PADA era modern seperti saat ini, kesenian tari sepertinya sudah mengalami pergeseran nilai. Banyak tari di Bali yang dipentaskan hanya untuk memenuhi permintaan dunia pariwisata dan mengabaikan nilai-nilai yang dikandungnya. Namun, jangan khawatir, karena ternyata masih banyak desa-desa yang mempertahankan tari ciptaan leluhur agar sesuai dengan roh dan nilainya.
Seperti halnya di Desa Pedawa di Kecamatan Banjar, salah satu Desa Bali Aga yang terletak di utara Pulau Bali. Desa ini masih tetap mempertahankan seni tari sesuai dengan nilainya. Apalagi, Desa Pedawa memiliki tari yang terbilang unik, yakni tari Jejumputan.
Tari Jejumputan adalah tari yang dipentaskan pada saat pujawali di Pura Sekaa Juragan atau pada saat ngusaba Nguja Binih di Desa Pedawa. Pura Sekaa Juragan adalah salah satu pura tua yang terletak di Dusun Insakan Desa Pedawa.
Penari laki-laki Tari Jejumputan, Desa Pedawa, Buleleng | Foto: Teddy Setiadi
Keterangan yang dihimpun dari pengelingsir pengempon Pura Sekaa Juragan menyebutkan, dahulu kala para leluhur di Desa Pedawa mempunyai kebiasaan berburu (meboros).
Pada suatu ketika saat pergi berburu, warga tidak satupun menemukan binatang buruan. Karena merasa lelah, para pemburu beristirahat sambil berharap menemukan binatang buruan.
Pada saat itulah para pemburu menemukan batu berbentuk lonjong yang bentuknya bagus sekali. Pada saat menemukan batu itu, para pemburu yang sedang beristirahat itu juga mendengar bisikan atau pawisik yang terdengar samar-samar supaya di tempat ditemukannya batu itu dibangun pelinggih Ida Bhetara Sri.
Karena mendapatkan pawisik seperti itu, warga pemburu itu kemudian membangun pelinggih Ida Bhetara Sri, yang dibangun di samping batu lonjong yang ditemukan pada saat berburu, dan diberi nama Pura Sekaa Juragan.
Seiring perkembangannya, Pura Sekaa Juragan juga disebut dengan Pura Pucak Sari yang berarti Pura yang terletak di pegunungan dan memuja Ida Bhetara Sri yang melambangkan Amertha (Amerthasari).
Pujawali di Pura Sekaa Juragan jatuh pada Purnama Sasih Kawulu. Tari Jejumputan yang dipentaskan pada saat pujawali itu memiliki keunikan dan nuansa sakral yang masih dipertahankan.
Tari Jejumputan ini ditarikan oleh anak-anak. Proses pemilihan penarinya dilakukan dengan cara yang tidak boleh sembarangan. Sebelumnya, calon penari yang dipilih terdiri dari pria dan wanita yang berusia kurang dari 10 tahun. Juga dilakukan pemilihan pemain suling yang dilakukan sebelum penek banten (hari H).
Para penari yang dipilih adalah keterwakilan keluarga (dadia) di Desa Pedawa yang berasal dari yos Tapakan Gunung Agung, Bukit Anyar, Labuan Aji dan juga penari yang dipilih di luar ketiga yos tersebut.
Proses pemilihan atau penjumputan para penari dan pemain suling ini dilakukandengan membawa pabuan yang berisi daun sirih (base), pinang, pamor, tembakau, gambir, dan pis bolong sebanyak 25.
Setelah para penari dan pemain suling dipilih (di-jumput), akan diadakan latihan yang lokasinya juga tidak boleh jauh dari keberadaan Pura Sekaa Juragan. Sore hari sebelum pementasan tari jejumputan ini, semua penari akan melakukan pembersihan diri di Kayuan Jeringo, tempat permandian yang lokasinya tidak jauh dari Pura Pucak Sari.
Setelah melalukan pembersihan diri, para penari Jejumputan akan dikenakan pakaian sakral peninggalan leluhur seperti Gegelungan untuk penari laki-laki, Belengker untuk penari perempuan, serta kamben yang dipadukan dengan kain rembang.
Pada saat penek banten dan seluruh ritual persiapan pementasan selesai dilakukan, maka saat itulah tari Jejumputan sudah boleh dipentaskan. Pementasan dilakukan pada saat malam sampai dengan pagi hari yang diiringi alunan gamelan khas yang terdiri dari suling, ceng-ceng, kendang, dan juga kempul yang menghasilkan alunan suara yang sangat klasik.
Penari perempuan Tari Jejumputan, Desa Pedawa, Buleleng | Foto: Teddy Setiadi
Tarian Jejumputan ini memiliki empat urutan jenis tarian yaitu pertama Aris-Arisan, Semar Pegulingan, Umang dan Merak Mengelo. Tetapi karena memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, jenis tarian Merak Mengelo tidak ditarikan.
