perjalanan pendek ini,
panjang sekali.
(“Nafas”)
Sajak “Nafas” muncul sebelum sajak “Cahaya”. Radhar sangat mensyukuri setiap tarikan napas yang ia perjuangkan dengan berat dan melelahkan.
Hal ini hampir sama dengan sajak “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang. Dalam sajak tersebut hanya berisi satu kalimat, tapi dapat ditafsir dengan sangat banyak. Sitor menulis “Malam Lebaran” saat berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer pada malam lebaran. Sitor tertarik pada sebuah tembok putih di rumah Pram—melengok di atasnya ada kuburan. Sitor kemudian memainkan objek lain pada sajaknya, yaitu bulan.
Bulan di atas kuburan.
(“Malam Lebaran”)
Dalam sajak Emi Suy yang berjudul “Alarm Sunyi”, sudah menggambarkan kontras dari dua kata pada judul itu. Emi Suy memaknai bahwa kesunyian adalah suatu cara untuk menjaga keseimbangan jiwa. Lalu, apakah maksud Emi Suy dalam sajaknya “Alarm Sunyi” tersebut sunyi di dalam diri seperti suara alarm? Menurut Emi Suy, sunyi adalah bunyi waktu yang mengingatkan manusia untuk selalu merefleksikan kembali hakikat dan arah hidupnya agar terbebas dari ambisi-ambisi semu.
Nama Sitor Situmorang adalah yang paling sering mencipta sajak-sajak tentang pulang. Bahkan, hampir beberapa penyair sering memilih tema pulang pada sajaknya. Sitor Situmorang dalam sajaknya “Tatahan Pesan Bunda” menulis bahwa dia ingin dikubur di tanah kelahirannya. Sitor meninggal di Belanda dan dikuburkan di Danau Toba—di samping makam ibunya.
Bahkan, Iman Budhi Santosa, seorang sastrawan, juga pernah melakukan perjudian dengan berani meninggalkan kariernya sebagai PNS dan memilih menjadi seorang penyair. Iman Budhi Santosa kini dikenang sebagai seorang legenda dalam perpuisian di Indonesia. Bayangkan, bilamana beliau dulu jadi PNS, mungkinkah beliau akan dikenang banyak orang seperti sekarang?
Akhir-akhir ini juga ada beberapa sastrawan kecintaan kita yang disayangi oleh Tuhan untuk menghadap-Nya terlebih dahulu. Beberapa nama sastrawan yang lebih dahulu dipanggil Tuhan, seperti: Romo Agus Sunyoto, Radhar Panca Dahana, Iman Budhi Santosa, dan Umbu Landu Paranggi. Beliau-beliau ini boleh saja jasadnya terkubur, tapi saya meyakini karyanya akan tetap abadi.
Hampir semua orang mengenal Chairil Anwar, lalu darimana mereka berkenalan? Padahal, sosok Chairil Anwar adalah sosok sastrawan angkatan 45. Sudah tentu, mereka mengenal Chairil Anwar karena namanya sering disebut, gaya hidupnya yang sangat menarik, buku puisinya sering dicetak ulang, dan tentu hari kematiannya diagung-agungkan—serta diperangati sebagai Hari Puisi Nasional.
Pembicaraan mengenai sosok pengarang angkatan 45 tersebut sudah sangat sering muncul di beberapa media—sehingga menjadi sebuah keklisean. Namun, dalam buku yang berjudul “Berguru kepada Puisi” (2019) karya Joko Pinurbo, ulasan terbaik tentang Chairil Anwar pantas diberikan kepada Sapardi Djoko Damono dengan judul ulasan “Chairil Anwar Kita”.
Saras Dewi, seorang intelektual, di antara kenyamanan rumah ilmu dan dunia di luar ia menemukan sastra sebagai jembatan yang menghubungkan keduanya, jembatan permenungan yang mengautkan pengetahuan dan kenyataan.
Sajak imajis dalam puisi melukiskan apa saja dengan hidup yang diamati, tanpa memberikan komentar atau pendapat tentang pemandangan itu, maka dapat dikatakan itu adalah sebuah sajak imajis. Salah satu sajak imajis yang sangat bagus adalah milik Taufik Ismail yang berjudul “Pantun Terang Bulan” (1971).
Sajak liris dalam puisi adalah sajak yang mengekspresikan emosi atau perasaan penyair. Biasanya ditulis dengan sudut pandang orang pertama. Di sini penyair tak lagi hanya melukiskan seperti sajak imajis tadi, tapi menyatukan perasaannya di sana. Salah satu penyair yang sering menulis sajak liris adalah Abdul Hadi WM dengan judul sajaknya “Sajak Samar” (1967).
Menurut Joko Pinurbo, sajak-sajak Fadjroel telah memberikan pelajaran bahwa bagi seorang penyair memainkan pena untuk melawan laknat politik merupakan pergulatan yang bukan tanpa risiko. Joko Pinurbo dalam bukunya yang berjudul “Berguru kepada Puisi” (2019) juga mengatakan bahwa ia menemukan pena yang telah berlumuran darah saat selesai menulis puisi—entah darah penyair atau darah musuh.
Bahkan, bisa jadi puisi ditulis sudah menggunakan pena yang berlumuran darah. Darah dalam sajak Fadjroel bukan hanya darah yang mengucur dari luka, tapi darah yang memberi warna kehidupan. [T]
Yogyakarta, 28 April 2021-11 Mei 2023.