sama: bahagia—walaupun mungkin hanya sementara.[T]
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Jaswanto