Para penari Jejumputan akan dipisahkan antara barisan laki-laki dengan perempuan. Para penari laki-laki dan perempuan yang berada di barisan paling depan masing-masing akan membawa canang sari.
Formasi pada barisan depan merupakan penari yang berasal dari yos tapakan Gunung Agung, dan diikuti oleh para penari yang berasal dari yos lainnya. Tari Jejumputan ini diiringi oleh alunan intrumen yang klasik dan irama yang sangat khas dengan alunan melambat di bagian akhirnya.
Gambelan tari Jejumputan mempunyai beberapa nada saja, yang kemudian dipertebal dengan bunyi kempul sebagai wujud akhir sajian gamelan, lalu dimainkan berulang. Tak jarang instrumen gamelan pengiring tarian Jejumputan ini membuat haru para pendengarnya.
Pada saat menari, seluruh pemedek (warga yang sembahyang) yang menyaksikan tari Jejumputan ini akan dilarang untuk mengabadikan dengan foto dan juga video. Tetapi pengambilan foto dan vidio boleh dilakukan pada saat persiapan pementasan ataupun sesudah selesai tari dipentaskan.
Alasannya jelas karena pada saat pujawali sebelumnya terdapat bebawos, bahwa tidak boleh merekam ataupun mengambil foto pada saat tari Jumputan ditarikan.
Selain sarana banten pujawali terdapat juga banten yang dihaturkan khusus sebagai pengiring dari tarian Jejumputan. Ketika mamasuki pukul 00.00, saat inilah terdapat sedikit jeda bagi para penari yang boleh digunakan untuk beristirahat.
Pada saat jeda ini, Dane Balian serta para Permas akan melakukan matur piuning manyampaikan terimakasih karena telah diberikan keselamatan serta mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Ida Sesuhunan yang kelinggihang di Pura Sekaa Juragan karena telah diberikan merta sari yang cukup, telah diberikan oksigen, alam yang bersahabat, hasil pertanian yang melimpah, tidak ada bencana serta rasa syukur lainnya.
Setelah Dane Balian dan Permas selesai matur piuning yang juga diikuti oleh seluruh masyarakat yang hadir melakukan persembahyangan, tari Jejumputan akan kembali dipentaskan.
Pementasan tari jejumputan ini akan selesai apabila sudah terjadi daratan. Masyarakat Pedawa percaya bahwa daratan adalah turunnya (rauh) energi Sang Hyang Widhi yang masuk ke dalam tubuh manusia yang bersih atau suci dan memberikan pesan kepada umat manusia.
Makna dari pementasan tari jejumputan ini merupakan bentuk permohonan kepada Ida Sesuhunan yang melinggih di pura Sekaa Juragan agar memberikan kemakmuran bagi pertanian yang menjadi salah satu penghasilan ekonomi di Desa Pedawa. Memohon agar mendapat bibit yang unggul, terhindar dari hama dan bencana alam yang menyebabkan hasil pertanian menjadi gagal.
Ada juga persepsi yang meyakini bahwa tari Jejumputan ini bertujuan untuk menghibur atau persembahan kepada Bhetara-Bhetari yang berstana di Pura Sekaa Juragan yang selalu senantiasa melimpahkan kemakmuran untuk masyarakat Pedawa.
Penari laki-laki Tari Jejumputan, Desa Pedawa, Buleleng, Bali | Foto: Teddy Setiadi
Tetapi intinya masyarakat meyakini pementasan tari jejumputan ini adalah sebagai konsep tentang warisan leluhur yang harus dijaga dan paham-paham pikiran yang semestinya tidak perlu diperdebatkan, baik itu tentang kesederhaan gambelan, kesederhanaan pakaian, cara pemilihan para penari, serta ritual yang seperti sudah memiliki pakemnya yang diwariskan oleh para leluhur Pedawa terdahulu.
Sebagai masyarakat Pedawa terutama generasi muda sangat perlu kiranya tetap melestarikan pementasan tari jejumputan sesuai dengan pakemnya, tetap menjaga komponen-komponen yang telah diwariskan oleh para leluhur, agar kesenian ini tetap lestari hingga generasi ke generasi.
Tidak hanya itu sebagai generasi muda juga perlu menanamkan nilai-nilai yang terkandung di dalam tari Jejumputan ini, sehingga prosesi sakral mulai dari sebelum pementasan tari Jejumputan sampai akhir tetap dilaksanakan sesuai dengan pakem yang telah diwariskan sejak dari dulu. serta mempertahankan kesakralan tari Jejumputan di era gempuran pariwisata yang sangat masif ini. [T]
BACA artikel lain tentang DESA PEDAWA